mengembangkandiri-pemuda

Demi Pemuda

Bagi mereka yang ingin memprediksi masa depan sebuah bangsa, bisa dengan mudah dan akurat mengamati sistem pendidikan yang diajarkan ke generasi mudanya.


Nafsu layaknya manisan, dan kebaikan seperti makanan yang kadang sedikit asin bahkan masam. Jikalau pemuda diberikan pilihan, yang mana akan mereka lebih sukai? Karena itulah, sudah menjadi kewajiban kita untuk mengarahkan mereka menjadi sahabat bagi kebaikan dan musuh dari kebiasaan buruk dan tak bermoral.


Sampai kita menyelamatkan generasi muda kita melalui pendidikan, mereka masih akan terus tertawan oleh lingkungan, nafsu serta kesenangan dunia. Mereka hanyut tanpa tujuan, terpengaruh oleh nafsu dan jauh dari ilmu dan akal budi. Sebenarnya, mereka mampu menjadi contoh sebagai pemuda yang gagah berani yang berprinsip dan berjiwa kebangsaan, namun, hanya jika pendidikan yang mereka tempuh mampu merawat potensi mereka dan mengembangkannya dengan cermat demi masa depan.


Bayangkan, semisal masyarakat sebagai sebuah cangkir terbuat dari kristal, dan generasi mudanya adalah cairan yang dituangkan kedalamnya. Perhatikan bahwa cairan mengikuti bentuk dan warna wadahnya. Namun disisi lain, apabila ada kelompok dengan pemikiran yang melenceng menjerumuskan para pemuda untuk patuh kepada mereka ketimbang kebenaran sejati. Apakah orang seperti mereka tak pernah bertanya ke dalam benaknya sendiri? Bukankah mereka seharusnya juga berada dalam jalan kebenaran?


Maju atau mundurnya sebuah bangsa tergantung pada semangat dan kesadaran pada bidang pendidikan yang diberikan kepada para generasi muda. Bangsa yang berhasil membangun generasi mudanya dengan baik, akan selalu siap untuk maju, sedangkan bangsa yang gagal dalam mendidik generasi mudanya, akan sadar bahwa mustahil untuk maju, bahkan mustahil hanya untuk mengambil satu langkah kedepan.


Hanya sedikit perhatian yang kita berikan tantang pentingnya nilai-nilai budaya dalam pendidikan, yang sebenarnya merupakan intisari dari pendidikan. Saat kita sudah sadar dan memberikan porsinya dengan tepat, kita akan meraih tujuan utama pendidikan.


Generasi muda adalah sumber tenaga, kekuakatan dan kecerdasan masa depan suatu bangsa. Jika dilatih dan dididik dengan tepat, mereka bisa menjadi “pahlawan”, yang menghadapi rintangan dan yang berpemikiran cemerlang sebagai cahaya bagi hati dan kedamaian dunia.

mengembangkandiri-iman

Bagaimana Imanmu?

Hakikat Iman, Apa itu Iman?

Iman secara bahasa berarti percaya atau yakin. Adapun secara istilah berarti percaya pada sesuatu tanpa ragu-ragu, memberikan keyakinan,  menjamin keselamatan dan keamanan orang lain, serta dapat dipercaya, dapat diandalkan, dan jujur.

Dalam konteks agama, iman bermakna keyakinan dengan sepenuh hati atas keesaan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan kenabian Rasulullah Shallalahu ‘alaihi wa Sallam,  beserta risalah yang beliau bawa.

Tingkatan Iman

Ulama membagi iman dalam dua tingkatan, yaitu iman ijmali dan iman tafsili. Iman  ijmali bermakna mengimani Allah secara garis besar melalui risalah kenabian. Dengan kata lain, ucapan syahadat, “Tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah utusan Allah”, merupakan bentuk iman ijmali.

Iman ijmali yang merupakan rukun Islam pertama tak lain adalah tingkatan pertama keimanan seorang hamba. Perlu dicatat bahwa seseorang memang telah dianggap sebagai mukmin jika sekadar beriman secara ijmali. Kendati demikian, ia diwajibkan mempelajari dan mengamalkan pilar keimanan lainnya beserta syariat agama.

Di sisi lain, iman tafsili, beriman secara komprehensif, bermakna mengimani Allah beserta rukun iman lainnya secara mendalam. Termasuk pula semua ajaran Rasulullah. Iman tafsili terwujud dalam rukun iman dan rukun Islam. Dalam cakupan yang lebih luas, seseorang yang beriman kepada Allah secara tafsili akan berusaha melaksanakan perintah-Nya, seperti shalat fardu, puasa, sedekah, dan haji sekaligus menjauhi larangan-Nya seperti minum minuman keras, berjudi, dan bermaksiat.

Seorang hamba, tanpa terkecuali, harus mengamalkan iman tafsili dalam kehidupan kesehariannya. Seorang kafir akan mudah mengusik keimanan  seseorang melalui tingkat keimanan pertama, yang beriman hanya dalam lisannya. 

Seseorang yang wafat dalam kondisi kalbu penuh dengan iman akan memasuki surga-Nya. Kendati demikian,  keimanan seorang Muslim dapat menjadi lebih tinggi derajatnya dengan keyakinan yang komprehensif (iman tafsili)  yang dibangun di atas fondasi yang kuat.

Ustadz Said Nursi menggambarkan tingkat keimanan seseorang dalam satu cerita berikut:

Mari kita misalkan ada beragam jenis barang-barang antik milik seorang raja atau sultan yang diperjualbelikan di suatu pasar.

Keaslian barang, bahwa barang tersebut adalah milik seorang raja atau sultan, dapat diketahui melalui dua cara.

Yang pertama, percaya secara lugu, berdasarkan penalaran umum, dari perkataan yang ada di khalayak ramai, seperti, “Beragam barang dengan kualitas baik dan jumlah yang banyak seperti ini sudah sewajarnya milik seorang sultan. Tak ada yang lain.”

Akan tetapi, penalaran seperti demikian tidak mampu menghindarkan seseorang dari keraguan.

Misalkan saja ada orang lain lagi yang datang kemudian berkata, “Barang ini sepertinya bukan hanya milik sang sultan, melainkan milik si fulan atau si fulan.” Lantas orang yang berpikir demikian mulai ragu dan akhirnya beralih percaya kepada pemikiran yang baru.

Yang kedua, melalui penalaran secara komprehensif. Seseorang akan memeriksa secara teliti setiap label yang ada di setiap barang, yang dapat membedakan barang asli milik sultan atau milik orang lain. Dengan seperti ini tidak akan ada keraguan dan ketidakpastian sedikitpun.

Tiada seorangpun yang mampu menipu orang yang memiliki level kepercayaan seperti ini.

Seumpama ada lagi seseorang yang datang dan berkata, “Barang ini sebenarnya milik sang sultan dari istana ini dan itu.” Dia pun langsung mampu menimpali, “Anda tidak benar. Barang ini bukanlah miliknya, melainkan milik orang lain.”

Demikianlah betapa jelasnya perbedaan antara iman ijmali (tingkat dasar) dengan iman tafsili (tingkat komprehensif).

Seseorang dengan iman tingkat dasar mungkin akan berpikiran, “Allah-lah yang menciptakan alam semesta beserta isinya, tiada yang lain.”

Namun, orang tersebut tidak terjamin akan terhindar dari segala bentuk keraguan. Adapun jika didatangi orang lain lagi dan dia berkata bahwa, “tidak, Allah tidak menciptakan alam semesta.” dan dijelaskan lebih lanjut dengan pemikiran seperti itu, orang dengan keimanan tingkat dasar ini akan mudah percaya dan menjadi kafir.

Sementara orang dengan tingkat keimanan komprehensif (iman tafsili) tentu akan mentafakuri Allah beserta ciptaan-Nya. Ia akan membuktikan dengan akal dan kalbu bahwa segalanya merupakan ciptaan-Nya. Demikian kuat keimanannya hingga tidak ada keraguan sedikitpun dalam relung kalbunya. Imannya tak akan goyah bahkan di hadapan seorang filsuf ateis durjana.

mengembangkandiri-akhlak-yang-baik

8 Sebab tentang Pentingnya Akhlak yang Baik

Mengapa Akhlak yang Baik Begitu Penting?

“Warisan terbaik yang ditinggalkan orang tua kepada anaknya adalah akhlak yang baik”[1]

Mengapa Akhlak Baik?

Tidak ada agama atau sistem lain yang lebih mementingkan akhlak yang baik selain Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Islam adalah akhlak yang baik.”

Memiliki akhlak yang baik adalah bukti terbaik yang bisa ditunjukan oleh setiap orang bahwa dirinya adalah seorang Muslim. Ada banyak hadits (kebiasaan) Nabi SAW yang mendorong perilaku yang baik.

Misalnya, “Yang paling sempurna imannya di antara orang-orang mukmin adalah yang berakhlak baik.”

Nabi SAW, yang menekankan pentingnya perilaku baik di atas iman, menyampaikan bahwa sarana untuk menjadi dekat dengannya adalah dengan berakhlak yang baik. Seperti yang tertuang dalam hadits berikut: “Pada Hari Pembalasan, orang yang paling saya sayangi dan paling dekat dengan saya adalah orang-orang yang memiliki akhlak yang terbaik.”

Di dalam Al-Qur’an, ada banyak ayat yang mendorong akhlak yang baik seperti menepati janji, memaafkan, kerendahan hati, menaati orang tua, amanah, kasih sayang, persaudaraan, kedamaian, ketulusan, kedermawanan, kasih sayang, toleransi, berbicara dengan santun, menjadi orang yang ramah, dan hati yang bersih.

Selain itu, banyak juga ayat-ayat Al-Qur’an tentang menghindari akhlak tercela dan perilaku yang buruk seperti penindasan, kesombongan, kekejaman, keserakahan, keegoisan, kecemburuan, keangkuhan, permusuhan, kecurigaan, pemborosan dan membuat kerusakan, yang juga menandakan bahwa bagaimana sangat diperlukannya iman dan keislaman dalam mewujudkan perilaku dan akhlak yang baik.

Jadi mengapa kita harus berakhlak baik? Kita dapat membahas topik ini dalam beberapa uraian berikut:

  1. Selain ibadah, aqidah Islam sangat mementingkan hubungan sosial, dan tidak mungkin bagi mereka yang tidak memiliki akhlak yang baik untuk menjalankan agamanya dengan sempurna.
  2. Nabi Muhammad SAW merepresentasikan akhlak yang baik. Untuk menjadi penghuni surga, perlu dihiasi dengan akhlak yang baik. Dalam Al-Qur’an, Allah menyampaikan bahwa Nabi yang mulia adalah suri tauladan yang paling baik bagi setiap orang beriman. Dalam ayat lain Al-Qur’an mengungkapkan, “Kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung” (al-Qalam 68:4). Satu-satunya cara seseorang dapat hidup seperti Rasulullah adalah dengan meniru akhlak dan perilakunya yang baik.
  3. Ketika seorang mukmin memiliki akhlak yang baik, ia dapat diangkat ke derajat orang-orang yang muqarrabun. Nabi mulia mendefinisikan hal ini dalam salah satu hadis dengan sabdanya berikut: “Dengan akhlaknya yang baik, seorang mukmin akan mencapai derajat orang yang shalat di malam hari dan berpuasa di siang hari.” Ini tidak boleh disalahartikan. Ibadah sangat penting dalam hal menampilkan pengabdian kepada Allah. Tetapi di samping itu, seorang mukmin yang hidup dalam suatu masyarakat harus mematuhi perilaku yang diperlukan dalam hubungan antara orang-orang di dalam masyarakat itu. Ketika dia mencapai ini, atau dengan kata lain, ketika dia adalah orang yang berakhlak dan berperilaku baik, maka ibadahnya akan mencapai kesempurnaan.
  4. Memiliki akhlak yang baik adalah sarana yang dengannya seorang mukmin bisa masuk surga. Suatu ketika seorang laki-laki bertanya kepada Nabi yang mulia, tentang perbuatan apa yang paling banyak membawa manusia ke surga, dia menjawab, “Ketakwaan dan akhlak yang baik”, yang menandakan pentingnya akhlak yang baik diiringi dengan ibadah.
  5. Akhlak yang baik menandakan kesempurnaan dan kedewasaan dalam beragama dan beriman. Nabi yang mulia mengidentifikasi dua karakteristik yang tidak ditemukan pada seorang mukmin—ketamakan dan akhlak yang buruk. Sekali lagi, dia menegaskan bahwa yang terbaik di antara orang-orang beriman dalam hal iman adalah mereka yang berakhlak baik.
  6. Akhlak dan perilaku yang baik juga merupakan bentuk pengabdian kepada Allah. Dengan kata lain, memiliki akhlak yang baik adalah salah satu bentuk ibadah. Bahkan Nabi SAW mengatakan bahwa bentuk ibadah yang paling sederhana adalah menahan diri dari berbicara yang tidak perlu dan perilaku yang baik.
  7. Menampilkan akhlak yang baik adalah tanda cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini secara jelas dijelaskan dalam hadis yang menyatakan bahwa orang-orang yang paling dekat dengan Rasulullah pada Hari Pembalasan adalah orang-orang yang berakhlak baik. Ketika Allah mencintai hamba-Nya, Dia memberinya akhlak yang baik.
  8. Akhlak yang baik menghilangkan dosa sebagaimana seperti matahari menghilangkan embun beku: akhlak yang baik mencairkan dosa seperti air mencairkan es. Nabi yang mulia menjelaskan bahwa akhlak yang buruk merusak perbuatan baik seperti halnya cuka merusak madu. Oleh karena itu, kita semua harus membaca doa Nabi SAW: “Ya Tuhan! Saya memohon kepadaMu atas kesehatan, menahan diri, amanah, akhlak yang baik dan ridha terhadap takdir. Wahai Yang Maha Penyayang! Saya memohon kepada-Mu dengan kebaikan dari kasih sayang-Mu.”

[1]Sunan at-Tirmidzi, Birr, 33.

mengembangkandiri-HUT-RI

Nasionalisme, Perjuangan, dan Kemerdekaan

Karya Pembaca: Mahir Martin

Nasionalisme dan Perjuangan

Setiap tanggal 17 Agustus, kita memperingati Hari Ulang Tahun (HUT) kemerdekaan negara kita. Tahun ini, negara kita telah memasuki usia yang ke-76. Usia 76 tahun kemerdekaan bukanlah usia yang pendek bagi negara kita Indonesia untuk membangun bangsanya.

Banyak hal yang sudah dilakukan bangsa ini dalam rangka mengisi kemerdekaannya. Orang tua ataupun anak muda, laki-laki ataupun perempuan, di kota ataupun di desa, semua bahu-membahu dan berlomba-lomba memberikan yang terbaik bagi bangsa ini.

Kemerdekaan dan Nasionalisme

Atmosfer peringatan HUT kemerdekaan mulai terasa ketika kita memasuki bulan Agustus. Di bulan ini, kita diingatkan lagi dengan nilai-nilai nasionalisme. Nilai-nilai nasionalisme yang tumbuh jauh sebelum diproklamirkannya kemerdekaan negara ini. Nilai-nilai nasionalisme yang masih tetap kita jaga dan lestarikan hingga saat ini.

Sejatinya, banyak hal yang bisa dilakukan untuk menjaga dan merawat nilai-nilai nasionalisme. Misalnya, memasang bendera, umbul-umbul, spanduk, dan baliho bertemakan kemerdekaan menjadi kegiatan rutin yang kita lakukan. Warna merah putih menjadi begitu dominan di sepanjang jalan utama ataupun di gang-gang kecil, baik di perkotaan maupun di pedesaan.

Masyarakat bekerja bakti untuk membuat gapura dan menghias lingkungan sekitar. Semua bekerja sama dan memberikan kontribusi apapun yang bisa dilakukan. Semua dilakukan dengan semangat gotong royong yang memang sudah menjadi ciri khas warisan budaya nenek moyang bangsa ini.

Ya, gotong royong adalah interpretasi dari rasa nasionalisme kita kepada bangsa dan negara. Gotong royong yang didasari persatuan dan kesatuan, kebersamaan, dan persaudaraan. Gotong royong yang telah menjadi bagian dari jati diri bangsa. Gotong royong yang tidak membuka celah terhadap nasionalisme negatif yang justru bisa menghancurkan bangsa dan negara ini.

Nasionalisme negatif biasanya terjadi karena adanya sikap cinta tanah air yang berlebihan. Nasionalisme negatif membuat masyarakat merasa bahwa hanya bangsa dan negaranya yang paling unggul, dan mereka menutup mata terhadap bangsa yang lain. Nasionalisme negatif ini dikenal dengan nama chauvinisme.

Ada banyak contoh dalam sejarah yang menunjukkan bahwa chauvinisme tidak akan bertahan lama. Sebut saja, chauvinisme Adolf Hitler dengan nazi-nya di Jerman, chauvinisme Mussolini dengan fasisme-nya di Italia, ataupun chauvinisme bangsa Jepang ketika menjajah negara-negara jajahannya.

Kemerdekaan dan Perjuangan

Selain nasionalisme, kemerdekaan juga bermakna perjuangan. Perjuangan adalah nilai penting dalam kemerdekaan. Tidak akan ada kemerdekaan tanpa adanya perjuangan. Keduanya menjadi satu kesatuan, berjuang untuk menggapai kemerdekaan.

Peristiwa kemerdekaan yang jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945 merupakan peristiwa penting yang diperingati secara seremonial setiap tahunnya. Kemerdekaan memang seremonila, tetapi perjuangan untuk menggapainya seharusnya tidak bermakna seremonial.

Kemerdekaan memang seharusnya bukanlah tujuan utama perjuangan. Perjuangan harus terus dilakukan, ada atau tidak ada kemerdekaan. Berapa banyak pahlawan yang gugur tanpa merasakan manisnya kemerdekaan. Bagi mereka, bisa berjuang dan gugur untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa, sudah menjadi tujuan mulia kehidupan. Bangsa ini menghargai mereka sebagai pahlawan, bukan karena kemerdekaan, tetapi karena perjuangan yang mereka lakukan.

Kini, meskipun bangsa ini sudah merdeka, perjuangan harus tetap dilanjutkan. Kita sebagai penerus para pahlawan, seharusnya bisa terus berjuang untuk mengisi kemerdekaan dengan hal-hal positif di bidang yang kita geluti masing-masing.

Misalnya saja, baru-baru ini di Olimpiade Tokyo, kita diperlihatkan dengan perjuangan heroik ganda putri andalan Indonesia Greysia Polii dan Apriani yang berhasil mendapatkan medali emas di perhelatan olahraga terbesar di dunia itu. Perjuangan mereka terasa lebih istimewa karena mereka sebenarnya tidak diunggulkan.

Mereka berhasil menembus batas dan akhirnya mendapatkan hasil terbaik, jauh melampaui apa yang diharapkan dari mereka. Oleh karenanya, begitu banyak apresiasi yang diberikan kepada mereka. Sejatinya, mereka telah menyelamatkan wajah perbulutangkisan Indonesia dengan mempertahankan tradisi emas di Olimpiade disaat yang diunggulkan justru harus berguguran.

Perjuangan Greysia Polii dan Apriani memang luar biasa. Disaat dunia memandang mereka dengan sebelah mata, mereka mampu membalikkan semua prediksi dengan mengeluarkan kemampuan terbaiknya untuk menjadi juara. Pastinya, ini diraih dengan persiapan yang matang.

Ya, bagi seseorang yang benar-benar ingin berjuang, segala sesuatunya memang perlu dipersiapkan dengan matang.

Kemerdekaan yang kita dapat 76 tahun lalu, tidak begitu saja didapatkan. Ada persiapan panjang dalam melakukan perjuangan. Begitu juga Greysia Polii dan Apriani. Menjelang olimpiade pastinya mereka sudah berlatih keras dan telah mengeluarkan kemampuannya secara maksimal.

Dalam perjuangan memang perlu adanya persiapan. Persiapan yang bisa dijadikan amunisi ataupun senjata andalan untuk bisa memberikan hasil yang terbaik. Dalam persiapan, diperlukan perencanaan yang matang, strategi yang baik, dan semangat yang kuat untuk melakukan perjuangan. Ketika semua itu dilakukan, maka perjuangan akan berbuah manis. Proses tidak akan mengkhianati hasil yang akan dicapai.

Sebuah Refleksi

Dalam kehidupan, kita akan melihat pola yang sama. Dengan perjuangan, kehidupan pun akan terasa manis. Hidup memang perlu diperjuangkan. Hidup yang tidak diperjuangkan, tidak akan dapat dimenangkan.

Ulama dan cendekiawan Muslim Muhammad Fethullah Gulen Hojaefendi dalam bukunya pernah menuliskan, “Perjuangan seorang insan bagi agama, bangsa, negara, generasi penerus, dan masa depan adalah sebuah prinsip.”

Ya, perjuangan adalah sebuah prinsip kehidupan yang mendorong kita untuk mengorbankan apapun demi sesuatu yang kita perjuangkan. Apapun rintangannya, kita tak akan pernah berhenti berjuang. Bahkan demi nilai-nilai suci yang kita miliki, bukan hanya harta, terkadang nyawa pun bisa kita berikan.

Disisi lain, perjuangan bagi agama, bangsa, negara, dan generasi penerus di masa depan harus dilakukan secara bersama. Hal ini sejalan dengan nilai gotong royong yang merupakan interpretasi nasionalisme positif yang juga merupakan bagian penting dari makna kemerdekaan.

Alhasil, kemerdekaan memang memiliki banyak makna bagi masyarakat yang mau menghayatinya dan merenunginya. Jiwa nasionalisme dan jiwa-jiwa penuh perjuangan adalah diantaranya. Namun, yang tidak boleh dilupakan adalah bahwa jiwa nasionalisme dan perjuangan itu seyogyanya bisa keluar dari dorongan internal dalam diri masyarakat untuk melakukannya.

Dorongan internal yang didasari dengan hati yang dipenuhi dengan niat yang tulus. Niat yang diarahkan hanya untuk Allah SWT semata. Ya, hanya bagi-Nya yang Mahakuasa, yang telah memberikan nikmat kemerdekaan kepada kita.

Mungkin ini adalah bentuk rasa syukur terbaik yang bisa kita lakukan kepada-Nya di hari kemerdekaan yang kita peringati setiap tahunnya.

Merdeka!

Pertolongan-Nya dalam Mengabdi di Jalan-Nya

Allah Azza wa Jalla dalam Al Quran berfirman,

“Wahai orang-orang yang beriman! Bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya dan janganlah kamu mati kecuali dalam keadaan Muslim.” (QS.Ali Imran : 102)

Ayat ini memiliki makna yang begitu dalam.

Semua orang beriman harus memiliki pijakan yang kuat; berusaha menjaga kesucian hati; selalu mengingat makna penciptaan;  sekuat tenaga memenuhi janji pada-Nya.

Senada dengan ayat dalam surat Al-baqarah, “…penuhilah janjimu kepada-Ku, niscaya Aku penuhi janji-Ku kepadamu, dan takutlah kepada-Ku saja.” (Al-baqarah : 40)

Kita sudah berjanji untuk mengenal-Nya, mengenalkan-Nya pada insan lainnya, dan menyembah-Nya dengan sebaik-baik penyembahan. Jika janji kita ini terpenuhi, niscaya Dia akan mengampuni hamba-hamba-Nya dan menganugerahkan indahnya surga.

Memiliki pijakan yang kuat memiliki makna tersendiri. Makna tersebut termaktub dalam ayat, “Wahai orang-orang yang beriman! Jika kamu menolong (agama) Allah, niscaya Dia akan menolongmu dan meneguhkan kedudukanmu.” (QS. Muhammad : 7)

Tidak ada seorang hamba pun yang mampu menolong Allah dan Allah tidak membutuhkan pertolongan dari siapapun. Ayat ini bermakna bahwa kita harus menolong agama Allah dan berjuang untuk mensyiarkan keagungan nama-Nya. Barangsiapa yang menolong agama-Nya pasti akan mendapat ampunan Allah kelak di akhirat. Mereka akan meninggalkan dunia fana ini dengan iman di kalbunya. Allah akan meneguhkan kedudukannya sepanjang hayatnya.

Hal ini berlaku bagi kedua belah pihak, pihak yang membimbing dan pihak yang dibimbing.

Di akhirat, begitu banyak balasan yang tidak terduga menunggu hamba-hamba yang seperti ini.

Ada satu kisah yang sangat menarik.

Seorang pemuda bernama Safa yang sedang menempuh studinya di Asia Tengah bercerita,

“Saya memiliki seorang teman yang mendapat beasiswa pemerintah. Kita berada di jurusan dan kelas yang sama. Ia lulusan dari sekolah menengah teknik sebelumnya.

Ia tinggal di asrama yang disediakan oleh pihak perguruan tinggi.

Selama liburan musim panas, ia pulang kampung halaman dan ayahnya merasa anaknya itu telah berubah.

Sang ayah berkata, “Nak, saya pikir, sepertinya disana, semua sudah menjadi terlalu bebas bagimu. Ayah tidak akan mengirimmu kembali lagi ke sana.”

Ia bersikeras agar ayahnya mengizinkannya kembali berkuliah, dengan dalih bahwa pendidikan merupakan sesuatu yang begitu berarti baginya.

Ayahnya menimpali, “Saya akan mengizinkanmu dengan satu syarat. Kamu harus selalu berbuat baik dan berteman dengan orang-orang saleh, kemudian saya akan mempertimbangkannya.”

Ia pun menerima syarat itu.

Awal semester telah tiba. Ia mendatangiku dan menceritakan segalanya.

Ia meminta agar dapat tinggal bersama di kontrakan saya waktu itu.

“Begitulah syarat ayahku.  Untuk melanjutkan studiku, Aku harus tinggal bersama kalian.” ucapnya.

Saya pun menjawab, “Itu bisa diatur. Namun sebelumnya Aku harus berbicara kepada penghuni yang lainnya.”

Langsung, setelah itu saya menemui teman-teman dan menjelaskan kondisinya. Mereka berpendapat bahwa ia memiliki reputasi yang buruk, sehingga dikhawatirkan akan berpengaruh pada kami. Sekuat apapun saya membujuk teman kontrakan, mereka tetap bersiteguh dengan keputusan tidak menerimanya.

Setiap hari ia terus mengajak saya berbicara, hanya berdua dan bertanya, “Apa yang terjadi? Apakah kamu sudah berbicara dengan mereka?”

Saya terus membuat alasan dengan mengatakan, “Aku akan segera berbicara dengan mereka.”

Saya pikir perlahan-lahan ia akan menyerah. Namun, hal itu tidak terjadi.

Saya pun sedikit lebih memaksa penghuni kontrakan.

Salah seorang menjawab, “Jika memang benar kamu begitu ingin membantunya, mengapa kamu tidak pergi saja dan tinggal bersamanya.”

Saya pun setuju. Saya pergi bersama beberapa teman yang sepemahaman dan menyewa sebuah rumah. Dengan begitu, saya dapat mengajaknya untuk tinggal bersama kami.

Tidak lama kemudian, sikap dan perilaku teman saya tadi mulai menunjukkan tanda-tanda perubahan. Ia meninggalkan beberapa kebiasaan buruknya dan mulai memperbaiki diri. Tidak hanya itu, kini ia menjadi sosok baru, yang raut wajah dan rohaninya seperti memancarkan cahaya. Semua tetangga dan teman kami menyukainya.

Suatu hari ia menderita sakit parah. Kami pun membawanya ke rumah sakit terdekat. Setibanya di sana, dokter berkata, “Kalian sudah terlambat, usus buntunya sudah pecah.”

Entah mengapa ia tidak menyadari penyakit ini. Kebocoran ususnya sudah menyebabkan luka yang serius di organ lainnya. Tidak ada harapan baginya. Dokter pun menyarankan agar kami memberi tahu keluarganya untuk mendampinginya untuk yang terakhir kali. Sang ayah tiba dan melihatnya menghembuskan napas terakhir.

Beberapa bulan kemudian, saya bermimpi bertemu dengannya.

Ia sedang duduk beralaskan tanah menikmati teh sementara kami saling berbincang-bincang. Ia duduk di sebelah saya. Di sebelah saya juga terdapat teman yang lain.

Saya bertanya, “Bagaimana mereka memperlakukanmu disana?”

“Aku diperlakukan seperti saat bersama diantara kalian. Mereka tidak menjerumuskan orang-orang sepertimu ke dalam jurang neraka. Itulah mengapa aku juga dianugerahi Surga.”

Saya pun terbangun, dan menangis tanpa henti.

Sang Bediuzzaman menyampaikan kabar gembira kepada kita semua. Dalam kondisi zaman dan era seperti ini, siapa saja yang mengabdi kepada iman dan Al Quran niscaya ia akan ditolong oleh-Nya.

Beliau menjuluki mereka yang berkhidmah sebagai “Orang-orang beriman dan penyelamat”

Allah berkuasa untuk membalas sekecil apapun usaha dari hamba yang berjuang di jalan-Nya dengan imbalan yang lebih besar. Dialah Yang Maha Kuasa. Pintu ampunan selalu terbuka lebar kepada siapa pun yang mengetuknya dengan penuh keikhlasan. Selama mereka tidak menyimpang dari jalan cahaya, rombongan keabadian, keadilan dan kebenaran.

mengembangkandiri-tahun-baru-niat-baru

Niat, Rencana, Aksi, dan Evaluasi

Karya Pembaca: Mahir Martin

Niat Dalam Beragama dan Berorganisasi

Dalam agama, niat merupakan salah satu hal penting yang perlu dipahami. Ketika seseorang melakukan ibadah, maka ibadah harus diawali dengan niat. Meskipun ada perbedaan bagaimana cara mengucapkan atau melafalkan niat, tetapi tak ada yang menafikan pentingnya kedudukan niat dalam ibadah.

Terkait niat ini, Rasulullah SAW pernah bersabda,

”Siapa saja yang berhijrah kepada Allah dan rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan rasul-Nya. Tetapi siapa yang berhijrah kepada dunia yang akan ditemuinya, atau kepada perempuan yang akan dikawininya, maka hijrahnya kepada sasaran hijrahnya.”

Imam Al-Ghazali dalam kitab Ihya Ulumuddin mendefinisikan makna niat sebagai kehendak atau maksud, atau satu kondisi dan suasana hati yang dikelilingi dua hal yakni ilmu dan amal (perbuatan).

Niat, Rencana, Aksi, dan Evaluasi

Niat, tidak hanya penting dalam amalan beragama. Dalam berorganisasi niat juga memiliki peran yang sangat penting. Mungkin sebagian kita tidak menyadarinya. Hal ini disebabkan karena biasanya kita terlalu fokus pada hal-hal yang bersifat formal. Dan niat bukan suatu hal yang formal untuk dilakukan.

Sebagai contoh, dalam berorganisasi, formalnya ada tiga fase penting yang perlu dilewati. Ada fase perencanaan (planning), fase aksi (action), dan fase evaluasi (evaluation). Berbagai macam teori, metode, dan model tentang ketiga hal tersebut bisa kita dapatkan dengan mudah. Kita bisa mempelajarinya baik melalui buku, internet, maupun sumber-sumber lainnya.

Lantas, apa korelasi niat dengan rencana, aksi, dan evaluasi?

Untuk menjawabnya, mari kita perhatikan perkataan ulama dan cendekiawan muslim Muhammad Fethullah Gulen Hojaefendi yang dikutip dari bukunya yang berjudul Islam Rahmatan Lil Alamin.

Beliau berkata, “Segala sesuatu bermula dalam bentuk gambaran di dalam benak, yang kemudian berkembang menjadi rencana, kemudian beralih kepada upaya untuk mewujudkannya dengan tekad dan kesungguhan.”

Artinya, sebuah rencana harus didahului oleh bentuk gambaran yang ada di dalam benak. Bentuk gambaran dalam benak inilah yang diartikan dengan niat. Tanpa adanya niat, tak ada satu pekerjaan pun yang bisa dimulai dan diselesaikan dengan baik. Sejujurnya, dapat dikatakan bahwa niat itulah sumber kekuatan yang tersimpan yang akan membuat sesuatu bisa terjadi.

Jarang sekali para ahli ilmu manajemen organisasi yang menjelaskan dan membahas tentang niat ini. Padahal, kunci berjalannya perencanaan, aksi, dan evaluasi terletak pada motivasi dan semangat pada individu-individu yang memiliki tekad, dan kesungguhan untuk menjalankannya. Dengan kata lain individu-individu yang memiliki niat yang kuat.

Yang sering terjadi, sistem berorganisasi yang telah dirancang sempurna dengan fase perencanaan, aksi, dan evaluasi yang dipersiapkan dengan begitu matang, ternyata dalam pelaksanaanya terdapat banyak kendala disebabkan karena tidak adanya motivasi dan semangat dari individu dalam menjalankan organisasi.

Inilah apa yang dimaksud dengan niat adalah sumber kekuatan dari segala sesuatu untuk terwujud. Tanpa adanya niat, segala sesuatu tak akan berjalan dengan lancar dan sempurna.

Sejatinya, niatlah yang akan menimbulkan motivasi dan semangat yang tak akan pernah luntur pada diri seseorang dalam berorganisasi.

Niat dan Proses Dalam Berorganisasi

Di sisi lain, selain niat itu penting sebelum perencanaan, adanya niat yang kuat juga penting agar individu dalam organisasi memahami dan mencermati proses dalam berorganisasi.

Lantas, bagaimana niat seseorang bisa mempengaruhi seluruh proses dalam organisasi?

Dengan niat yang kuat dalam benaknya, seseorang akan memahami apa yang sebenarnya menjadi tujuan hakiki dirinya melakukan kegiatan dalam berorganisasi. Sejatinya, proses perencanaan, aksi, dan evaluasi hanyalah dijadikan wasilah baginya untuk menggapai niat dan maksud yang paling tinggi.

Niat dan maksud yang tidak bisa dibandingkan dengan niat dan maksud yang bersifat duiniawi.

Dengan pemahaman seperti ini, maka tak akan ada rasa kecewa, takut, dan khawatir ketika menjalankan kegiatan dalam berorganisasi tersebut.

Intinya, niat yang kuat menyebabkan individu-individu yang ada di dalam organisasi mampu menyandarkan segalanya kepada Zat yang menjadi niat dan maksud yang paling tinggi dalam kehidupan.

Oleh karenanya, dalam sebuah organisasi, sebelum memulai sebuah proses, bukan perencanaan yang harus didahulukan, tetapi terlebih dahulu perlu dilakukan penanaman niat, kehendak, kemauan, tekad, dan kesungguhan bagi individu-individu yang ada dalam organisasi tersebut.

Setelah semua individu dalam organisasi memiliki kekuatan niat yang sama, barulah proses perencanaan dibuat. Perencanaan yang didasari niat yang kuat akan mempermudah berjalannya proses aksi. Pada akhirnya, proses evaluasi yang dilakukan pun akan berjalan dengan baik. Inilah gambaran nyata bagaimana proses dalam berorganisasi dipengaruhi oleh niat yang kuat.

Sebuah Refleksi

Niat, ibarat dinamo sentral dalam sebuah organisasi. Niat ini yang akan menentukan arah sebuah organisasi untuk bergerak. Niat ini yang akan terus menjaga kobaran motivasi dan semangat yang ada di dalam proses berorganisasi.

Ya, dengan niat, yang kecil dapat bernilai besar. Sebaliknya yang besar bisa tak bernilai apa-apa, apabila salah niatnya. Niat juga yang sangat menentukan baik tidaknya sesuatu. Jika sudah ada niatan baik, walaupun jalan yang harus ditempuh terkadang berkelok, namun hasilnya pasti akan membawa kebaikan.

Jika niat itu bersih, yang diharapkan pasti akan terealisasi.

Yang perlu kita ingat bersama adalah bahwasanya hanya mengandalkan niat saja tidaklah cukup.

Seperti halnya perkataan Imam Al-Ghazali, niat harus diikuti dengan ilmu dan amal. Tanpa ilmu dan amal, niat yang baik pun bisa menjadi bagaikan harapan hampa yang tidak akan menghasilkan apa-apa dalam realitanya, melainkan hanya pahala niat melakukan kebaikan.

Oleh karenanya, yang terbaik untuk dilakukan adalah mengamalkan setiap niat baik yang ada di dalam benak kita. Mengamalkannya dengan cara yang benar, dan dengan ilmu yang dipelajari dengan benar.

Alhasil, membahas tentang niat dalam beragama dan berorganisasi dapat membuat kita memahami bahwa betapa pentingnya memahami ilmu agama.

Ilmu agama terlalu sempurna jika dibandingkan dengan ilmu duniawi. Banyak hal penting dan krusial yang terkadang tidak bisa diakomodir oleh ilmu duniawi. Perlu ada sentuhan nilai agama di dalamnya.

Seperti halnya, rencana, aksi, dan evaluasi yang perlu didahului dengan niat yang baik, yaitu niat yang diajarkan oleh ilmu agama.

Oleh karenanya, apapun yang kita lakukan, kita tidak boleh sekali-kali meninggalkan agama. Agama harus selalu menjadi titik pusat dalam mempertimbangkan proses dalam setiap kegiatan yang akan kita lakukan.