TAHU SAJA TIDAK CUKUP

TAHU SAJA TIDAK CUKUP

Ditulis Oleh: Fajar Sidiq

Jika kita lihat media sosial akhir-akhir ini, maka kita akan menemukan banyak sekali perdebatan di dalamnya. Bahkan, perdebatan tersebut juga terjadi di kalangan sesama Muslim. Apa saja didebatkan. Mulai dari hukum, etika, dan bahkan sampai kredibilitas keimanan seseorang. Tak jarang Muslim yang satu membabi buta menuduh Muslim yang lainnya tidak beriman. Bahkan terlampau jauh sampai mengkafirkan sesama Muslim. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.

Terlepas apakah umat Muslim dewasa ini mengulang kembali sejarah yang akan berujung kepada perpecahan. Fenomena ini menarik bagi kita untuk menyelami kembali sebetulnya apa hakikat sejati dari iman itu sendiri?

Iman berasal dari Bahasa Arab dari kata dasar amana yu’minu-imanan, artinya beriman atau percaya. Percaya dalam  Bahasa  Indonesia  artinya  meyakini  atau  yakin  bahwa  sesuatu  (yang  dipercaya)  itu  memang  benar  atau  nyata adanya. Abul ‘Ala al-Mahmudi menterjemahkan iman dalam Bahasa inggris faith, yaitu to know, to believe, to be convinced beyond the last shadow of  doubt yang  artinya,  mengetahui,  mempercayai,  meyakini  yang  didalamnya  tidak  terdapat  keraguan  apapun. Sedangkan secara istilah iman adalah “membenarkan dengan hati, mengucapkan dengan lisan dan melaksanakan dengan anggota badan”

Ketika rombongan Arab Badui datang kepada rasulullah saw. dan menyatakan bahwa mereka telah beriman, rasulullah saw. memberi tahu mereka bahwa sejatinya mereka baru berislam.

Allah SWT. berfirman, “Orang-orang Arab Badui itu berkata: ‘Kami telah beriman’. Katakanlah: ‘Kamu belum beriman, tapi katakanlah “kami telah tunduk”, karena iman itu belum masuk ke dalam hatimu; dan jika kamu taat kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tidak akan mengurangi sedikitpun pahala amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (Q.S. Al-Hujurat: 49).

Syaikh Wahbah Az-Zuhaili dalam tafsirnya Tafsir Al-Wajiz berpendapat bahwa ayat di atas diturunkan bagi pembenci dari Bani Asad bin Khuzaimah. Mereka datang ke Madinah untuk berjumpa dengan rasulullah saw. saat masa-masa gersang. Mereka menampakkan ungkapan syahadatain, namun mereka belum beriman dalam hati. Mereka baru mengucapkan secara lisan saja, Iman yang benar belum merasuk kedalam hati mereka.

Namun, iman belum sampai di situ saja. Jika mengucapkan dengan lisan dan membenarkan dengan hati saja sudah bisa disebut iman, bukankah seharusnya iblis itu beriman? Kenyataan tidak berkata demikian. Nyatanya iblis lebih memilih mengingkari Allah SWT. ketika ia diperintahkan untuk bersujud kepada Adam a.s. Maka dari itu, keimanan harus dilakukan juga dengan anggota tubuh, dengan ketaatan. Hal mendasar seperti keimanan ini juga berdampak kepada cara kita mengimplementasikannya di kehidupan sehari-hari. Bahkan di tataran keilmuan, juga harus senantiasa diiringi dengan amal yang dilakukan.

Abu Abdirraḥmān As-Sulami -raḥimahullāh- meriwayatkan, ia berkata,”Sahabat-sahabat Nabi yang mengajari kami Al-Qur`an menceritakan bahwa mereka biasa belajar Al-Qur`an dari Rasulullah ﷺ per sepuluh ayat; mereka tidak akan masuk ke sepuluh ayat lainnya kecuali setelah mereka mengetahui pengetahuan dan pengamalan yang dikandungnya. Mereka mengatakan, ‘Kami belajar pengetahuan dan pengamalan.'”

Dua hal yang harus kita garisbawahi mengenai aplikasi iman dalam kehidupan sehari-hari ialah, ketika kita mempelajari suatu hal, entah itu ayat atau hadis, maka selalu iringilah dan usahakanlah berikut pengamalannya. Percuma kita membaca banyak buku tapi malas dalam pengamalannya. Percuma juga kita banyak mengaji, tetapi ilmu itu hanya sampai kepada memori kita saja, tidak kita amalkan isinya.

Ulama kontemporer seperti K.H. Ahmad Dahlan juga mencontohkan bagaimana pengamalan ilmu beserta pengamalannya. Diceritakan bahwa K.H. Ahmad Dahlan pada beberapa waktu terus-menerus mengajarkan surat Q.S. Al-Maun kepada murid-muridnya sehingga mereka bosan. Begini terjemahan suratnya:

“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama?/Maka itulah orang yang menghardik anak yatim/dan tidak mendorong memberi makan orang miskin/Maka celakalah orang yang salat/(yaitu) orang-orang yang lalai terhadap salatnya/yang berbuat ria/dan enggan (memberikan) bantuan (Q.S Al-Maun).”

Mereka pun bertanya kepada gurunya mengapa gurunya tidak mengajarkan surat yang lain? Ahmad Dahlan kemudian bertanya kepada murid-muridnya tersebut, “apakah kalian sudah mengamalkan surat al-Maun atau belum?” Para murid menjawab, “kami sudah mengamalkan, bahkan sudah menjadikan al-Maun sebagai bacaan pada setiap salat.”

“Kalian sudah hafal surat al-Maun, tapi bukan itu yang saya maksud. Amalkanlah! Diamalkan, artinya dipraktekkan, dikerjakan! Rupanya, saudara-saudara belum mengamalkannya,” ucap Ahmad Dahlan seperti dikutip Junus Salam dalam K.H. Ahmad Dahlan: Amal dan Perjuangannya (2009).

Setelah itu ia menyuruh murid-muridnya untuk berkeliling mencari orang miskin dan membawanya pulang, lalu dimandikan dengan sabun, diberi pakaian yang bersih, diberi makan dan minum, serta disediakan tempat tidur yang layak. MasyaAllah, sungguh akhlak yang mulia.

Tapi sayangnya, dewasa ini orang-orang banyak terjebak baru di tahapan memperoleh ilmunya saja, belum gencar di tahap pengamalannya. Tentu banyak orang yang tahu tentang kebaikan dan keindahan, tetapi mereka tidak menjalankannya dalam kehidupan. Itu karena mereka hanya baru sampai ke tahap mengetahui, tetapi belum ke tahap menyadari. Kita tahu jika shalat tahajud itu indah, kita bisa dengan all-out bermunajat kepada Allah. Namun, justru banyak dari kita malah tidak mengerjakannya. Hal itu disebabkan oleh karena pengetahuan kita tentang suatu hal tidak seiring dengan tumbuhnya kesadaran.

Seharusnya, ketika kita mempelajari suatu kebaikan, maka kita harus mengiringi pengetahuan tersebut dengan pertumbuhan kesadaran yang kita miliki seperti contoh dari para sahabat dan K.H. Ahmad Dahlan. Atau meminjam kata-kata Fahrudin Faiz yang menyatakan bahwa, sebenarnya kita ini mengetahui banyak hal yang baik dan tidak baik. Tetapi, kita belum punya kesadaran untuk melakukan yang kita tahu sebagai kebaikan atau menjauhi yang ktia tahu sebagai keburukan.

Bahkan dalam hal ini, rasulullah saw. mengajarkan kita sebagai umatnya dengan doa sebagai berikut:

اللَّهُمَّ أَرِنَا الْحَقَّ حَقًّا وَارْزُقْنَا اتِّبَاعَهُ، وَأَرِنَا الْبَاطِلَ بَاطِلًا وَارْزُقْنَا اجْتِنَابَهُ، وَلَا تَجْعَلْهُ مُلْتَبِسًا عَلَيْنَا فَنَضِلَّ، وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Ya Allah tunjukkanlah kepada kami yang benar itu benar dan bantulah kami untuk mengikutinya, dan tunjukkanlah kepada kami yang batil itu batil dan bantulah kami untuk menjauhinya. Janganlah Engkau menjadikannya samar di hadapan kami sehingga kami tersesat. Dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.”

Di dalam doa tersebut, kita tidak hanya meminta untuk ditunjukkan hal yang benar atau hal yang salah saja. Tapi kita juga meminta kepada Allah agar kita dibantu untuk mengikuti kebenaran, dan menjauhi hal yang batil. Sebab, sekadar tahu kebenaran itu tidak akan berarti apa-apa tanpa kesadaran untuk mengerjakannya. Bahkan kita pun mengamalkan doa di dalam Q.S. Al-Fatihah sebanyak seminimimalnya sebanyak 17x untuk meminta jalan yang lurus. Namun, setelah Allah SWT. menunjukkan jalan yang lurus kok kita mundur?

Semoga kita selalu ditunjukkan hal yang benar itu benar dan kita dibantu untuk mengikuitinya. Semoga kita selalu ditunjukkan hal yang salah itu salah dan kita dibantu juga untuk menjauhinya. Semoga, setiap ilmu yang kita ketahui, kita bisa mengamalkannya juga dengan penuh keridaan. Amin…

 

Referensi