Al Qulubud Daria (Kalbu yang Merintih)

Al Qulubud Daria (Kalbu yang Merintih)

“Al Qulubud Daria (Kalbu yang Merintih)”

Tanya: Dalam rangka belajar adab memohon dan berdoa kepada Allah serta untuk senantiasa berada dalam keadaan bertawajuh kepadaNya, buku kumpulan doa yang bernama Al Qulubud Daria terlihat amat penting peranannya dimana ia berhasil mengisi kekosongan itu. Akan tetapi, walaupun kita bisa membaca huruf-huruf Al Quran, kita masih belum mampu memahami makna sebagian besar wirid dan zikir yang terdapat di buku tersebut. Terkait hal ini, apa nasihat Anda untuk kami?

Jawab: Al Qulubud Daria bermakna kalbu penuh linangan air mata yang mengetuk pintu Allah, dimana pintuNya adalah satu-satunya tempat untuk berlindung; kalbu yang bersedekap, menunduk, membungkuk di pinggir pintuNya, yang mengemis dan memohon kepadaNya; kalbu yang membuka isi di dalamnya; kalbu yang mencurahkan satu per satu segala masalah yang membebaninya; serta kalbu yang merintih karena terbakar dan dibakar. Untuk merangkum semua makna ini barangkali dapat digunakan istilah “Kalbu yang Meratap”. Buku ini dirangkum dari kitab doa sebanyak tiga jilid yang bernama Majmuatul Ahzab karya Gumushanevi Ahmed Ziyauddin Efendi yang diklasifikasi ulang.

Sayyidina Gumushanevi dan Majmuatul Ahzab

Almarhum Ahmed Ziyauddin Efendi adalah ulama di periode akhir Usmani. Beliau lahir pada tahun 1813 di Desa Emirler, Kecamatan Gumushane. Beliau tidak hanya sibuk dengan ilmu-ilmu zahir. Di waktu yang sama, beliau juga menuntut ilmu-ilmu batin dan berhasil meraih ijazah di dua bidang tersebut. Sayyidina Gumushanevi merupakan salah satu Syeikh dari Tarikat Naqsyabandiyah Khalidiyah, beliau mendedikasikan hidupnya untuk ilmu dan irsyad. Pada tahu 1893 beliau kembali ke rahmatullah di Kota Istanbul dengan meninggalkan puluhan karya.

Salah satu karya beliau yang paling dikenang adalah Majmuatul Ahzab, sebuah karya setebal kurang lebih dua ribu halaman. Sayyidina Gumushanevi menyiapkan karyanya ini bersama murid-muridnya dengan perhatian yang amat besar. Berkat kerja kerasnya, ia berhasil mengumpulkan ratusan wirid dan zikir yang diamalkan oleh puluhan kekasih dan wali-wali Allah. Dalam kitabnya tersebut, dijelaskan nama hizib[1], penulisnya, kapan dan bagaimana ia dibaca. Misalnya, terdapat istigfar pekanan yang biasa dibaca oleh Imam Hasan Basri, dimana istigfar tersebut dibaca harian dimulai dari hari jumat. Selain itu, di kitab tersebut juga terdapat bagian hizib, wirid, zikir malam, doa, istigfar, istiazah, tasbih, tahlil, salawat, dan qasidah bertajuk ‘usbuiyah/pekanan’ yang dibaca oleh para sultan alam maknawi seperti Sayyidina Ali karamallahu wajhah, Usamah r.a., Muhyiddin Ibnu Arabi, Abu Hasan Syazili, serta Imam Jafar as Sadiq dimana di dalamnya terdapat doa yang dibaca setiap hari selama seminggu.

Majmuatul Ahzab adalah kitab doa yang tak pernah lepas dari tangan Bediuzzaman Said Nursi. Demikian dekatnya beliau dengan kitab ini, karya bernilai tinggi yang tebalnya kurang lebih tiga kali mushaf ini diselesaikan setiap lima belas hari sekali. Aku juga beberapa kali mendengar penjelasan mengenai pentingnya membaca majmuatul ahzab dimana ia menjadi salah satu rukun dalam Profesi Nur. Ini artinya, Sang Penulis Nur, menyisihkan waktunya kurang lebih sebanyak 5-6 jam setiap hari untuk menyelesaikan pembacaan kumpulan ini dan demikianlah beliau menyibukkan dirinya dengan wirid dan zikir.

Di sini aku ingin menyampaikan sebuah kenangan yang mungkin keluar dari topik pembahasan kita: Ada salah satu tokoh alim agung yang juga ahli kalbu yang sangat kagum pada bagaimana uslub Ustaz memahami, menjelaskan, menguraikan, dan menyebarkan hakikat-hakikat iman. Ia menyampaikan bahwasanya risalah nur penulisannya amatlah sulit, merupakan karya-karya yang sangat berharga, dimana karya tersebut tak mungkin bisa ditulis hanya dengan membayangkannya saja. Ia juga menjelaskan bahwasanya karya tersebut hanya dapat digandakan dan disebarkan jika ia bersandar pada sumber yang amat kuat. Dalam setiap kesempatan yang didapatnya, ia selalu menyampaikan penghormatannya kepada Sang Penulis Nur serta kepada setiap pengabdian iman. Kemudian ada satu orang yang menunjukkan kitab Majmuatul Ahzab kepada alim tersebut serta menyampaikan bahwasanya Ustaz tak pernah lepas darinya. Sang alim kemudian berkata: “Kini aku tahu apa sumber kuat tersebut. Berarti Bediuzzaman memiliki hubungan yang amat serius dengan Rabbnya. Hubungan Ustaz dengan Allah SWT amatlah kuat. Oleh karena Ustaz tidak pernah mengendurkan tawajuhnya kepada Allah serta tidak pernah lalai dalam menjaga hubungan dengan Rabbnya, maka Allah SWT senantiasa mengokohkan kedudukannya serta menganugerahinya berbagai ihsan ilahi. “

Ya, dari manapun Anda melihat Ustaz, Anda akan menyaksikannya sebagai suatu prasasti yang sempurna. Ia tidak berkata:”Aku mengabdi kepada iman, tak apa aku ada cela dalam wirid dan zikirku!” atau “Aku mendedikasikan diriku kepada zikir dan tafakur, tak apa aku agak tertinggal di bidang meninggikan kalimat Allah!” ataupun “Aku akan mengerjakan pekerjaan ini dengan sempurna, tak apa aku agak kendor di bidang itu!”. Beliau hidup sebagai manusia yang seimbang. Beliau menganut prinsip seimbang di semua lini. Maka beliau pun mempraktikkan pembagian waktu dan pemanfaatan umur kehidupan dengan baik. Beliau tidak pernah berlaku sia-sia, tak ada waktu kehidupannya yang kosong. Beliau senantiasa memenuhi waktu dan umur kehidupannya sehingga tidak ada yang kosong. Untuk itu, tidak ada satupun tugas yang berkaitan dengan penghambaan yang diabaikan. Beliau tidak pernah menunda untuk membaca wirid dan zikir hariannya. Sebagaimana beliau menuntaskan pembacaan kitab Majmuatul Ahzab, beberapa bagian doa dari kitab tersebut semisal Jausyan, Wirid Naqsyabandi, Dalailun Nur, Sakinah, Munajat Uways al Qarani, Doa Ismu Azam, Munajat al Quran, Tahmidiyah, serta Khulasatul Khulasah dikumpulkannya menjadi sebuah hizib. Beliau berharap agar mereka yang tidak mampu membaca kitab doa ini dari awal hingga akhir setidaknya dapat mengamalkan hizib ini. Mereka yang mencintai dan mengamalkan nasihat-nasihatnya dari masa itu hingga masa ini pun  senantiasa mengamalkan hizib ini, sekarang pun demikian, di masa yang akan datang pun mereka tetap harus kontinyu dalam mengamalkannya.

Karena wirid dan zikir merupakan nutrisi terpenting bagi kaum mukminin yang bermujahadah di jalan ilayi kalimatullah (usaha untuk meninggikan kalimat Allah). Wirid dan zikir adalah tanda serta isyarat dari kedekatan hubungan seorang hamba dengan Allah SWT. Seorang manusia yang meyakini kekuatan Allah, meyakini bahwasanya Allah mahakuasa atas segala sesuatu, dan meyakini segala kehendakNya, maka sebagai konsekuensi dari keyakinannya tersebut ia harus senantiasa bertawajuh kepadaNya. Dalam rangka memenuhi segala kebutuhan dan keinginannya, hendaknya ia senantiasa hanya memohon kepadaNya. Seseorang yang berdoa, jika ia mampu mengarahkan segenap sendi dalam kalbunya untuk memohon dan mengemis kepada Allah SWT, maka ia akan melewati jarak yang bersumber dari badan dan jasmaninya. Ia akan meraih kedekatan istimewa dimana tidak ada suatu apapun yang lebih dekat kepada dirinya selain Allah SWT. Allah SWT pun akan memperdengarkan kepadanya segala sesuatu yang layak untuk didengarnya, menunjukkan segala sesuatu yang patut untuk dilihatnya, membimbing lidahnya untuk mengucapkan kata-kata yang pantas untuk diucapkan olehnya, serta mengarahkannya untuk beramal sesuai dengan yang diharapkan darinya.

Diterjemahkan dari artikel: “el kulubud daria yakaran gonuller” 

Website: http://www.herkul.org/kirik-testi/el-kulubud-daria-yakaran-gonuller/ 

[1] Hizib adalah kumpulan bacaan atau doa yang diambil dari al-Qur’an dan hadits yang disusun para wali atau ulama dan diamalkan dengan cara tertentu, dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah SWT.

Rasa dari Iman: Membarui Iman Layaknya Para Sahabat

Rasa dari Iman: Membarui Iman Layaknya Para Sahabat

“Rasa dari Iman: Membarui Iman Layaknya Para Sahabat”

Akhir dari berbagai deformasi dan laku korupsi di atas muka bumi bergantung pada bagaimana kita bisa menemukan identitas diri yang sejati. Tanpa mengubah diri sendiri, tak ada manfaatnya kita menunggu orang lain untuk berubah. Dapat saya katakan dengan pertimbangan penuh harapan bahwasanya kita sudah memulai langkah tersebut. Akan tetapi, kita belum membuat perkembangan yang berarti. Usaha kita masih belum selesai.

Seperti yang dikatakan oleh seorang penyair: ”Aku belajar di sekolah cinta bersama Majnun. Aku telah mengkhatamkan seluruh isi Al Quran tetapi ia hanya bisa sampai di Surat al Lail”

Dengan kata lain:”aku telah meraih tujuanku tetapi si Majnun mandek dan tak henti berucap: “Kekasihku Laila, Kekasihku Laila, Kekasihku Laila”.

Rekonstruksi dunia secara menyeluruh menjadi koridor surga adalah sumber harapan bagi banyak manusia.  Di satu sisi, adalah sangat penting untuk memiliki cita-cita dan tujuan yang patut ditiru tersebut. Saya yakin, tidak ada pihak lain yang memiliki cita-cita seagung itu. Saya tidak bisa memaksudkannya ke level kepemilikan dan berkata: “Anda memiliki cita-cita ini, gerakan itu memiliki cita-cita ini, komunitas ini memiliki cita-cita ini..” Karena itu hanya akan menjadi pernyataan tanpa dasar. Tetapi jika saya tidak mengatakannya, maka hal itu seperti mengingkari anugerah suci dari Allah SWT.

Segala macam perkembangan asalnya dari Fadilat, Karim, Tawajuh, dan Kehendak Agung Allah SWT. Segala sesuatu yang telah terjadi dan telah dicapai adalah referensi tentang apa saja yang akan terjadi di masa mendatang. Kita harus meyakininya dan selalu berjuang untuk memperbaharui diri.

Allah SWT berfirman:

 يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ ءَامِنُواْ بِٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَٱلۡكِتَٰبِ ٱلَّذِي نَزَّلَ عَلَىٰ رَسُولِهِۦ وَٱلۡكِتَٰبِ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ مِن قَبۡلُۚ

“Wahai orang-orang yang beriman! Tetaplah beriman kepada Allah dan RasulNya (Muhammad) dan kepada Kitab (Al Quran) yang diturunkan kepada RasulNya, serta kitab yang diturunkan sebelumnya!” (QS An Nisa 4:136)

Ayat ini berbunyi: ”Wahai orang-orang yang beriman!” Ayat ini tidak berbunyi: ”Wahai orang-orang yang tidak beriman, munafik, pendosa, lagi fasik!” Dan secara gramatikal ayat ini berkata: ”wahai orang-orang yang senantiasa berada dalam keimanannya.” Di satu sisi, ayat ini merujuk kepada mereka yang senantiasa memperbaharui keimanan agar selalu ada dalam kesadarannya secara kontinu, yang senantiasa berlari untuk membuktikan keimanannya. Mereka melubangi hati mereka dengan makrifatullah. Mereka bergerak dengan khusyuk dan penuh rasa takut kepada Rabbnya. Dengan menggunakan akal pikiranmu di jalan ini dan mengarahkannya ke pemikiran positif, datang dan berimanlah sekali lagi.

Para sahabat memahami dengan baik ayat ini dan sering kali menyeru orang-orang yang mereka temui di pinggir jalan: “Datanglah! Mari bersama-sama memperbaharui keimanan kita kepada Allah!” Para sahabat beriman dengan level yang jauh di atas level iman kita. Mereka beriman seakan-akan telah menyaksikan Allah SWT. Mereka menunjukkan laku yang mengisyaratkan ketinggian level ihsan mereka.  Rasulullah telah menjadi contoh bagi mereka. Mereka membentuk dirinya dengan mencontoh akhlak Baginda Nabi.

Mereka mencontohnya di segala aspek. Apa yang dia lakukan, bagaimana beliau bersemangat menyebarkan pesan Tuhan, menumpahkan air mata, bagaimana menyungkurkan kepalanya di atas tanah untuk bersujud bermenit-menit, mereka berusaha mengopi Rasul SAW, mereka ada di jalannya. Berusaha menjadi seperti dirinya, berusaha untuk layak menjadi sosok disisinya, berusaha menjaga kualitas dirinya, atas izin dan inayah Allah.

Usaha ini terus berlanjut hingga waktu tertentu. Beliau SAW bersabda:

خَيْرُكُمْ قَرْنِي ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

 “yang terbaik di antara kalian adalah mereka yang hidup di masaku (para sahabat). Lalu yang mengikuti mereka (Tabiin), lalu yang mengikuti mereka yang mengikut sahabatku (tabiut tabiin)[1].”

Masa terbaik adalah masa dimana banyak terdapat manfaat buat umat manusia, masa yang paling dirindukan adalah masaku. Lalu masanya para tabiin, dimana mereka masih mengikuti jalan kenabian yang terang benderang. Dia adalah Qamari Munir (Bulan Yang Cemerlang). Ustaz menggunakan istilah ini untuk mengagungkannya. Sahabatnya adalah lingkaran cahaya yang mengitarinya.

Lewat sabdanya ini Baginda Nabi mendorong umat manusia untuk mengikuti jalan para sahabatnya. Baginda Nabi bersabda:

أَصْحَابِي كَالنُّجُومِ، بِأَيِّهِمُ اقْتَدَيْتُمْ اِهْتَدَيْتُمْ

“Sahabatku bagaikan bintang gemintang. Siapa pun yang kalian ikuti, kalian akan terbimbing ke jalan kebenaran.[2]

Mereka seperti bintang gemintang yang mengitari matahari ataupun tata surya. Khususnya para khulafaur rasyidin.

Oleh karenanya, para sahabat adalah representasi murni dari Islam yang menampilkan sinar iman di jalan hidup yang mereka tempuh. Mereka yang mengikuti para sahabat secara otomatis berarti mengikuti jalannya Sang Nabi, dan membentuk dirinya sesuai dengan yang diarahkan sang Nabi. Mereka senantiasa mengecek apakah ada laku mereka yang bertentangan dengan arahan Nabi dan menyetel ulang kehidupannya secara kontinu.

Mereka berkata: Inilah yang dikerjakan oleh para sahabat, dan mereka pun menjunjung tingginya. Mereka membentuk detak dunia kalbunya sesuai dengan ritme yang dihentakkan oleh para sahabat.  Ketika Anda menjauhi jalan para sahabat, perlahan Anda pun dijauhkan dari cahaya sucinya. Mungkin cahayanya tidak benar-benar padam. Tetapi ia tidak mengeluarkan radiasi sekuat sebelumnya.

Di masa tabiut tabiin dan di masa-masa setelahnya, menyebar berbagai macam pemikiran dan ideologi aneh yang sanggup membuat perut kita mual: Neo Platonism, Pemikirannya Sokrates, Aristoteles, dan Filsafat Yunani membangun jalannya menuju pemikiran suci dunia intelektual kita. Mereka mulai menimbulkan kesakitan di dunia intelektual kita.

[1] HR al-Bukhâri, 3651, dan Muslim, 2533.

[2] `Abd ibn Humayd, ad-Daraqutnii, ibn `Adiyy, ibn `Abd al-Barr, dengan sanad yang tidak sahih, tetapi maknanya sahih.