Tanya: Sebagaimana yang sering disampaikan, kita telah mendapatkan banyak sekali anugerah ilahi jika dibandingkan dengan peristiwa-peristiwa dalam perjalanan sejarah sebelumnya. Apa tugas kita sebagai individu dan masyarakat agar anugerah ini terus berlanjut?[1]
Jawab: Kita sering menyebut rahmat yang dicurahkan Allah kepada kita sebagai bentuk “syukur atas nikmat” tersebut… Bahkan kita harus selalu menyebutnya. Bagaimana mungkin kita tidak mengingat-Nya, sementara kita adalah manusia yang hidup pada masa kekeringan, di mana tanah-tanah retak dan kering secara maknawi, bersimpuh merindukan turunnya setetes hujan. Sejak saat itu, berkat inayat dan anugerah Allah, kita bisa sampai pada hari ini. Memperoleh inayat dan anugerah Allah adalah suatu hal, akan tetapi menjaga keberlanjutannya juga sesuatu yang tidak kalah pentingnya.
Menurut pendapat kami, hal pertama yang harus kita lakukan untuk menjaga keberlanjutan nikmat adalah dengan mempertahankan keistikamahan di jalan ini tanpa mundur satu langkah pun. Misalnya saat menyetel radio, pertama kita mencari saluran yang kita inginkan. Kemudian kita tetap berada pada saluran yang sudah kita tentukan tersebut dan tidak lagi memindahkan jarumnya ke saluran lain. Mungkin, kita hanya akan memindahkan jarum itu sedikit ke kiri atau kanan pada saluran tersebut, untuk mencoba menangkap gelombang yang paling jelas. Sama halnya dengan ini, maka kita harus menjaga sifat dan perilaku yang menjadi wasilah datangnya nikmat-nikmat tersebut, seperti: keprihatinan, doa dan aksi nyata, serta meningkatkan hal-hal khusus tersebut yang merupakan langkah awal bagi keberlanjutan datangnya rahmat dan karunia Allah.
Poin lainnya, kita harus berusaha untuk menjadi orang yang paling ikhlas, paling bertakwa, paling zuhud, dan paling saleh dalam pekerjaan yang kita jalani. Dan tentunya dengan niat untuk selalu berusaha istikamah melakukannya seumur hidup. Sebaliknya, jika hal ini tidak kita lakukan maka ketika semangat jiwa untuk melakukan aksi nyata itu lenyap. Berbagai rintangan seperti yang dijelaskan pada artikel enam serangan[2] mutlak akan mengepung kita. Pada saat itu, kita dapat jatuh pada salah satu jerat rintangan-rintangan seperti misalnya virus ini dan tenggelam pada lingkaran keburukan yang tak berujung pangkal serta saling berhubungan erat satu sama lain itu. Dikarenakan adanya jaringan komunikasi yang begitu canggih di antara virus-virus mematikan ini, maka ketika salah satu virus berhasil menghancurkan pertahanan tubuh kita, seketika ia akan langsung mengirim sinyal “Ayo kalian ikutlah masuk”, pada virus lainnya. Sehingga, virus-virus ini seolah saling berkirim telegram satu sama lain untuk membangun kontak spiritual dan membentuk sebuah lingkaran keburukan yang penuh dengan kesia-siaan untuk mulai menghancurkan tubuh yang mereka masuki.
Jika kita menelaahnya lebih lanjut, virus rasa takut yang memasuki tubuh seseorang dapat mengundang datangnya virus narsistik. Ketika ketahanan tubuh mulai berkurang lagi, virus ketenaran yang menerima sinyal pun dapat masuk juga ke dalam tubuh… Pada akhirnya, tubuh sudah tak mampu lagi dipulihkan, semoga Allah menurunkan inayat-Nya..! Ya, tanpa anugerah dan inayat-Nya, mustahil bagi orang itu untuk bisa berdiri tegak kembali.
Kalau begitu, ketika di satu sisi kita berusaha mempertahankan limpahan anugerah yang diberikan Allah, maka di sisi lain, kita harus berusaha menaikkan derajat di hadapan Allah, dengan berkata ‘hal min mazid?’[3] agar berbagai rintangan tadi tidak menghampiri kita.
Ya, Setiap anugerah perlu disyukuri sesuai dengan jenisnya masing-masing. Seandainya Allah telah menganugerahkan kesadaran membangun iman bagi kita dan pada saat yang sama juga anugerah untuk menuntun iman bagi orang lain, bahkan jika Ia sering mengingatkan kita bahwa ini adalah tujuan hidup kita, maka anugerah ini juga akan meminta bentuk syukur dari jenisnya sendiri. Ya, inilah syukur dan keberlanjutan dari rasa syukur itu sendirilah yang akan menjadi sebab datangnya keberlanjutan anugerah-Nya pula. Allah azza wa jalla berfirman “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu. Dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”(Q.S. Ibrahim, 14/7). Coba perhatikan bahwa pada ayat ini Allah tidak berfirman “Jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka Aku akan menambah keingkaranmu”. Akan tetapi Allah berfirman “Jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih”, pada ayat ini diisyaratkan bahwa di satu sisi Allah mengundang kita ke jalan yang lurus, dan di sisi lain Dia menunjukkan cara untuk menjauhkan diri dari siksaan serta bagaimana cara memperoleh limpahan anugerah. Ya, layak bagi kita untuk membalas nikmat berupa kesadaran membangun iman melalui mensyukurinya dengan menjadi sebab hidayah iman bagi orang lain serta menanti limpahan hadirnya nikmat-nikmat baru lainnya. Insya Allah berkat hal ini keimanan kita akan bertambah dan membuat kita merasakan kedekatan yang lebih dengan Rabb kita… Ketika Ustaz Said Nursi menafsirkan ayat: “Mereka menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka” (Q.S. Al-Baqarah, 2/3) beliau melakukan pendekatan secara umum dan menjelaskan bahwa: “Sebagaimana harta ada zakatnya, maka badan, ilmu, kemampuan menghafal, kemampuan mengambil keputusan, bahkan kemampuan beretorika pun ada zakatnya.” Segala sesuatu perlu diberikan haknya. Dengan demikian untuk keberlanjutan anugerah yang telah Allah berikan, adalah penting dan wajib bagi kita untuk bersyukur dengan syukur yang sesuai jenisnya.
Dalam hal ini, sebuah metode lain yang perlu untuk diikuti adalah; memastikan kontrol internal dengan jalan memerhatikan politik pintu terbuka terhadap satu sama lain. Sama seperti halnya seperti para sahabat yang mulia. Jika sedikit kita amati masa kehidupan para sahabat, kita akan sering menyaksikan bagaimana mereka saling berbicara jujur, tegas, dan terus terang satu sama lain. Jika kita mengambil kata-kata ini sebagai contoh untuk dipertimbangkan, maka kita bisa menerapkannya dalam lingkungan kita sesuai dengan keadaan masing-masing. Yakni, kita bisa meminta peringatan dengan berkata: “Wahai teman! Jika engkau melihatku jatuh dalam suatu masalah, maka genggam tanganku dan bantu aku untuk bangkit! Peringatkan aku dengan mengatakan ‘Kondisi apa ini yang terjadi denganmu?’ Dalam hal ini aku takkan membantahmu.” Dengan cara ini, kita bisa memilih seorang teman yang ketika kita terpuruk dan jatuh ke jalan yang tidak benar, ia bisa meluruskan kita dengan hak dan wewenang yang kita berikan kepadanya.
Sebagaimana yang diungkapkan oleh Ustaz Said Nursi, poin penting dalam hal ini adalah “tidak merobek tirai pembatasnya”, yang maksudnya adalah perlu menjaga batasan dan takaran yang pas. Ya, saya pikir, orang yang memohon dan berdoa dengan pinta: “Ya Allah, janganlah Engkau tinggalkan diriku hanya bersama nafsuku saja walau hanya sekejap mata sekali pun”, harus menerima semua peringatan teman-temannya sebagai sikap “amri bil ma’ruf nahyi anil munkar” kepadanya. Seperti ketika Sultan Salahuddin Al-Ayyubi ataupun Nuruddin Zanki[4] yang mendapatkan peringatan dari orang biasa, atau Yavuz Sultan Selim dengan Zenbilli[5], maupun Kanuni Sultan Sulaiman dengan Abu Suud[6] dan mereka patuh ketika diperingatkan seraya berkata: “semoga Allah memberkatimu, jika engkau tidak memberi peringatan, maka aku akan terpuruk dan jatuh.” Lalu siapalah kita ini yang justru menutup diri terhadap peringatan-peringatan semacam itu dan mengambil sikap menentang orang-orang yang telah menunjukkan kesalahan-kesalahan kita?
Berarti, selama kita belum merubah diri kita sendiri, maka Allah tidak akan mengubah kita. Tetapi dalam proses perubahan diri ini, kita sangat membutuhkan sahabat-sahabat yang setia dan yang tak pernah meninggalkan kita sendirian saat melawan nafsu ammarah bissu’ (nafsu yang mengajak kita pada keburukan).
Ketika kita melihat apa yang terjadi melalui lensa akhirat dan konsekuensinya, yang muncul adalah gambaran yang benar-benar berbeda…!
Melibatkan harapan duniawi pada pekerjaan-pekerjaan ukhrawi selain menyebabkan kegagalan, ia juga mengisyaratkan syirik. Segala puji dan sanjungan hanyalah bagi Sang Pencipta, ketika sedang memperjelas posisi kita dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya meskipun prosesnya penuh dengan masalah Dia melalui sebuah lereng, wilayah, pelabuhan, dan dermaga yang tersedia lagi cocok menghentikan kita seakan berfirman: “Tunggu di sini!”. Barangkali salah satu di antaranya akan terbang di angkasa. Atau mungkin seperti cerita yang dikarang Jules Verne, dia akan melakukan perjalanan melintasi bintang-gemintang. Namun, jika hasilnya adalah kegelapan di hari kiamat maka untuk apa semua capaian itu? Al-Ustaz Badiuzzaman Said Nursi menyampaikan di banyak tempat tentang asas dari benih tersebut: “Iman secara maknawi sedang mengandung benih yang akan melahirkan pohon tuba di surga nanti. Sementara kekufuran secara maknawi sedang mengandung benih dari pohon zaqqum dari neraka jahanam.” Maka sebenarnya mereka senantiasa menelan benih pohon zaqqum sepanjang umurnya, hafizanallah.
Untuk itu, apapun masalah yang menyekat tenggorokan kita, setelah kita menolehkan pandangan mata kita ke alam berikutnya ia akan hilang berkat izin dan inayat ilahi. Apalagi jika jalannya mendatar tanpa rintangan dan penghalang!
Ketika Sang Potret Kebanggaan Umat Manusia menutup mata dan rohnya bersiap untuk mengembangkan sayap layaknya merpati untuk terbang menuju ke rahmatullah, segala sesuatu tak lagi bernilai di depan mata ini. Tenaga menjadi hilang hingga tak sanggup lagi untuk berdiri. Semoga nyawaku pun turut dicabut…! Demi melihat kerumunan orang berkumpul dalam semangat penghambaan sebagaimana mereka berkumpul di sekitar Ka’bah, maka Sayidina Abu Bakar beranjak untuk mengimami salat… Barangkali peristiwa tersebut terjadi di Madinah. Namun, menggunakan istilah yang digunakan Badiuzzaman, di mana pun manusia berada, ketika ia bertawajuh ke arah Ka’bah dalam bentuk lingkaran halakah, maka ujung jalan akan terhampar hingga Sidratul Muntaha… Ya, ketika memandang pemandangan yang menyiratkan harapan, manis, nan lembut ini Rasulullah pun tersenyum. Meskipun energinya bahkan tak sanggup untuk menyiratkan senyuman, tetapi sungguh beliau sedang tersenyum.
Insya Allah Sang Maha Pengasih menakdirkan Anda semua untuk menyaksikan menit-menit yang lezat, manis, indah, nan legit ini. Ya, Dia bisa menggubah dunia layaknya surga bagi Anda. Ketika menatap dunia dengan pandangan ini sungguh ia akan jadi sangat berbeda.
Bukankah dalam suatu kesempatan terdapat sebuah kalimat yang disandarkan kepadanya, Rasulullah bersabda: اَلدُّنْيَا جِيفَةٌ، وَطَوَالِبُهَا كِلاَبٌ yang artinya “Dunia itu adalah bangkai, yang mencarinya (dunia), adalah anjing.” Apabila dunia diucapkan demikian oleh Sang Pemilik lisan yang Suci, itu pasti karena adanya kesepakatan yang secara lahiriah menuntutnya demikian. Setelah sabda tersebut, penjelasan apapun yang dirangkai guna menerangkan makna dunia tak akan sebanding dengannya. Semua yang beliau katakan selaras dengan hakikatnya. Dalam hal ini, beliau menyebutnya “qilabun (anjing)”.
Mereka yang menjalankan kehidupan dengan kesadaran bahwasanya dunia adalah ladang yang hasilnya akan dipanen di akhirat sekaligus sebagai cermin manifestasi nama-nama ilahi, di hari akhir nanti akan menyaksikan Jamalullah dari peraduannya.
Untuk itu, pada dunia terdapat sisi-sisi lahiriah cerminan dari asma-asma ilahi. Sebagaimana disampaikan oleh Badiuzzaman, dunia adalah mazraatul akhirah, ladang akhirat. Anda dapat menyaksikan nama-nama-Nya yang agung ketika memperhatikan seluruh sisi dunia.
“Tafakkurilah baris-baris alam semesta sedalam mungkin. Itu karena mereka adalah pesan-pesan ilahi yang diturunkan dari Tempat Tertinggi untuk kalian semua.” “Seluruh alam semesta adalah suatu kitabullah yang agung/huruf mana pun yang kau eja di situ muncul Nama Allah.” (R.M. Ekrem)
Apabila kita melihat sisi-sisi ini, pada prinsipnya mereka pun menyiratkan-Nya. Mereka ibarat lensa dan proyektor yang disesuaikan dengan level-level setiap manusia. Sekali lagi, di satu sisi seorang manusia akan berkata: “Aku ingin melihat-Nya!” ketika berkontemplasi tentang-Nya. Aku sendiri terlihat. Karena aku terlihat, aku yakin akan bisa melihat-Nya, insya Allah. Semoga Allah menganugerahkan level dan derajat pada dua ufuk tersebut, insya Allah. Mari kita menjalani hidup dengan mengaitkan diri dari kesadaran bahwasanya kita “disaksikan”. Semoga di waktu berikutnya Allah memuliakan kita dengan kesempatan untuk mampu “menyaksikan-Nya”.
Sebagaimana disampaikan pada kitab Bad’ul Amali,
يَرَاهُ الْمُؤْمِنُونَ بِغَيْرِ كَيْفٍ
وَإِدْرَاكٍ وَضَرْبٍ مِنْ مِثَالٍ
“Orang mukmin melihat-Nya tanpa melalui sarana/alat. Padanya juga tidak dapat dicarikan padanannya. Dalam bahasa hadis: “Kaum mukminin menyaksikan-Nya tanpa sarana ataupun alat seperti saat mereka menyaksikan bulan purnama.’ Ini merupakan ungkapan yang menyatakan kemudahan memandang. Ungkapan ini tidak menyatakan bahwasanya Allah mirip dengan purnama, matahari, atau apapun yang bisa dilihat oleh mata kita1. Semua manusia akan mampu melihat Zat Allah Yang Maha Agung, Sang Pengelola alam semesta ini dengan kapasitasnya masing-masing.
Bait tersebut ada kelanjutannya, berikut sambungannya:
يَرَاهُ الْمُؤْمِنُونَ بِغَيْرِ كَيْفٍ
وَإِدْرَاكٍ وَضَرْبٍ مِنْ مِثَالٍ
فَيَنْسَوْنَ النَّعِيمَ إِذَا رَأَوْهُ
فَيَا خُسْرَانَ أَهْلَ الْاِعْتِزَالِ
“Mukminin mampu menyaksikan-Nya tanpa alat dan tanpa sarana. Tak ada permisalan yang sepadan dengannya. Begitu menyaksikan-Nya, mereka akan lupa pada segala nikmat surga. Betapa meruginya kaum muktazilah yang mengatakan “Allah tak bisa disaksikan”. Ketika mereka menyaksikan-Nya, mereka akan melupakan nikmat-nikmat surga. Meskipun ada istana, di mana sungai mengalir di kakinya, di mana para bidadari menantikannya, .. menyaksikan-Nya, di hadapan pemandangan yang sanggup membuat pingsan akan membuat ahli surga berkata: “apa pentingnya nikmat-nikmat tersebut” .. Demikian kira-kira…
Apabila kesempatan menyaksikan-Nya telah diraih, artinya tidak ada lagi hal yang perlu dikejar. Demikianlah takaran posisinya. Biarlah nyawa ini menjadi tebusan bagi Zat yang memberikan urgensi pemosisian ini…! Pemandu kita dalam perkara ini adalah pemandu yang tak menyesatkan, shallallahu alaihi wasallam. Pada masa ini, penerjemah Rasulullah, yang mengikuti langkah-langkahnya senti demi senti, adalah Ustaz Said Nursi. Beliau akan berbahagia di Firdaus-Nya, insya Allah. Tangannya akan memegang bahu kita, beliau menyokong kita dari belakang, insya Allah. Apabila kita meniti jalannya dengan memegang Risalah Ikhlas, Ukhuwah, dan semangat untuk meninggikan kalimat Allah, insya Allah Anda telah berada di bawah panduan tangan dan garansi yang kuat. Setelah ini tidak ada lagi hal yang perlu dicoba.
Kita tidak perlu mengaku sebagai orang suci. Apabila semua saudara-saudara kita melakukan muhasabah mendalam dan merenungi makna tanggung jawab yang diembannya, serta memisahkan diri dari keakuan untuk kemudian berlindung di bawah kekuatan dan kewenangan Allah, itu sudah cukup.
Adalah tidak tepat untuk melihat permasalahannya dari satu sisi saja. Terdapat sekelompok orang yang pada periode waktu tertentu tak mampu menahan kecemburuannya kepada Anda. Mereka berusaha mendirikan institusi-institusi sosial sesuai kebutuhan mereka. Ketika Anda muncul dengan beberapa perbedaan, mereka kemudian mengamuk karena cemburu. Misalnya terdapat kejadian seperti ini. Namun, ketika kita memahami permasalahannya seperti itu, dalam hati kita kemudian membuih perasaan untuk menyalahkan mereka. Meskipun ini salah, kita dapat menyebutnya sebagai “kesalahan ijtihad”. Karena saat ini kezaliman, keburukan, dan kemaksiatan menunjukkan demikian. Ini adalah lapisan diryah yang paling dasar. Ziya Gokalp menyebutnya sebagai “merajalelanya dosa”
Permasalahan kedua sebagai berikut: Allah jalla jalaluhu telah memberi kita banyak kesempatan. Ketika sedang membahas saudara kita yang baik ini, saya tidak pernah ingin mengungkapkan pikiran-pikiranku tentang dirinya. Namun, sebagai pengingat dengan menautkan permasalahannya kepada diriku sendiri, maka saya berkata: “Seandainya saya mampu bersikap logis lagi tepat, barangkali tawajuh orang-orang ini akan bertansformasi menjadi pengabdian-pengabdian yang indah! Sayangnya, dikarenakan diriku memotong permasalahannya sedemikian rupa, pengabdian ini pun tersendat…!
Aku tak bisa menilai saudaraku dengan pendekatan ini. Namun, terdapat satu hal yang ingin aku ingatkan: “Tidak masalah bagi saudara-saudara kita untuk bertawajuh kepada Allah dengan pendekatan seperti tadi.” Sebagaimana Anda ketahui Al-Ustaz Said Nursi berkata: “Lakukan tazkiyah nufus dengan tidak melakukan tazkiyah nufus (Lihat An Najm: 32).” Jangan anggap diri kita suci. Terdapat penjelasan dalam kata ke-31:
Beliau berkata: “ Terkadang Allah meninggikan agama ini melalui tangan orang-orang fajir (pendosa)”. “Karena Anda tidak suci, barangkali Anda perlu menganggap diri sebagai seorang fajir,” lanjutnya. Dari sisi ini, setiap pribadi perlu memandang dirinya demikian. Pendekatan ini selain penting dalam rangka membersihkan diri, ia juga penting untuk menyadarkan bahwa dirinya tidak memiliki kontribusi apa-apa. Semakin kita memisahkan diri dari kekuatan, kehendak, dan kebajikan kita sendiri, maka semakin kita mengandalkan dan berlindung pada kekuatan, kekuatan, rahmat, dan kebijaksanaan-Nya. Memang inilah pendekatan yang tepat.
لاَ حَوْلَ وَلاَ قُوَّةَ إِلاَّ بِاللهِ
Tiada daya dan upaya kecuali terwujud berkat izin dan kehendak Allah.
Selain itu, kita juga perlu memandangnya seperti ini: “Di mana kiranya kita membuat kesalahan!” Misalnya: “Apakah ia terjadi karena kurangnya analisis kita? Apakah kita bergerak sendirian? Seandainya sedari awal kita membuat keputusan melalui keputusan kolektif dan musyawarah! Ini persoalan yang berbeda tentu… Terkait hal ini kita bisa membuat daftar lainnya… Namun, permasalahan ini secara khusus perlu mempertimbangkan tiga hal fundamental sebagai bahasan utama.
“Bersama kesulitan terdapat kemudahan.” Pada setiap peristiwa-peristiwa sulit kita juga perlu melihat beragam anugerah ilahi lainnya.
Terdapat sisi-sisi baik dari setiap permasalahan. Memang segala hal bermula dari kebaikan. Misalnya di suatu negara praktik agama dilarang. Sebagaimana Anda ketahui, TPA Al Qur’an pun dilarang. Pada masa itu, aku tetap berangkat ke TPA Al-Qur’an. Mereka membuat terowongan dari kandang sapi menuju ruangan pengajar Al Qur’an. Di situlah kami, anak-anak, belajar mengaji. Saya ingat bagaimana Satpol PP membongkarnya. Dalam masa yang demikian, apa yang dilakukan Ustaz Said Nursi? Pada masa itu tidak terlalu buruk, terdapat 2-3 orang yang berkumpul di rumah-rumah belajar… Jadi masalah-masalah itu di satu sisi menunjukkan jalan keluar yang luar biasa bagi kita, insya Allah. Apa yang kita capai pada hari ini bermula dari kondisi sulit tersebut…
Demikianlah sisi-sisi positifnya. Barangkali saat ini Allah sedang menekan kita, tetapi dalam setiap kesulitan terdapat kemudahan: فَإِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا * إِنَّ مَعَ الْعُسْرِ يُسْرًا . Demikian firman Allah dalam Surat Al Insyirah. Artinya di periode Mekkah kalbu mulia Nabi Muhammad sangat tersiksa. Untuk itu Al-Qur’an berkata: وَوَضَعْنَا عَنْكَ وِزْرَكَ الَّذِي أَنْقَضَ ظَهْرَكَ
“Dan Kami telah menghilangkan daripadamu beban yang memberatkan punggungmu? (Al Insyirah 2-3).” “Beban yang dapat meremukkan tulang punggungmu…” Beliau menghadapi kondisi yang demikian. “Namun, kamu harus tahu bahwa setelah kesulitan akan datang kemudahan”
Selain kesulitan-kesulitan yang kita hadapi, ternyata Allah juga mendorong kita untuk menemukan hal-hal baik dan indah lainnya. Dia menebarkan kita ke seluruh penjuru dunia. Pada satu masa mereka bertebaran secara sukarela.. Ini pun pasti ada hikmah yang tak mampu dicerna akal kita.. Jika mereka di masa itu tidak berangkat, jika mereka tidak menerjemahkan perasaan, pemikiran, serta prinsip-prinsip Anda, barangkali para “muhajir” yang datang kemudian tidak akan disambut sehangat ini… Di negara-negara tujuan, teman-teman Anda telah membangkitkan profil yang sangat bagus di tengah masyarakat lokal. Masyarakat lokal pun menyambut teman-teman yang datang kemudian dengan rangkulan erat yang hangat. Ini adalah contoh hal-hal positif di masa yang sulit.
Setelah ini, kita harus bersikap sesuai situasi dan kondisi. Terdapat teman-teman yang telah berangkat dan tinggal di sana. Apabila terdapat pihak-pihak tertentu yang berusaha merusak kedamaian dan merusak perencanaan Anda, Anda tetap harus mengerjakan tugas ini, insya Allah. Mereka datang dengan agenda untuk merusak tatanan ini. Merusak itu mudah. Namun, mereka pasti berada dalam golongan yang kalah di sisi Allah. Ya, demikianlah kita harus memahaminya. Dalam satu jangka waktu tertentu kita perlu melihatnya seperti ini.
Gangguan-gangguan tadi menyebabkan tetesan darah. Darah itu juga membasahi kalbuku, ia mengusir kantukku, dan memicu penyakit-penyakit baru bagiku. Namun, kita harus mengencangkan geraham dan bersabar. Kita perlu menyambut ujian-ujian ini dengan wirid yang biasa kita baca pagi dan sore hari:
Dalam beberapa riwayat terdapat lafal: رَسُولاً نَبِيًّا
“Aku rida bahwa Allah adalah Rabb-ku, Islam adalah agamaku, dan Muhammad adalah Nabi dan Rasul“.
Dengan wirid ini kita tebas segala perasaan, pemikiran, takhayul, dan imajinasi negatif, insya Allah.
Di satu sisi kita menjalankan hidup sesuai ufuk rida dengan senantiasa berharap akan rida dan membuat Allah senang dengan pekerjaan kita, di sisi lain kita merencanakan beragam aksi sesuai kebutuhan, situasi, dan kondisi dunia tempat kita hidup saat ini, mudah-mudahan dengan demikian kita menjadi orang-orang yang berjalan lurus menuju Allah, insya Allah. Kita adalah pejalan kekariban (kedekatan dengan Allah).
Para sufi mempraktikkannya di majelis-majelis zikir: “Fana fis syaikh”, “ Fana fir rasul”, “Fana fillah”, Baqabillah-ma’allah”, “Sayir anillah”… Anda akan berangkat serta mengalami naik dan turun. Anda akan pergi, Anda akan kenyang, Anda akan puas; benar-benar akan marem, Anda akan meluap, luapan ini terjadi dengan izin Allah. Anda akan berkata: “Saya wajib menyampaikan kebaikan-kebaikan ini”. Pahamilah semangat menghidupkan orang lain seperti ketika Abdul Quddus menerangkan kondisi Rasulullah: “Demikian tingginya derajat yang dicapai dan kualitas yang dilihat! Jika aku yang meraihnya, sungguh aku tak akan pulang ke bumi. Namun, beliau memutuskan untuk pulang ke bumi!”. Waliullah lainnya berkata :”Inilah perbedaan level antara kenabian dan derajat-derajat lainnya, pahamilah ini baik-baik!”
Inilah semangat menghidupkan orang lain.. Selain itu adalah semangat untuk melanjutkan hidup. Itu pun tidak hina. Jika masuk surga, dirimu akan menjadi bidadari yang awet muda. Demikianlah penjelasan Allah dalam Al-Qur’an. Namun, tidak ada satu pun yang setara dengan semangat menghidupkan orang lain. Dengannya Anda akan merengkuh tangan dan mengangkat derajat orang lain dan seterusnya…
Perasaan ini akan terus datang dan pergi. Ketika perasaan terus menghantam kita bertubi-tubi, bersegeralah kita ambil resep solusinya sembari memanjatkan munajat: “Ya Rasulullah! Aku menghadapi masalah pelik. Kira-kira apa solusinya?” Barangkali beliau akan menjawab: “Apakah kamu tidak membaca sirahku..?!”
Ketika memulai kehidupan baru di negara tujuan, yang harus menjadi target selain kemampuan berintegrasi dengan masyarakat lokal, kita juga tak boleh longgar dalam menjalankan perintah agama.
Bahasan lainnya adalah puji syukur kita bisa berhijrah, bermigrasi. Ada yang di Kanada, California, Jerman, Inggris, Belanda, Amerika, bahkan Afrika! Yang perlu diperhatikan, di sana terdapat orang-orang yang tumbuh dengan matang setelah membaca dengan benar seluk beluk budaya lokal. Maka, apabila kita bergotong royong dalam prinsip:
مَا خَابَ مَنِ اسْتَشَارَ
“Orang yang bermusyawarah tidak akan merugi.”
Dengan prinsip ini kita akan menjadi orang beruntung. Berkat izin dan inayat ilahi kita akan berhasil mendapatkan untung, kemungkinan merugi akan dapat diturunkan semaksimal mungkin.
Kita perlu membaca legenda geografis dengan benar. Oleh karena itu, di dunia bagian mana pun kita berada, kita perlu untuk menentukan hal-hal yang akan kita katakan serta gestur apa yang digunakan ketika kontak langsung dengan orang-orang di sana sembari memperdalamnya dengan semangat representasi. Dengan kata lain, selain ekspresi kenabian – saya katakan “di samping ekspresi kenabian” – tempatkan “sikap” dan “representasi” dalam baris-baris pembahasan ini. Maksudnya, pada prinsipnya setiap sikap kita harus sama senti demi senti dengan apa yang kita sampaikan. Demikian cara kita berintegrasi dengan masyarakat lokal. Masyarakat tersebut pun akan melihat kita sebagai individu bahkan komunitas yang merupakan bagian dari entitas mereka..!
Selain itu, ketika berada di negeri yang asing akan terdapat sesuatu yang dominan dan berasal dari luar dunia kita di mana hal-hal tersebut bisa mempengaruhi kita. Ia dapat berupa uslub, gaya hidup, maupun sistem kepercayaan. Contoh lain adalah nilai-nilai kemanusiaan. Ia bisa berada di barisan terdepan… Namun, terdapat beberapa perintah agama. Kita diharuskan mampu berdiri teguh menentang gaya hidup bohemian, membuat semacam konservatori, di mana kita bisa hidup aman di dalamnya… Poin-poin ini sangat penting bagi kita dan bagi generasi penerus kita. Buku-buku yang dibaca pemuda-pemudi kita adalah buku-buku yang berasal dari latar belakang negeri itu. Kita perlu melakukan upaya untuk menjunjung nilai-nilai kita sendiri setinggi langit serta membuat para pemuda-pemudi mencintainya. Adakah orang yang melihat gaya hidup hampir utopis masyarakat Asr Saadah yang tak jatuh cinta padanya? Demikian baiknya nilai ini diselipkan dan disampaikan, sehingga anak-anak kita kemudian mampu membangun konservatori yang melindunginya dari asimilasi negatif, insya Allah.
Himmat adalah praktik yang dilaksanakan sejak masa Asr Saadah. Pada hari ini namanya, wilayah jangkauannya, dan bentuknya sedikit berubah menjadi “muawanah2”. Apapun nama dan sebutannya, membantu mereka yang membutuhkan merupakan bagian dari hutang budi yang ingin kita bayar.
Rasulullah ketika memulai usaha ini mengawalinya dengan mengumpulkan himmat dari orang-orang. Ketika itu, mereka akan pergi ke Tabuk. Mereka memerlukan beragam perbendaharaan yang amat serius. Bagaimana ia dijalankan berarti ia diwujudkan sesuai dengan kebutuhan di masa itu. Maka Rasulullah pun mengumpulkan himmat.
Apa yang kumpulkan pada hari ini pun disebut “himmat”. Anda mengumpulkan “himmat” hampir di setiap kesempatan. Dari situ Anda memberi beasiswa, membangun asrama, membuka pusat bimbingan belajar, dan sebagainya.
Rasulullah kemudian membukanya dengan pidato yang paling berpengaruh. Demi sabdanya, gunung, bebatuan, pepohonan, bahkan hewan sekalipun akan memberi jawaban. Apabila Anda memperhatikan risalah Al-Ustaz Said Nursi yang membahas mukjizat Rasulullah, demi mendengar panggilannya segala sesuatu menjawab “Labbaik (Aku penuhi panggilanmu, Ya Rasulullah)!” dan berlari ke arahnya.
Terdapat hal-hal menarik dari peristiwa tersebut. Sayidina Abu Bakar, Umar, Usman, dan Ali bertindak sesuai karakter mereka yang agung. Sayidina Abu Bakar menyerahkan semua hartanya. Sayidina Umar memberikan setengah hartanya. Sayidina Ali menyerahkan separuh donasinya secara sembunyi-sembunyi dan separuhnya lagi secara terang-terangan. Sayidina Usman seperti diketahui memberi 500 unta. Apa yang mereka lakukan telah menjadi legenda.
Namun, ada saja orang-orang yang tak memahaminya. Misalnya terdapat orang yang berbicara: “Jadi sekarang kita harus memberikan harta yang dikumpulkan dengan peluh keringat ini ke sakunya..?”. Lalu ada orang yang memahami pesan ini, ia kemudian berlari ke rumahnya. Ia keluar membawa semaksimal mungkin yang bisa dibawa dan berkata: “Ambil ini, Ya Rasulullah!” Demi melihatnya orang yang pertama kemudian berkata: “Ternyata yang diharapkan adalah pendekatan seperti itu.” Demikian kira-kira.
Dari situ ternyata kita tidak bisa paham begitu saja. Semoga Allah meridai teman-teman dan guru-guru yang telah menanamkan semangat berinfak dalam benak kita. Demikian berkembangnya semangat ini berkat izin dan inayat ilahi, saya ingin menyampaikan satu kisah dari banyak peristiwa yang saya saksikan, bahkan saya ingin menyebut nama tempatnya:
Dalam sebuah aula di Bozyaka. Sekali lagi al-fakir menyampaikan pesan ini tanpa sistematika sebagaimana saya membuat kepala Anda sakit saat ini. Kemudian rekan-rekan yang bertugas mengambil buku tulis dan pensil. Mereka menanyai satu per satu: “Kamu bisa kasih berapa? Kalau kamu berapa?” Orang-orang kemudian menyebut janji seakan ia dipetik dari kalbunya. Setelah berbicara saya mundur karena merasa sedikit malu. Saya merasa seperti meminta-minta, tetapi apa boleh buat. Kalau tidak demikian turbinnya tak berputar. Dibutuhkan kekuatan air terjun untuk bisa menggerakkannya. Saya mundur ke kamar. Kemudian seorang purnawirawan militer yang juga terlibat dalam usaha pengabdian ini datang tergopoh-gopoh sambil menyerahkan kunci. Matanya sembab dan berkata: “Ustaz, saya tak punya uang. Ini saya kasih kunci rumah yang baru saya beli dari uang pesangon saya.” ini adalah peristiwa yang tak mungkin saya lupakan…
Namun, betapa banyaknya peristiwa yang tak bisa kulupakan. Donasi di suatu tempat sayangnya berjumlah sedikit. Ini membuat saya gelisah. Saya pun berkata: “Kekurangannya dari saya. Saya janji akan berdonasi 100ribu lira!” Aku menyebutnya tanpa berpikir bagaimana bisa mendapatkannya. 1-2 hari kemudian seseorang yang kalian kenal, ipar-iparnya juga dermawan, mereka di dalam hizmet. Entah bagaimana saya datang sarapan di rumah mereka. Saya tak meminta apa-apa. Mereka pun jarang muncul. Lalu mereka berkata: “Ustaz, Anda menyampaikan janji donasi sebesar 100ribu lira. Jika diizinkan, biar saya yang membayar donasi itu.” Ya, di satu tempat Anda melangkah dengan berani. Allah-lah yang kemudian menjawabnya. Pada hakikatnya Anda malu melakukannya dan meringkuk seperti tongkat bengkok.
Sebagaimana terbiasa dengan himmat, demikian juga dengan muawanah. Namanya saja yang berubah, demikian juga tujuan penyalurannya. Dulu kita mengerjakannya di Turki. Kini, kita ke luar negeri. Terdapat banyak orang yang harus dirawat dan diperhatikan, orang-orang yang perlu dibantu, dari kalangan wanita dan anak-anak. Ada banyak orang yang syahid, meninggal dunia di tengah perjalanan. Mereka perlu dirawat dan diperhatikan.
Bagaimana kita melakukannya di luar, misal di Amerika, atau di Jerman? Barangkali di LSM dan yayasan di luar sana mereka mempunyai anggaran untuk membantu orang-orang ini. Bisa saja mereka yang menunaikan tugas ini. Namun, kita harus yakin dan percaya bahwa kita juga bisa.
Jika kemarin kita melakukannya melalui kata, hari ini kita membungkusnya dengan sikap dan representasi. Kita bergerak bersama layaknya paduan suara, berkat izin dan inayat ilahi. Semua orang akan mendengar dan menyambut undangan ini, insya Allah.
Konsep al-Muawanah dalam al-Qur’an diartikan sebagai bentuk tolong menolong atau bantu membantu untuk meringankan beban serta kesukaran. Dalam Al-Qur’an, term al-Muawanah terkadang dimaksudkan sebagai sarana untuk memelihara sifat kemanusiaan antar sesama
Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang telah melimpahkan nikmat dan karunianya kepada seluruh hambanya. Tidak peduli hamba tersebut mengingkari maupun mengimaninya. Allah menciptakan langit dan bumi beserta isinya dan berbagai macam fasilitas yang Allah sediakan untuk manusia. Allah telah mengaruniakan nikmat yang begitu melimpah sampai tiada seorangpun yang kuasa untuk menghitungnya. Tidak ada sesuatu pun yang dapat melebihi kebaikan yang Allah berikan.
Allah memberikan nikmat sehat, sehingga kita mampu untuk melaksanakan berbagai aktivitas dengan baik. Allah memberikan nikmat berupa harta, sehingga kita bisa memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Allah memberikan nikmat berupa waktu, sehingga kita bisa menggunakannya untuk beramal saleh dan memperbanyak ketaatan kepada Allah. Allah memberikan mata, untuk melihat keindahan ciptaannya yang sangat luas dan beraneka ragam. Allah memberikan nikmat akal, agar manusia menggunakannya untuk mengelola bumi yang telah Allah sediakan. Begitulah nikmat Allah yang sangat besar dan melimpah sehingga tidak akan ada yang mampu untuk menghitungnya.
Dan jika kamu menghitung-hitung nikmat Allah, niscaya kamu tak dapat menentukan jumlahnya. Sesungguhnya Allah benar-benar Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS Al- Nahl ayat 18).
Dari berbagai limpahan nikmat dan karunia yang Allah limpahkan kepada hambanya, nikmat manakah yang paling besar yang Allah berikan kepada para hambanya?. Mungkin saja, kita akan menjawab, nikmat waktu luang yang banyak, kesehatan yang sempurna, harta yang melimpah, tahta yang sedang diduduki, wanita yang dikasihi, ataupun uang yang digunakan untuk berpoya-poya. Jika demikian, nikmat mana yang dimaksud?, nikmat yang dimaksud adalah nikmat yang mengantarkan kepada kebahagiaan abadi. Nikmat yang Allah perintahkan kepada hambanya untuk selalu memintanya. Agar hambanya senantiasa berada dijalan orang-orang yang diridaiNya.
Ketahuilah! nikmat terbesar yang Allah berikan kepada manusia adalah nikmat iman dan islam. Dua nikmat yang hanya diberikan kepada orang tertentu saja. Dua nikmat yang tidak bisa dinikmati oleh semua orang. Dua nikmat yang diberikan khusus kepada orang-orang yang Allah cintai dan kasihi.
“Tetapi Allah menjadikan kamu “cinta” kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, sebagai karunia dan nikmat dari Allah. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Hujurat: 7-8).
”Tunjukilah kami jalan yang lurus. (Yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka” (QS. Al Fatihah : 6-7).
Ayat inilah yang sering kita ucapkan, terutama ketika melaksanakan shalat. Agar Allah senantiasa memberikan hidayah dan bimbingannya. Meminta kepada Allah agar diberikan taufik, agar senantiasa berada dalam kebenaran dan keistiqomahan untuk setiap perkara kebaikan. Kondisi zaman ini, membuat kita untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah. Berbagai fitnah terjadi. Pintu-pintu kelapangan terbuka lebar, bisa diakses dengan mudah. Selain menjadi nikmat juga bisa menjadi musibah yang akan menimpa, bagi mereka yang tidak bisa menjaga dirinya. Ramai orang yang secara terang-terangan menampakkan kefasikan dan kekafirannya. Mereka mempunyai pengikut yang sangat besar baik di media sosial maupun di dunia nyata. Untuk itu kita diperintahkan untuk selalu berdoa kepada Allah dan memperbanyak amal saleh agar hati kita tetap dalam keadaan beriman hingga ajal menjemput. jauh-jauh hari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengingatkan dalam sabdanya:
“Bersegeralah melakukan amalan saleh sebelum datang fitnah (musibah) seperti potongan malam yang gelap. Yaitu seseorang pada waktu pagi dalam keadaan beriman dan di sore hari dalam keadaan kafir. Ada pula yang sore hari dalam keadaan beriman dan di pagi hari dalam keadaan kafir. Ia menjual agamanya dengan sedikit dari keuntungan dunia” (HR.Muslim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang diampuni segala kesalahannya baik yang telah lalu maupun yang akan datang. Rasulullah adalah orang yang paling bertaqwa kepada Allah. Seorang hamba yang paling tinggi derajatnya. Seorang rasul yang tidak mungkin akan bermaksiat kepada Allah apalagi berpaling dariNya. Rasulullah surganya sudah terjamin oleh Allah. Tapi lihatlah! Rasulallah terus menerus berdoa agar hatinya selalu ditetapkan dalam islam. Agar hatinya dipenuhi dengan terangnya cahaya-cahaya keimanan. Agar dirinya selalu mendapatkan hidayah dari Allah.
Ketika Ummul mukminin Ummu Salamah ditanya perihal doa apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sering panjatkan ketika sedang bersama Rasulullah, Ummu Salamah menjawab “Yang sering dibaca oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam adalah, ’Ya muqollibal quluub tsabbit qolbii ‘ala diinik’(Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku diatas agama-Mu).”
Sumayyah binti khubath adalah sosok muslimah yang tegar, sabar, dan memiliki keyakinan yang kuat dalam mempertahankan akidah dan keimanannya. Sumayyah dan keluarganya disiksa oleh kaum quraisy sampai suaminya yasir meninggal dunia, saking kerasnya siksaan yang dialaminya. Di tengah siksaan yang dideritanya, sumayyah istikamah melantunkan kalimat-kalimat indah nan syahdu memuji Rabb-Nya, “Rabb kami adalah Allah.” Setiap kali melihat penyiksaan yang sangat berat itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak bisa berbuat banyak, seraya bersabda, “Sabarlah wahai keluarga Yasir. Sesungguhnya tempat yang dijanjikan kepada kalian adalah surga.” Kaum quraisy sangat geram terhadap keteguhan hati dan keimanannya yang tidak tergoyahkan. Justru semakin kokoh layaknya gunung uhud. Sampai akhirnya sumayyah meninggal dunia akibat siksaan yang diberikan kaum quraisy. Sumayyah di daulat sebagai wanita pertama yang mati syahid dalam mempertahankan keimanannya. Betapa indah akhir hidupnya walaupun harus dibayar mahal sekali yaitu berupa siksaan sampai merenggut nyawanya beserta keluarganya. Akan tetapi Allah akan menggantikannya dengan yang lebih baik yaitu berupa rida, rahmat dan karunia yang telah Allah sediakan di negeri akhirat.
Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuha (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir dibawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar dihadapan dan disebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: “Ya Rabb kami, sempurnakanlah bagi kami cahaya kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu”(At-Tahrim: 8).
Ayat tersebut menjelaskan, ada dua cahaya yang dimana seorang mukmin tidak akan tenang sampai Allah menyempurnakan keduanya. Cahaya pertama di dunia dan yang kedua di akhirat. Adapun cahaya yang ada di dunia adalah wafat di atas agama islam. Dan tidaklah orang saleh yang beriman dan bertakwa, lebih takut dari sesuatu kecuali rasa takutnya jika islam dicabut dari dirinya sebelum meninggal. Karena setiap perkara yang diambil pasti Allah akan menggantinya dengan yang lebih baik. Akan tetapi, ketika agamamu dicabut oleh Allah, maka tidak akan ada sesuatupun yang mampu menggantikannya.
Barangsiapa yang wafat di atas agama islam, bertauhid kepada Allah dengan penuh keyakinan, dia tidak akan kekal di dalam neraka apabila dia memasukinya dan Allah pasti memasukkannya kedalam surga. Adapun cahaya kedua yaitu di akhirat. Maka Allah akan menyempurnakan nikmatnya berupa limpahan rida dan kenikmatan yang tiada terkira yaitu Allah akan memasukkannya ke dalam surga dan akan mendapatkan nikmat yang hakiki yaitu bisa melihat Allah secara langsung.
(Mereka berdoa): “Ya Tuhan kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia)”(Ali Imran:8).