mengembangkandiri.com (16)

KONSEP ALAM SEMESTA DALAM AL-QUR’AN DAN SAINS MODERN

Alam semesta, dalam wujudnya yang sangat luas dan penuh dengan keteraturan, sering kali menjadi bahan perenungan mendalam bagi manusia. Dalam Al-Qur’an, Allahﷻ menggambarkan alam semesta sebagai sebuah karya penciptaan yang sempurna dan terstruktur, yang tidak hanya mencerminkan kebesaran-Nya, tetapi juga menunjukkan hakikat hubungan antara ciptaan dengan Sang Pencipta. Ketika kita memasuki ruang kajian sains modern, kita menemukan pandangan yang mirip namun berbeda dalam menjelaskan struktur alam semesta, yang berfokus pada hukum-hukum fisika dan perubahan yang dapat diobservasi. Dengan demikian, pemahaman tentang alam semesta dalam Al-Qur’an dan dalam sains modern mengungkapkan suatu realitas yang lebih dalam: bahwa alam semesta adalah sebuah harmoni yang mengandung keteraturan mutlak, namun penuh dengan dimensi ketidakpastian yang hanya bisa dimengerti melalui pertanyaan tentang asal-usul, keberadaan, dan tujuan hidup.

Al-Qur’an menegaskan bahwa alam semesta bukanlah sekadar kumpulan benda mati yang eksis begitu saja, melainkan sebuah ciptaan yang penuh makna dan tujuan, sebagaimana Allahﷻ berfirman,

اِنَّ فِىۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِ وَاخۡتِلَافِ الَّيۡلِ وَالنَّهَارِ وَالۡفُلۡكِ الَّتِىۡ تَجۡرِىۡ فِىالۡبَحۡرِ بِمَا يَنۡفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنۡزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَآءِ مِنۡ مَّآءٍ فَاَحۡيَا بِهِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَمَوۡتِهَا وَبَثَّ فِيۡهَا مِنۡ کُلِّ دَآ بَّةٍ وَّتَصۡرِيۡفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الۡمُسَخَّرِ بَيۡنَ السَّمَآءِوَالۡاَرۡضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوۡمٍ يَّعۡقِلُوۡنَ

Artinya: “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh, merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti.” (QS. Al-Baqarah 2:164)

Ayat ini mencerminkan sebuah konsep dunia yang dinamis dan penuh keteraturan, yang tidak hanya ada karena kebetulan semata, tetapi disusun sedemikian rupa oleh Pencipta-Nya untuk menunjukkan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Di dalam Al-Qur’an, Allahﷻ seringkali mengaitkan keindahan dan keteraturan alam semesta dengan kebijaksanaan-Nya yang tak terhingga, mengajak umat manusia untuk merenungkan tujuan di balik setiap ciptaan.1

Sains modern, di sisi lain, melihat alam semesta dengan pendekatan yang lebih analitis, berbasis pada hukum-hukum fisika dan teori-teori ilmiah. Dalam kosmologi, sebagai contoh, penemuan tentang Big Bang dan perluasan alam semesta menggambarkan bahwa alam semesta memiliki titik awal yang sangat spesifik, yang dimulai dengan ledakan besar yang menciptakan ruang dan waktu. Seiring waktu, alam semesta terus berkembang dan berubah, mengikuti hukum-hukum yang berlaku, yang di antaranya adalah hukum gravitasi, hukum termodinamika, dan interaksi kuantum yang mempengaruhi semua materi dan energi yang ada. Alam semesta ini, dalam pandangan sains, tampak sebagai suatu kesatuan yang memiliki keteraturan yang terstruktur melalui prinsip-prinsip fisika yang sangat fundamental.2

Namun, meskipun Al-Qur’an dan sains modern tampak memberikan penjelasan yang berbeda tentang alam semesta, keduanya pada dasarnya menunjukkan konsep yang serupa: adanya keteraturan yang mengatur setiap elemen alam semesta, serta keterbatasan pemahaman manusia dalam menjelaskan hakikat keberadaan alam semesta itu sendiri. Dalam Al-Qur’an, Allahﷻ berfirman,

اَوَلَمۡ يَرَ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡۤا اَنَّ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضَ كَانَـتَا رَتۡقًا فَفَتَقۡنٰهُمَا‌ ؕ وَجَعَلۡنَا مِنَالۡمَآءِ كُلَّ شَىۡءٍ حَىٍّ‌ ؕ اَفَلَا يُؤۡمِنُوۡنَ

Artinya: “Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi keduanya dahulunya menyatu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya; dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air; maka mengapa mereka tidak beriman?.”(QS. Al-Anbiya 21:30)

Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa alam semesta pada asalnya adalah satu kesatuan yang utuh, dan segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah bagian dari proses penciptaan yang lebih besar. Di sini, Allahﷻ mengisyaratkan tentang hukum-hukum yang mengatur kosmos, yang seiring waktu manusia akan temukan, meskipun dalam batasan-batasan kemampuan pengetahuan mereka.1

Dalam sains, teori tentang asal-usul alam semesta, yang dikenal dengan Big Bang Theory, memberikan perspektif yang menarik. Teori ini menjelaskan bahwa sekitar 13,8 miliar tahun yang lalu, alam semesta bermula dari suatu singularitas, titik yang memiliki kepadatan dan suhu tak terhingga, yang kemudian mengembang dan mendingin, membentuk galaksi, bintang, dan planet yang ada sekarang. Konsep ini, meskipun berfokus pada penjelasan materialistik, mengarah pada pemahaman bahwa alam semesta memiliki suatu titik awal, yang selaras dengan ajaran Al-Qur’an bahwa segala sesuatu di dunia ini diciptakan oleh Allah dengan tujuan tertentu. Dalam Al-Qur’an, Allahﷻ berfirman,

قُلْ لَّنۡ يُّصِيۡبَـنَاۤ اِلَّا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَـنَا ۚ هُوَ مَوۡلٰٮنَا ‌ ۚ وَعَلَى اللّٰهِ فَلۡيَتَوَكَّلِ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ

Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal.”(QS. At-Tawbah 9:51)

Dari ayat ini, kita diperingatkan bahwa meskipun kita mengkaji dan memahami hukum-hukum alam semesta, pada akhirnya kita akan menemui sebuah misteri yang hanya bisa dijelaskan dengan pengakuan terhadap kekuasaan-Nya.1

Apabila kita mengamati konsep alam semesta ini lebih dalam, kita akan menyadari bahwa ada keselarasan yang mendalam antara pandangan Al-Qur’an dan sains. Dalam sains, kita melihat keteraturan kosmos yang didasarkan pada hukum-hukum alam, yang membawa kita untuk memahami dunia ini sebagai sesuatu yang terstruktur dengan sangat tepat. Namun, pada saat yang sama, Al-Qur’an mengajak kita untuk merenung lebih jauh, bahwa keteraturan tersebut adalah manifestasi dari kebesaran Tuhan yang tiada tara, yang menciptakan segala sesuatu dengan tujuan yang lebih tinggi daripada sekadar keberadaan fisik. Dalam Al-Qur’an, Allahﷻ berfirman,

اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِىۡ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضَ فِىۡ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسۡتَوٰى عَلَى الۡعَرۡشِيُغۡشِى الَّيۡلَ النَّهَارَ يَطۡلُبُهٗ حَثِيۡثًا ۙ وَّالشَّمۡسَ وَالۡقَمَرَ وَالنُّجُوۡمَ مُسَخَّرٰتٍۢ بِاَمۡرِهٖ ؕ اَلَالَـهُ الۡخَـلۡقُ وَالۡاَمۡرُ‌ ؕ تَبٰرَكَ اللّٰهُ رَبُّ الۡعٰلَمِيۡنَ

Artinya: “Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. Ar-A’raf 7:54)

Ayat ini, dalam konteksnya, menunjukkan bahwa keteraturan alam semesta bukanlah sesuatu yang terjadi tanpa tujuan, melainkan merupakan sebuah kesatuan yang tak terpisahkan, yang berjalan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Tuhan.1

Melalui pemahaman ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa alam semesta, baik dalam perspektif Al-Qur’an maupun sains modern, adalah sebuah entitas yang tidak dapat dipahami hanya dengan menggunakan satu pendekatan saja. Alam semesta adalah sebuah harmoni yang menggabungkan hukum-hukum alam yang dapat dipelajari dengan sains, tetapi pada saat yang sama juga mengandung dimensi spiritual yang mengingatkan kita akan keterhubungan kita dengan Pencipta. Dalam memahami keduanya, kita diajak untuk merenung tentang keteraturan kosmos sebagai bukti kebesaran Tuhan, serta batasan-batasan pemahaman manusia yang terus berkembang dalam mengejar pengetahuan.3

Referensi:

[1] Ünal, A. (2008). The Qur’an with Annotated Interpretation in Modern English. Tughra Books.

[2] Carroll, S. (2016). The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe. Dutton.

[3] Hawking, S. (1988). A Brief History of Time. Bantam Books.

mengembangkandiri.com (15)

ILMU MEKANIKA DALAM BINGKAI PABRIK ILAHI

Alam semesta ini adalah mahakarya Pabrik Ilahi, tempat segala sesuatu bekerja dalam keteraturan yang sempurna. Sebagaimana ilmu mekanika mengajarkan tentang gerak, gaya, dan interaksi benda-benda di dunia fisik, alam semesta juga mengikuti hukum-hukum yang telah Allah tetapkan. Dalam kerangka ini, manusia diajak untuk merenungi posisinya dalam sistem yang lebih besar, di mana segala sesuatu memiliki peran yang saling mendukung. Allah berfirman dalam Al-Qur’an,

وَمَا خَلَقۡنَا السَّمَآءَ وَالۡاَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَا بَاطِلًا

Artinya: “Dan Kami tidak menciptakan langit, bumi, dan apa yang ada di antara keduanya dengan sia-sia” (QS. Sad [38] : 27).

Menegaskan bahwa setiap elemen dalam alam semesta ini memiliki tujuan yang jelas dan tidak diciptakan secara kebetulan. Allah menciptakan alam semesta dengan tujuan yang luhur, setiap makhluk dan peristiwa memiliki hikmah dan peranannya masing-masing dalam mewujudkan kebesaran-Nya. Bumi, langit, dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya adalah bagian dari sistem yang saling terkait, yang berfungsi dengan sangat teratur. Bahkan manusia, sebagai ciptaan yang paling mulia, diciptakan untuk mengenal Tuhan, menjaga bumi, dan melaksanakan tugas sebagai khalifah. Oleh karena itu, setiap tindakan kita di dunia ini juga memiliki tujuan dan tanggung jawab, yang harus kita jalani dengan penuh kesadaran akan peran kita dalam sistem ciptaan yang lebih besar.

Bumi, sebagai bagian kecil dari sistem kosmik–segala sesuatu yang berkaitan dengan alam semesta, termasuk ruang, waktu, bintang, planet, galaksi, dan segala bentuk kehidupan yang ada di luar bumi–ini, menjadi tempat bagi manusia untuk memahami makna hidup melalui interaksi dengan hukum-hukum alam. Tanah, air, dan udara bekerja sama untuk menumbuhkan kehidupan, sebagaimana mekanika mesin yang membutuhkan roda-roda gigi yang berputar harmonis. Namun, ketika manusia melupakan posisi ini dan melanggar keseimbangan yang telah Allah tetapkan, konsekuensinya pasti terjadi. Prinsip ini mengingatkan kita pada tulisan Ustadz Badiuzzaman Said Nursi dalam Al-Kalimat, bahwa setiap makhluk diciptakan untuk memanifestasikan nama-nama Allah yang agung. Dalam keteraturan alam, ada tanda-tanda keagungan-Nya, dan dalam kekacauan yang dibuat manusia, ada teguran Ilahi.

Dalam kehidupan modern, salah satu tantangan besar adalah kegalauan generasi muda. Mereka hidup di tengah banjir informasi, tetapi sering kali kehilangan arah. Kegalauan ini bisa dilihat sebagai bentuk ketidakseimbangan dalam mekanika kehidupan. Generasi muda seperti mesin yang kehilangan pelumasnya; ia tetap bergerak tetapi dengan suara gesekan yang memekakkan. Kondisi tersebut terjadi akibat kegelisahan yang berasal dari kurangnya kesadaran akan hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Ustadz Badiuzzaman Said Nursi menegaskan bahwa jiwa manusia hanya akan tenang ketika ia kembali pada fitrahnya, yaitu mengenali dirinya sebagai hamba yang bergantung sepenuhnya pada Allah.

Namun, dibalik kegalauan ini tersimpan potensi besar. Generasi muda memiliki kekuatan untuk menjadi “roda penggerak” dalam sistem kehidupan yang lebih baik, asalkan mereka menemukan keseimbangan dalam hati dan pikirannya. Mekanika Pabrik Ilahi mengajarkan bahwa setiap bagian, sekecil apa pun, memiliki peran vital. Begitu pula dengan setiap individu. Ketika mereka menemukan hubungan dengan Allah, mereka akan mampu melihat dunia sebagai tempat untuk menjalankan tugas-tugas mulia, bukan sekadar ruang kosong yang diisi dengan hiburan tanpa ilmu.

Pesan utama yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa hidup ini adalah perjalanan menuju keseimbangan. Sebagaimana roda mesin berputar dalam harmoni, manusia harus menemukan sinkronisasi antara akal, hati, dan amal. Kehidupan dunia ibarat ladang, tempat manusia menanam benih amal untuk dipanen di akhirat. Maka, generasi muda harus menyadari bahwa setiap keputusan, tindakan, dan langkah mereka adalah bagian dari mekanika besar yang memengaruhi kehidupan di masa depan.

Ketika kita merenungkan bagaimana sebuah mesin bekerja dengan sempurna, kita seharusnya lebih kagum pada sistem alam yang diciptakan oleh Allah. Apakah kita telah berperan sebagai “roda gigi” yang mendukung harmoni Pabrik Ilahi ini, atau justru menjadi bagian yang memperlambat geraknya? Allah berfirman,

الَّذِىۡ خَلَقَ سَبۡعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًا‌ ؕ مَا تَرٰى فِىۡ خَلۡقِ الرَّحۡمٰنِ مِنۡ تَفٰوُتٍ‌ ؕ فَارۡجِعِ الۡبَصَرَۙهَلۡ تَرٰى مِنۡ فُطُوۡرٍ

Artinya: “Dia yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?” (QS. Al-Mulk [67] : 3).

Ayat ini menjelaskan bahwa ciptaan Allah, baik langit maupun seluruh alam semesta, diciptakan dengan kesempurnaan yang tidak ada cacatnya. Allah menantang manusia untuk memperhatikan dan merenungkan kebesaran ciptaan-Nya, yang bekerja dalam keseimbangan yang luar biasa. Setiap elemen alam, dari yang paling besar hingga yang terkecil, berfungsi dengan cara yang sangat teratur dan sesuai dengan hukum-Nya. Ketidakseimbangan atau kerusakan hanya terjadi ketika manusia mengabaikan hukum-hukum ini atau merusak keseimbangan tersebut. Ayat ini mengajak kita untuk merenungkan peran kita dalam menjaga keharmonisan alam dan mempertanyakan apakah kita sudah berperan sesuai dengan kehendak Allah atau malah menyebabkan ketidakseimbangan dalam sistem-Nya.

Semoga kita mampu mengambil peran yang seharusnya, semoga kita mampu menjaga keseimbangan ini, dan kembali pada fitrah sebagai makhluk yang tunduk kepada-Nya. Sebab, hanya dengan memahami mekanika kehidupan yang telah ditetapkan Allah, kita dapat meraih kedamaian sejati dan menunaikan tugas sebagai hamba dan khalifah di bumi.

 

Referensi:

Al-Qur’anul Karim. (n.d.). QS. Sad: 27 & QS. Al-Mulk: 3.

Nursi, B. S. (2008). Al-Kalimat (Terj. A. Izzudin). Risale-i Nur Press.

Newton, I. (1999). Mathematical principles of natural philosophy (A. Motte, Trans.). University of California Press.