mengembangkandiri.com-orangtua

Tugasmu Sebagai Anak

Apakah Tugas Seorang Anak terhadap Orangtuanya?

Kita dapat melihat dalam Al-Qur’an dan hadits Nabi bagaimana Islam sangat memperhatikan pentingnya perlakuan baik terhadap orang tua. Hal ini mendorong kita untuk memperhatikan tentang apa yang dapat kita perbuat untuk mereka secara nyata.

Dapat dikatakan bahwa tanggung jawab seorang anak terhadap orang tuanya dapat dikelompokkan menjadi dua tahap: tanggung jawab terhadap orang tua selama mereka masih hidup dan tanggung jawab terhadap orangtua setelah mereka sudah meninggal.

A. Tanggung jawab utama seorang anak terhadap orang tua ketika mereka masih hidup:

    1. Mengunjungi mereka; 
    2. Memenuhi kebutuhan dan melayani mereka; 
    3. Mematuhi kata-kata mereka, selama mereka tidak menyuruh kita melakukan dosa atau melakukan tindakan yang mengarah kepada suatu dosa; 
    4. Memperlakukan mereka dengan cinta, kasih sayang dan kelembutan; 
    5. Menghormati mereka; 
    6. Tidak mengganggu tidur mereka atau membangunkan mereka sembarangan; 
    7. Meminta izin sebelum memasuki kamar mereka; 
    8. Berusaha terus menuntun orang tua tetap dalam jalan kebenaran;

B. Tanggung jawab utama kita terhadap orang tua setelah mereka meninggal:

    1. Memenuhi wasiat mereka; 
    2. Bberdoa untuk mereka dan meminta Allah untuk mengampuni mereka; 
    3. Menyumbangkan amal atas nama mereka; 
    4. Melakukan ibadah yang tidak bisa mereka lakukan, seperti pergi haji (ziarah); 
    5. Mengunjungi kerabat mereka; 
    6. Mengunjungi kuburan mereka.

Melawan atau memberontak orang tua termasuk salah satu dosa besar, dan tentu saja salah satu perbuatan yang tidak disukai oleh Allah SWT. Dengan memutus hubungan dengan orang tua, seseorang sudah termasuk melakukan perbuatan yang merupakan ciri orang yang dikutuk Allah SWT (hipokrit), bukan seorang muslim. Sebagaimana gambaran karakteristik orang-orang yang dikutuk Allah SWT dalam Ayat 22 dan 23 surat Muhammad, Al-Qur’an menyebutkan bahwa salah satunya adalah mereka yang memutus hubungan kekeluargaan mereka.

Jika seseorang memutus hubungan dengan orang tua dan kerabatnya, dia akan kehilangan rahmat dan berkah Allah dan doanya mungkin tidak bisa dikabulkan, dan akhirnya dia tidak berhak atas surga-Nya. Untuk alasan ini, siapa pun yang berusaha untuk mencapai keberkahan dan kebahagiaan baik di dunia dan di akhirat, maka mereka yang utama adalah harus berusaha untuk mendapatkan ridha dari orang tuanya.

Perlu dicatat bahwa ketika mereka membesarkan kita, mereka tidak merawat kita hanya satu hari saja dalam setahun, tidak seperti “hari anak”. Sebaliknya, mereka merawat dan mendidik dengan penuh pengorbanan siang dan malam dan bahkan sampai kita bisa mandiri. Oleh karena itu, tugas kita adalah bersungguh-sungguh dalam memenuhi amanah agama kita, yang ada dipundak, untuk orang tua dan berusaha untuk mendapatkan ridha mereka. [1]

Apapun yang Engkau Perbuat, Tidak Ada yang Sepadan dengan Rasa Sakit yang Diderita Ibumu Saat Melahirkanmu


Muadz bin Jabal, salah seorang sahabat Nabi, seorang beruntung yang berkesempatan langsung menghadiri jamuan spiritual Nabi.

Kala itu, seseorang bertanya kepadanya, “Seberapa banyak seseorang berhutang budi kepada orang tuanya?”

Dia menjawab, “Kamu tidak akan dapat melunasi hutangmu kepada orang tuamu bahkan jika kamu menghabiskan semua kekayaanmu”


Said ibn Abu Burda meriwayatkan sebuah cerita yang didengar oleh ayahnya Abu Burda dari ibn Umar.

Suatu hari ibn Umar melihat seorang pria dari Yaman yang sedang mengelilingi Ka’bah sambil menggendong ibunya di punggungnya.

“Saya adalah unta rendahan untuk ibu saya,” gumam pria itu.

“Apakah saya sudah melunasi hutang budi saya kepada ibu saya dengan melakukannya?” tanyanya pada bin Umar.

“Tidak, tidak sedikit pun. Dengan apa yang kamu lakukan, kamu tidak dapat membalas rasa sakit yang diderita ibumu saat melahirkanmu,” jawab ibn Umar.


Seorang pria bertanya kepada Umar, khalifah kedua, yang terkenal karena keadilannya: “Saya memiliki seorang ibu yang tidak mampu merawat dirinya sendiri. Saya menggendongnya di punggung saya dan saya membantunya mengambil wudhu. Selama melakukan semua ini, saya tidak pernah mengeluh atau mencelanya. Apakah saya sudah melunasi hutang budi saya kepada ibu saya?

“Tidak,” jawab Umar.

“Saya sudah menjadikan diri saya seperti binatang pelana untuknya. Saya mendedikasikan diri untuk merawatnya. Bagaimana mungkin saya masih belum melunasi hutang saya kepada ibu saya?” tanya pria itu dengan heran.

Kemudian Umar membuat pernyataan yang luar biasa ini: “Ibumu telah melakukan semua itu untukmu. Saat itu, dia melakukannya agar Engkau hidup dan tumbuh dewasa. Tapi saat Engkau merawat ibumu sekarang, engkau sedang menunggu kematiannya.”


Kala itu, Umar melihat seorang laki-laki yang sedang mengelilingi Ka’bah dengan menggendong ibunya.

Sambil menggendong ibunya, dia berkata: “Saat ini saya menggendong ibu saya di punggung saya. Tapi sebenarnya, beliaulah yang menjadi seorang pengangkat (portir). Beliau sudah menyusui saya dan memberi saya makanan yang melimpah.”

Melihat peristiwa ini, Umar berkomentar: “Melihat pengorbanan pria ini, saya lebih menyadari bahwa ibu saya memiliki hak yang sangat banyak atas saya. Melakukan perbuatan seperti orang ini akan lebih baik bagi saya daripada memiliki unta merah (jenis unta yang paling berharga).”

Dengan berucap demikian, Umar sedang mengungkapkan kerinduannya. Dia menunjukkan bahwa Beliau akan bersemangat untuk menggendong ibunya di punggungnya jika dia masih hidup. Untuk membuat analogi, dia mengatakan dia lebih suka menggendong ibunya daripada memiliki kendaraan yang mewah.


Abu Nawfal meriwayatkan:

Suatu hari seorang pria mengunjungi Umar dan berkata bahwa dia telah melakukan pembunuhan.

“Kasihan. Sayang sekali. Apakah Engkau melakukan pembunuhan itu dengan sengaja atau tidak sengaja?” tanya Umar.

Ketika pria itu mengatakan bahwa itu adalah sebuah kecelakaan. Kemudian Umar bertanya apakah orang tuanya masih hidup. Pria itu menjawab bahwa ayahnya masih hidup. Dan Umar memberinya nasihat berikut: “Segeralah pergilah ke ayahmu, rawat dan layani dia. Lakukan semua yang bisa Anda lakukan untuk mendapatkan ridhanya.”

Kemudian, Umar berkomentar: “Demi Allah, jika ibunya masih hidup dan jika dia merawat dan melayaninya, ini akan menjadi harapan bahwa api Neraka tidak akan pernah menyiksanya.”


Abdullah bin Abbas pernah berkata, “Saya tidak pernah tahu, bahwa ada perbuatan yang lebih baik untuk mendekatkan diri kepada Allah daripada bersikap baik kepada ibu dan mendapatkan ridhanya.”


Perbuatan baik terhadap orang tua layaknya sebuah gunung yang dapat membawa kita ke surga. Seorang mukmin harus berusaha keras untuk memenangkan hati orang tuanya, agar dia berhak akan surga dan dimudahkan dalam meraihnya. Jika mereka tidak berkenan dengan kita, semakin besar kemungkinan untuk tidak dapat meraih surga-Nya.

Sebenarnya, mendapatkan ridha orang tua sama dengan mendapatkan keridhaan Allah. Mematahkan hati mereka berarti menghina Allah SWT. Seorang anak yang menyakiti perasaan orang tuanya akan ditolak masuk surga.

Aishah, ibu semua kaum mukminin,  semoga rahmat Allah SWT terus tercurahkan kepadanya, mengisahkan: Dalam mimpinya, Nabi Yang Paling Mulia masuk surga dan mendengar seseorang membaca Al-Qur’an. “Siapa ini?” dia bertanya kepada orang-orang di surga. “Ini Haritha ibn an-Numan,” jawab mereka. Beliau adalah salah satu kaum Ansar yang telah berjuang di semua pertempuran termasuk Badar, Uhud, dan Khandaq. Beliau adalah Sahabat yang dihormati, yang dikenal karena kebajikannya. Nabi kita telah memberikan penjelasan tentang sebab Beliau berhak akan surga-Nya, meskipun dia memiliki begitu banyak keutamaan lainnya:

“Itu karena kebaikannya kepada orang tua.”

Setelah mengulangi kalimat ini selama tiga kali, Beliau menambahkan: “Haritha adalah yang paling baik terhadap seorang ibu.”

Ini adalah pelajaran dari Nabi, yang menggugah pikiran kita tentang bagaimana menemukan jalan menuju surga. Untuk mendapatkan kembali surga kita yang hilang, kita harus mengulurkan tangan kita kepada orang tua kita dengan kebaikan, dan kita sangat dekat dengan mereka sehingga mereka berkenan membawa kita ke surga.

mengembangkandiri.com-jembatan

Kisah Jembatan yang Terbangun Sendiri

Bisakah sebuah jembatan membangun dirinya sendiri?

Saat Imam Abu Hanifah masih muda, datang seorang saudagar majusi mengunjungi kota Basrah untuk berdagang. Si pedagang gemar memprovokasi orang-orang muslim dengan ucapannya, “Aku menyembah api. Api itu nampak, maka aku percaya padanya. Tampakkanlah kepadaku Allah yang kalian sembah itu. Kalian jelas tidak dapat melakukannya karena Dia tidak ada. Bawalah ulama-ulama kalian ke sini dan aku akan membuktikan bahwa Dia tidak ada.”  

Beberapa  masyarakat muslim di wilayah itu menantang si pedagang dengan berkata, “Jika Anda bisa membuat Abu Hanifah sepakat dengan ucapan Anda atau Anda berhasil mematahkan argumen-argumen Beliau, maka kami akan membawakan ulama-ulama ternama ke sini untuk beradu argumen dengan Anda.”

Melihat Abu Hanifa yang masih begitu muda, orang majusi itu meremehkannya dengan berkata: “Seorang anak kecil ini?! Aku tidak akan membuang waktuku dengan mendebat anak kecil!”

Akan tetapi, disebabkan oleh dorongan masyarakat di sana maka si majusi dan Abu Hanifah memutuskan untuk berdebat di masjid esok hari selanjutnya.

Ternyata Abu Hanifah datang terlambat hari itu, sehingga si majusi mengolok-oloknya: “Lihatlah, dimana anak kecil kemarin? dia takut untuk datang ke sini. Aku tidak ingin berdebat dengan anak-anak. Cepat panggil ulama-ulama besar kalian ke sini!”

Semua yang hadir sedikit panik dan khawatir. Tiba-tiba, Abu Hanifah akhirnya datang dengan pakaian yang basah kuyup karena keringatnya.

“Saya mohon maaf karena terlambat! Saya tadi sedang berada di seberang sungai. Tidak ada perahu yang bisa saya pakai untuk menyeberanginya. Maka saya perintahkan pepohonan di tepi sungai untuk berubah menjadi sebuah perahu agar saya dapat menyeberang. Pohon-pohon itu menuruti perintah saya, berubah menjadi perahu, dan saya akhirnya bisa datang ke tempat ini. Itulah mengapa saya terlambat. Saya mohon maaf!”

Sambil tertawa terbahak-bahak, si majusi berucap: “Apakah kalian mendengar apa yang anak kurang waras ini kisahkan kepada kita? Bagaimana mungkin pohon terangkai menjadi sebuah perahu dengan sendirinya?”

Mendengar pendapat orang itu, Abu Hanifah menjawab: “Anda berasumsi bahwa sebuah perahu tidak mungkin dapat dibuat tanpa ada pembuatnya. Lalu, bagaimana mungkin Anda percaya bahwa seluruh semesta bisa eksis tanpa ada pembuatnya?

Masyarakat yang hadir sepakat dengan yang Abu Hanifah jelaskan. Hanya saja, si majusi masih berargumen:

“Lalu, mengapa Allah tidak dapat dilihat? Semua benda yang eksis pasti terlihat.”

Abu Hanifah lalu menanyai orang itu: “Apakah Anda mempunyai akal?”

“Sudah pasti punya,” jawabnya. 

“Kalau begitu tunjukkanlah pada kami!” desak Abu Hanifah.

Seketika dia terpaksa mengakui, “Aku tidak bisa menunjukkannya.”

Balas Abu Hanifah: “Mungkin Anda tidak mempunyainya! Ya, beberapa entitas seperti ruh dan akal tidak bisa kita lihat, tetapi eksistensinya dapat kita rasakan, artinya tidak semua entitas itu harus dapat dilihat oleh mata manusia.”

Demi menunjukkan kesepahaman mereka dengan penjelasan Abu Hanifah, masyarakat  yang hadir menyorakan syahadat dengan lantang.

Sedang lelaki majusi tadi menjadi semakin marah. Dia bertanya: “Allah sedang apa saat ini?”

“Turunlah dari mimbar dan saya akan menjawab pernyataan Anda setelah saya naik ke sana,” balas Abu Hanifah.

Ketika Beliau sampai di mimbar, Abu Hanifah menjelaskan: “Tepat saat ini Allah sedang membuat seorang bodoh sepertimu turun dari mimbar lalu menaikkan anak kecil sepertiku untuk memberi pelajaran kepada semua orang.”

Menyadari kecerdasan Abu Hanifah, saudagar itupun menyerah.

Dia berterima kasih kepada Abu Hanifah dan masuk Islam saat itu juga yang disaksikan oleh semua orang yang hadir.

Apakah Alam Semesta Tercipta dengan Sendirinya, secara Kebetulan?

Ada sistem dan keteraturan dalam tubuh manusia sehingga tidak satupun sel yang dapat bertindak dengan sendirinya. Sistem seperti ini memperlihatkan kesinambungan dan kolaborasi yang sungguh sempurna. Seolah-olah setiap sel memiliki fungsi seperti makhluk yang bernyawa dan cerdas.

Mari kita amati satu buah sel saja sebagai contoh. Jika kita tidak setuju bahwa sel adalah pelayan Al-Qawiy (Yang Maha Kuat), dengan kata lain, sama saja dengan kita setuju dengan pernyataan ini: Setiap sel makhluk hidup dapat melihat dan sadar terhadap tubuh tempatnya menetap dan paham dengan segala aturan dan bahan pembuat tubuh tersebut.

Jika kita amati sistem pencernaan, misal, nampak semua organ dari mulut hingga usus besar bekerja dalam harmoni yang sempurna. Ditambah lagi, berdasarkan hubungannya dengan semesta, sistem tersebut bahkan memiliki mata yang dapat melihat seluruh semesta dan akal yang paham akan struktur, tugas, dan keseimbangan seluruh tubuh.

Jadi bisa dikatakan bahwa, berdasarkan perhitungan ini, sebuah sel harus memiliki akal setingkat jenius dan kekuatan setingkat Tuhan.

Maka, manusia yang menolak adanya Pencipta Tunggal akan jatuh ke dalam situasi bahwa dirinya -diharuskan- menerima eksistensi tuhan yang banyaknya sejumlah seluruh sel di semesta.

Sungguh tubuh manusia itu seperti istana dengan seribu kubah, setiap kubahnya ditopang oleh ratusan batu yang saling mendukung.

Tubuh kita mempunyai kualitas yang ribuan kali lebih menakjubkan daripada sebuah istana termegah sekalipun, seolah-olah ia diperbaharui secara terus-menerus. Jika kita beranggapan bahwa sel-sel yang menyusun tubuh manusia bukanlah pelayan dari Zat Yang Tanpa Batas, maka sebuah sel harus menguasai sel-sel lain dan selalu mengikat mereka. Dengan kata lain, setiap sel harus memerintah sel-sel lain untuk memastikan sel-sel itu berpindah ke tempat yang tepat, serta, di saat yang sama sel itu yang memerintah juga ikut berpindah ke tempat yang menurut sel lain adalah tempat yang tepat.

Jelas hal seperti ini tidak akan pernah terjadi, sebab masing-masing sel akan bergerak berdasarkan pemikiran yang berbeda-beda.

mengembangkandiri-pemuda

Demi Pemuda

Bagi mereka yang ingin memprediksi masa depan sebuah bangsa, bisa dengan mudah dan akurat mengamati sistem pendidikan yang diajarkan ke generasi mudanya.


Nafsu layaknya manisan, dan kebaikan seperti makanan yang kadang sedikit asin bahkan masam. Jikalau pemuda diberikan pilihan, yang mana akan mereka lebih sukai? Karena itulah, sudah menjadi kewajiban kita untuk mengarahkan mereka menjadi sahabat bagi kebaikan dan musuh dari kebiasaan buruk dan tak bermoral.


Sampai kita menyelamatkan generasi muda kita melalui pendidikan, mereka masih akan terus tertawan oleh lingkungan, nafsu serta kesenangan dunia. Mereka hanyut tanpa tujuan, terpengaruh oleh nafsu dan jauh dari ilmu dan akal budi. Sebenarnya, mereka mampu menjadi contoh sebagai pemuda yang gagah berani yang berprinsip dan berjiwa kebangsaan, namun, hanya jika pendidikan yang mereka tempuh mampu merawat potensi mereka dan mengembangkannya dengan cermat demi masa depan.


Bayangkan, semisal masyarakat sebagai sebuah cangkir terbuat dari kristal, dan generasi mudanya adalah cairan yang dituangkan kedalamnya. Perhatikan bahwa cairan mengikuti bentuk dan warna wadahnya. Namun disisi lain, apabila ada kelompok dengan pemikiran yang melenceng menjerumuskan para pemuda untuk patuh kepada mereka ketimbang kebenaran sejati. Apakah orang seperti mereka tak pernah bertanya ke dalam benaknya sendiri? Bukankah mereka seharusnya juga berada dalam jalan kebenaran?


Maju atau mundurnya sebuah bangsa tergantung pada semangat dan kesadaran pada bidang pendidikan yang diberikan kepada para generasi muda. Bangsa yang berhasil membangun generasi mudanya dengan baik, akan selalu siap untuk maju, sedangkan bangsa yang gagal dalam mendidik generasi mudanya, akan sadar bahwa mustahil untuk maju, bahkan mustahil hanya untuk mengambil satu langkah kedepan.


Hanya sedikit perhatian yang kita berikan tantang pentingnya nilai-nilai budaya dalam pendidikan, yang sebenarnya merupakan intisari dari pendidikan. Saat kita sudah sadar dan memberikan porsinya dengan tepat, kita akan meraih tujuan utama pendidikan.


Generasi muda adalah sumber tenaga, kekuakatan dan kecerdasan masa depan suatu bangsa. Jika dilatih dan dididik dengan tepat, mereka bisa menjadi “pahlawan”, yang menghadapi rintangan dan yang berpemikiran cemerlang sebagai cahaya bagi hati dan kedamaian dunia.

mengembangkandiri-akhlak-yang-baik

8 Sebab tentang Pentingnya Akhlak yang Baik

Mengapa Akhlak yang Baik Begitu Penting?

“Warisan terbaik yang ditinggalkan orang tua kepada anaknya adalah akhlak yang baik”[1]

Mengapa Akhlak Baik?

Tidak ada agama atau sistem lain yang lebih mementingkan akhlak yang baik selain Islam. Rasulullah SAW bersabda, “Islam adalah akhlak yang baik.”

Memiliki akhlak yang baik adalah bukti terbaik yang bisa ditunjukan oleh setiap orang bahwa dirinya adalah seorang Muslim. Ada banyak hadits (kebiasaan) Nabi SAW yang mendorong perilaku yang baik.

Misalnya, “Yang paling sempurna imannya di antara orang-orang mukmin adalah yang berakhlak baik.”

Nabi SAW, yang menekankan pentingnya perilaku baik di atas iman, menyampaikan bahwa sarana untuk menjadi dekat dengannya adalah dengan berakhlak yang baik. Seperti yang tertuang dalam hadits berikut: “Pada Hari Pembalasan, orang yang paling saya sayangi dan paling dekat dengan saya adalah orang-orang yang memiliki akhlak yang terbaik.”

Di dalam Al-Qur’an, ada banyak ayat yang mendorong akhlak yang baik seperti menepati janji, memaafkan, kerendahan hati, menaati orang tua, amanah, kasih sayang, persaudaraan, kedamaian, ketulusan, kedermawanan, kasih sayang, toleransi, berbicara dengan santun, menjadi orang yang ramah, dan hati yang bersih.

Selain itu, banyak juga ayat-ayat Al-Qur’an tentang menghindari akhlak tercela dan perilaku yang buruk seperti penindasan, kesombongan, kekejaman, keserakahan, keegoisan, kecemburuan, keangkuhan, permusuhan, kecurigaan, pemborosan dan membuat kerusakan, yang juga menandakan bahwa bagaimana sangat diperlukannya iman dan keislaman dalam mewujudkan perilaku dan akhlak yang baik.

Jadi mengapa kita harus berakhlak baik? Kita dapat membahas topik ini dalam beberapa uraian berikut:

  1. Selain ibadah, aqidah Islam sangat mementingkan hubungan sosial, dan tidak mungkin bagi mereka yang tidak memiliki akhlak yang baik untuk menjalankan agamanya dengan sempurna.
  2. Nabi Muhammad SAW merepresentasikan akhlak yang baik. Untuk menjadi penghuni surga, perlu dihiasi dengan akhlak yang baik. Dalam Al-Qur’an, Allah menyampaikan bahwa Nabi yang mulia adalah suri tauladan yang paling baik bagi setiap orang beriman. Dalam ayat lain Al-Qur’an mengungkapkan, “Kamu benar-benar memiliki akhlak yang agung” (al-Qalam 68:4). Satu-satunya cara seseorang dapat hidup seperti Rasulullah adalah dengan meniru akhlak dan perilakunya yang baik.
  3. Ketika seorang mukmin memiliki akhlak yang baik, ia dapat diangkat ke derajat orang-orang yang muqarrabun. Nabi mulia mendefinisikan hal ini dalam salah satu hadis dengan sabdanya berikut: “Dengan akhlaknya yang baik, seorang mukmin akan mencapai derajat orang yang shalat di malam hari dan berpuasa di siang hari.” Ini tidak boleh disalahartikan. Ibadah sangat penting dalam hal menampilkan pengabdian kepada Allah. Tetapi di samping itu, seorang mukmin yang hidup dalam suatu masyarakat harus mematuhi perilaku yang diperlukan dalam hubungan antara orang-orang di dalam masyarakat itu. Ketika dia mencapai ini, atau dengan kata lain, ketika dia adalah orang yang berakhlak dan berperilaku baik, maka ibadahnya akan mencapai kesempurnaan.
  4. Memiliki akhlak yang baik adalah sarana yang dengannya seorang mukmin bisa masuk surga. Suatu ketika seorang laki-laki bertanya kepada Nabi yang mulia, tentang perbuatan apa yang paling banyak membawa manusia ke surga, dia menjawab, “Ketakwaan dan akhlak yang baik”, yang menandakan pentingnya akhlak yang baik diiringi dengan ibadah.
  5. Akhlak yang baik menandakan kesempurnaan dan kedewasaan dalam beragama dan beriman. Nabi yang mulia mengidentifikasi dua karakteristik yang tidak ditemukan pada seorang mukmin—ketamakan dan akhlak yang buruk. Sekali lagi, dia menegaskan bahwa yang terbaik di antara orang-orang beriman dalam hal iman adalah mereka yang berakhlak baik.
  6. Akhlak dan perilaku yang baik juga merupakan bentuk pengabdian kepada Allah. Dengan kata lain, memiliki akhlak yang baik adalah salah satu bentuk ibadah. Bahkan Nabi SAW mengatakan bahwa bentuk ibadah yang paling sederhana adalah menahan diri dari berbicara yang tidak perlu dan perilaku yang baik.
  7. Menampilkan akhlak yang baik adalah tanda cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Ini secara jelas dijelaskan dalam hadis yang menyatakan bahwa orang-orang yang paling dekat dengan Rasulullah pada Hari Pembalasan adalah orang-orang yang berakhlak baik. Ketika Allah mencintai hamba-Nya, Dia memberinya akhlak yang baik.
  8. Akhlak yang baik menghilangkan dosa sebagaimana seperti matahari menghilangkan embun beku: akhlak yang baik mencairkan dosa seperti air mencairkan es. Nabi yang mulia menjelaskan bahwa akhlak yang buruk merusak perbuatan baik seperti halnya cuka merusak madu. Oleh karena itu, kita semua harus membaca doa Nabi SAW: “Ya Tuhan! Saya memohon kepadaMu atas kesehatan, menahan diri, amanah, akhlak yang baik dan ridha terhadap takdir. Wahai Yang Maha Penyayang! Saya memohon kepada-Mu dengan kebaikan dari kasih sayang-Mu.”

[1]Sunan at-Tirmidzi, Birr, 33.

close-up-students-writing-reading-exam-answer-sheets-exercises-classroom-school-with-stress

Pejuang Altruistik Risalah Nur

Ustadz Bediüzzaman, sosok teladan yang menghabiskan kehidupannya di bawah naungan Al-qur’an dan sunnah, tidak hanya seseorang yang penuh semangat dan ambisi, tetapi juga seseorang yang penuh logika dan gagasan.

Dalam mahakaryanya, beliau mempersembahkan luasnya iman, akhlak, dan kalbu Islami dalam bentuk yang begitu murni. Beliau adalah sosok yang luar biasa pada zamannya. Sosok yang dijiwai oleh rasa kemanusiaan, kesetiaan, kerendahan hati, kesucian, dan keikhlasan, beliau adalah sosok yang luar biasa.

Meskipun tampilan luarnya amat sederhana, beliau adalah sosok  yang memiliki visi dan kedalaman baik dalam pemikiran maupun perilakunya. Beliau terus-menerus menggali solusi permasalahan umat di bawah semarak cahaya Al-qur’an dan sunnah. 

Tidak hanya sebagai ulama yang ahli berlogika, beliau juga mampu mencerminkan satu karakter kuat dalam pemikiran dan perilakunya. Beliau mampu merangkul semua umat dengan pemikiran tajamnya dan melawan dengan keras kekufuran, kesewenang-wenangan, dan penyimpangan.

Mereka yang sungguh beruntung  berada di sisinya telah melihat kedalaman spiritual, kebijaksanaan, kesederhanaan, keikhlasan, dan kerendahan hati sosok ini. Merekalah murid Risalah Nur. 

Salah satu ciri-ciri utama mereka yang menjadi murid pertama Ustad Said Nursi adalah sifat kepekaan dalam mengabdi kepada agama dan Islam yang begitu dalam, dan tanpa mengharap imbalan apapun. Mereka yang tidak pernah bergumam “Aku telah mengabdi” ternyata sukses besar dalam perjuangannya, mengingat mereka menjauhkan diri kekayaan dunia, kemunafikan, dan kepuasan diri.

Mereka adalah para profesional di bidangnya masing-masing. Tatkala mereka menghadapi cobaan dan kesulitan, mereka akan mengalahkannya dengan kekuatan iman dan keikhlasan. Tentu hal ini terjadi dengan izin Allah Azza wa Jalla.

Para pejuang generasi pertama Risalah Nur, yang sangat meneladani guru mereka, mereka menempuh jalan penuh kebaikan dan aksi positif dengan tujuan menjaga ketertiban dan kedamaian dalam kehidupan masyarakat.

Dengan berlandaskan pada intisari Risalah Nur, mereka memiliki sasaran untuk mengabdi kepada agama dan Alquran atas nama-Nya yang agung tanpa menyinggung  siapapun, dengan penuh kedamaian.

Mereka tidak menaruh nilai pada pribadi diri mereka.

Begitulah jalan khidmah:

Seseorang harus mengabdikan imannya semata-mata demi Tuhan, setiap tindakannya adalah penghambaan yang tulus dan murni.

Seseorang harus berhati-hati dalam menjaga keikhlasannya, karena alasan inilah, ia harus mampu menjauhkan diri dari keinginan duniawi, pangkat, ketenaran, dan kemakmuran.

Benih-benih khidmah yang telah menyinari dunia bagai sang surya, ternyata ditabur oleh segelintir orang, yang mereka memandangi dunia yang sementara ini seperti sesuatu yang tidak mempunyai nilai apapun.

Mereka adalah orang yang berhati mulia, tanpa gelar dan pangkat duniawi. Keikhlasan, altruisme,  pengorbanan, dan bantuan harta dan amal mereka telah membuahkan perkembangan khidmah sampai hari ini, yang begitu indah penuh makna. 

Tren untuk hijrah  atau berpindah tempat tinggal dalam kalangan Muslim sekarang semakin meluas ke seluruh empat penjuru dunia, ini semuda masih terus terjaga karena kekuatan nilai-nilai terpusat ini.  

Tanpa keraguan sedikitpun, di belakang kekuatan ini berdirilah Ustadz Bediüzzaman, yang menolak untuk menerima imbalan meski sebesar biji gandum.

Di sisinya, berdirilah murid-muridnya yang istimewa: Hulusi Yahyagil, Hüsrev Altmbak, Hafiz Ali, Tahiri Mutlu, Zübeyir Gündüzalp, Ceylan Callkan, Mustafa Sungur, Bayram Yüksel, Hüsnü Bayram and Abdullah Yeğin.

Seperti yang dijelaskan oleh Osman Yüksel Serdengeçti, Ustadz Bediüzzaman, yang dikelilingi orang-orang dengan rentang usia delapan hingga delapan puluh tahun, memiliki kebijaksanaan yang tinggi dalam berkhidmah untuk Al-qur’an dan Islam.

Mereka yang berada dekat dengannya memiliki kualitas iman yang tidak dapat digambarkan. Tidak peduli berbagai halangan yang merintang dihadapannya, hati yang haus akan iman terus mengalir dalam semangat kalbu mereka. Mereka yang mengamalkan Risalah Nur sejatinya menempuh jalan kebahagiaan abadi. 

Dengan jiwa yang suci nan mulia dan keyakinan yang terhubung dengan kebenaran abadi,  putra-putra Anatolia yang tulus dan setia telah berkumpul di sekitar pejuang khidmah.  Seorang pria beruntung yang hidup dalam rentang  Era Konstitusi, periode Komite Persatuan dan Kemajuan dan Republik untuk turun dari dataran tinggi di timur dengan iman yang tak tergoyahkan yang membuatnya tetap tegak sementara lainnya banyak yang menghilang tertelan dalam lembaran sejarah.

Orang-orang yang beruntung ini selalu berada di sisi sang Bediüzzaman, meskipun beliau dipenjara dan diseret jasmaninya ke panggung eksekusi. Di sampingnya, mereka telah menghadapi berbagai bentuk ancaman. Kendati demikian, dengan berlandaskan pada kekuatan iman, mereka tetap berdiri tegak dan tetap mengabdi hingga akhir hayat nanti.

kelvin-yan-fG0LRiUifNI-unsplash

Dimana Sajakah Dirimu Selama ini?

Seorang lelaki khidmah bercerita,

            Saat itu, di Turki, tahun 1994. Saya terlambat datang ke pengajian bincang santai yang juga dihadiri teman-teman saya. Akhirnya, saya meminta maaf kepada mereka seraya menjelaskan alasannya. Saya terlambat karena harus mengunjungi salah seorang teman yang sedang dirundung duka. Seseorang yang disayanginya meninggal dunia. Kejadiannya cukup menarik meskipun akhirnya ada yang meninggal dunia.  Sesaat sebelum wafatnya, almarhum menerima empat panggilan telepon dari putra, putri, dan menantunya. Awalnya almarhum terkejut, karena keempat panggilan tersebut terjadi berurutan. Beliau selalu menjawab, “Saya baik-baik saja.”. Lantas satu gagasan terbesit di pikirannya, “Ada yang aneh ini…” Beberapa menit kemudian, beliau meninggal dunia dengan posisi sedang duduk di sofa. Keseluruhan kejadian tadi hanya berlangsung sekitar setengah jam.

            Saat saya menceritakan cerita tadi sambil kami minum teh, seorang  pemuda tiba-tiba menyahut, “Izinkan saya menceritakan kejadian yang serupa yang saya alami, Pak.”

            Ia melanjutkan,

            “Suasana harmonis pertemanan dan percakapan di bincang santai ini begitu berkesan untuk saya. Memang kita baru saja bertemu. Namun, entah mengapa terngiang dalam pikiran saya sebuah pertanyaan, “Mengapa diri saya tidak berjumpa dengan orang-orang seperti di bincang santai seperti ini sebelumnya?” Izinkanlah saya, yang hanya memiliki satu lengan ini menceritakan kejadian yang serupa dan hal-hal menarik yang terjadi kepada saya beberapa waktu silam.

            Kejadian ini terjadi tepat ketika saya bersama tunangan saya Ipek, kami hendak menikah sepuluh hari lagi waktu itu. Saat itu, saya menjemputnya dari rumahnya, kemudian pergi ke kafe malam. Kemudian, kedua temanku yang namanya sama, Murat, juga datang bersama kekasihnya. Jujur, waktu itu saya tidak menduga kedatangan mereka. Oleh sebab itu, saya bertanya  apa yang mereka lakukan di kafe malam itu. Dengan arogan mereka tertawa dan berteriak keras, “Kami ke sini untuk mati!”. Dengan kencang kami pun mengatakan hal yang sama. Kami pun tertawa dengan penuh senda gurau.

            Setelah puas tertawa, salah satu kawan kami lagi, si Hakan datang bersama dua wanita lain. Sepengetahuan saya, ia tidak akan datang ke sini, saya tidak menduga kedatangannya. Oleh karena itu, saya menanyainya hal yang sama seperti sebelumnya, “Apa yang kamu lakukan di sini?” Meskipun ia tidak mendengar jawaban Murat sebelumnya, namun ia menjawab dengan lantang, “Aku ke sini untuk mati!” Sungguh mengejutkan. Apakah hal ini merupakan suatu kebetulan?  Kami tidak terlalu mempedulikannya, kami terus minum dan tertawa riang. Dirasa sudah puas, kami akhirnya keluar dari kafe malam itu. Saya berikan kunci mobil saya ke Hakan dan memilih menumpang mobilnya Murat. Saya melihat Ipek nampak sedikit aneh. Saya ingin duduk di belakang di antara Ipek dan satu wanita lain. Namun, bagaimanapun saya memaksa Ipek, ia tetap tidak mau menurut. Ia menyuruhku duduk di kursi tengah, belakang sopir persis. Sementara di kursi depan, duduk Murat yang sedang mengendarai mobil bersama kekasihnya.

            Kami pun pergi meninggalkan kafe malam. Sesaat kemudian, kami mengalami kecelakaan yang sungguh tragis. Murat, Ipek, dan wanita di sebelahku meninggal ditempat. Sementara diri saya mengalami koma. Wanita di kursi depan selamat tanpa terluka. Dia membuka pintu mobil dan keluar tanpa menoleh ke belakang.

             Ketika satuan polisi tiba di tempat kecelakaan, dikiranya semua orang yang ada di dalam mobil meninggal dunia. Oleh karena itu, kami dibawa langsung ke kamar mayat di rumah sakit terdekat. Kemudian saat para dokter masuk akan mengidentifikasi tubuh kami, salah satu dari mereka sadar bahwa saya masih hidup. Nampak, saat itu saya masih bergerak dan menjerit tatkala pintu kamar mayat dibuka. Kejadian itu cukup menyebabkan salah satu petugas disana sangat terkejut hingga mengalami gangguan psikis sampai harus menjalani terapi selama beberapa bulan.

            Satu lengan saya harus diamputasi. Proses penyembuhannya memakan waktu beberapa bulan, baik itu di dalam negeri dan di luar negeri. Kemudian, saya baru tahu jika Hakan dan yang lainnya juga terlibat dalam kecelakaan beruntun itu.  Mereka semua meninggal kecuali seorang perempuan (kekasih Murat) dan diri saya.”

            Selama Murat (yang berlengan satu) menceritakan kejadian tadi, kami semua tak sempat menghela nafas dan mendengar ceritanya dengan penuh perhatian. Dia kemudian melanjutkan ceritanya;

            “Beberapa bulan setelah kejadian itu, saya memahami sesuatu yang luar biasa. Temanku Murat (yang meninggal dunia dalam kecelakaan), telah menyiapkan satu makam untuk dirinya, kurang lebih 15 hari sebelum kecelakaan mengerikan itu. Ia bahkan meminta seorang ulama untuk membacakan ayat suci Alquran di atas makamnya. Sang ulama bertanya, “Bagaimana saya bisa membaca Alquran kalau makamnya kosong seperti ini?” Murat lantas menjawab, “Anda fokus saja pada tugas itu, seseorang akan mengisi makam ini tak lama lagi.”Apa yang diucapkannya sungguh terjadi. Mereka menguburkan Murat sendiri di makam itu.

            Sementara itu, kisah tunanganku Ipek, lebih menarik. Persis sebelum saya menjemputnya, ia merapikan pakaiannya kemudian memasukkannya ke dalam koper. Ia meninggalkan sebuah catatan kecil di koper bertuliskan, “Jika diriku tidak kembali, berikanlah semua pakaian ini kepada orang miskin atau anak-anak dalam panti pengungsian.” Tampak seolah-olah ia memiliki firasat mengenai kecelakaan mengerikan malam itu. Saya sadar mengapa ia memaksaku duduk di kursi tengah. Ia ingin melindungiku. Ia sangat menyayangiku. Belum pernah saya melihat ia bersikeras seperti itu sebelumnya.”

            Tatkala Murat menceritakan hal ini, ia menangis tersedu-sedu. Lantas ia bertanya, “Ipek, kekasihku, ia beriman kepada Tuhan dan tidak meminum alkohol. Ia adalah seseorang yang jujur dan peduli terhadap orang lain. Ia senang membantu sesama. Hanya karena ia dibesarkan dengan cara yang salah, ia akhirnya tidak memiliki banyak ilmu tentang agama. Bagaimana menurutmu, saudaraku, akankah Tuhan mengampuninya?”

            Kami pun berusaha menenangkan tangisannya. Kami meyakinkan bahwa ampunan Tuhan tidak terbatas. Terlebih lagi, kepada mereka yang hidup dalam kondisi fatrat (kondisi di mana tiada nabi yang membimbing umat itu).  Karena itu, seorang Mukmin tidak boleh putus asa dari ampunan Tuhan. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat.

            Murat melanjutkan bercerita tentang keadaan dirinya,

            “Saya beriman kepada Tuhan. Saya bahkan tidak menyentuh minuman keras dalam beberapa tahun terakhir. Tapi, sudah lama saya merasa, diri ini sangat jauh dari naungan agama. Saya tidak tahu tentang ilmu agama dan tiada seorang pun  yang membimbing saya. Mungkinkah Tuhan mengampuniku, wahai saudara-saudaraku?”

            Sekali lagi, kami jelaskan padanya tentang luasnya ampunan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Tampak matanya berkaca-kaca tatkala ia tersenyum dan berkata, “Saya tidak ingin meninggalkan kalian, saudara-saudaraku. Dengan izin kalian,  saya mohon, terimalah diriku menjadi saudara kalian!” Dengan hati yang tulus kami menjawab, “Kami menerimamu wahai saudaraku.”

            Beberapa minggu kemudian, Murat mengumpulkan koran-koran yang berisi tentang kecelakaan tragis yang menimpanya. Ia bermaksud untuk memberikannya kepada kami. Akan tetapi, akibat kecelakaan itu, ia sering mengalami kejang-kejang. Pada suatu sore, ia mengalami kejang-kejang yang parah dan Pak Ismail membawanya pulang. Ketika ia sudah siuman, tiba-tiba ia mengucapkan minta maaf lantaran tidak dapat hadir di pengajian bincang santai sebelumnya. Kejadian seperti itu terus berlanjut. Tepat seminggu kemudian, kami dapat informasi bahwa Murat mengalami kejang-kejang lagi dan terjatuh di kamar mandi. Kepalanya terbentur dan terluka. Keluarganya saat itu langsung membawanya ke rumah sakit terdekat. Ketika kami membesuknya, ia tidak mengenal kami sama sekali. Beberapa hari kemudian, Murat, saudara kami yang sangat kami cintai itu menghembuskan napas terakhirnya. Semoga Allah mengampuninya.

            Semua pemuda yang tinggal di Jalan Raya Bagdad, Istanbul, kala itu menangis karena kepergiannya. Mereka semua hadir di acara pemakaman. Ketika pemuda-pemuda itu menyadari siapa kami, tanpa basa-basi mereka mendatangi kami. Salah satu orang dari mereka bercerita,

            “Murat selalu menemui kami setelah bertemu dengan kalian. Ia bercerita telah bersahabat dengan orang-orang yang baik. Oleh karena itu, kami pun sangat ingin bertemu dengan kalian. Murat menasihati kami kalau jalan yang kami tempuh sekarang bukanlah jalan yang baik. Tidak hanya itu, ia menjelaskan bahwa semua yang ada di dunia ini hanya sementara. Dengan ketulusan kalbunya, ia ingin hidup dalam naungan Islam dan mengajak kami ke pengajian bincang santai kalian. Ia ingin sekali memperkenalkan kalian kepada kami, tetapi takdir berkata lain. “

            Allah Yang Maha Kuasa telah meridai Murat dalam waktu sesingkat itu. Setelah proses pemakaman usai, kami mengunjungi keluarganya. Ibu dan saudara perempuannya juga mengatakan hal yang sama. Ia sungguh bahagia bisa bersama kami.

            Saat di pemakaman tampak pula seorang lelaki dengan perban di kepalanya. Ia mendatangi kami dan berkata,

            “Murat adalah teman terbaikku dan saya benar-benar menyayanginya. Ketika saya mendengar kabar kematiannya, saya sangat terkejut dan menabrakan mobil saya ke pembatas jalan saat mengemudi. Itulah mengapa kepala saya diperban. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan ke kalian, saya hanya ingin bertanya, apakah Murat harus mati dulu sehingga kita bisa bertemu satu sama lain seperti ini? Mengapa kalian tidak pernah menemui kami sebelumnya?”

            Diakhirnya, kami mengetahui bahwa Murat adalah seorang pemuda yang sangat dermawan di lingkungannya. Bahkan setelah kematian Ipek, tunangannya, ia menjadi lebih gemar menolong sesama. Sekarang, ia dimakamkan persis di sebelah Ipek – di makam yang ia sudah persiapkan sebelumnya – berlokasi di Tempat Pemakaman Umum Karacaahmet.

Diambil dari kisah dalam:
Refik, Ibrahim, Hadiselerin Ibret Dili, Istanbul: Albatros, 2000, hal. 98