Adanmış Ruhların Hayat Felsefesi, Herkul | 16/06/2013, BAMTELI
Bukanlah kemegahan dunia dan kerajaannya yang akan mengubah arah jalanmu, bukan pula keindahan-keindahan lainnya – Villa di tepi Bhosphorus, rumah-rumah peristirahatan di tempat yang sejuk, harta kekayaan, kesempatan dan keberuntungan, kekuatan dan jabatan – yang mempesonakan. Karena jalan dimana Anda mewakafkan diri Anda ini, adalah jalannya para jiwa yang berdedikasi, jalannya mereka yang tak mengharapkan pamrih dan imbalan.
***
Jadilah kalian matahari, yang mengelus lembut ubun-ubun; tak perlu ada pihak lain yang mengirimkan bantuan hidrogen ataupun helium kepada kalian! Biarlah kalian saja yang terbakar.. Jangan tunggu pujian dari orang lain. Mengalir deraslah kalian seperti jeram; menyebarlah kalian dari satu tempat ke tempat lainnya. Akan tetapi jangan sekali-kali menantikan sesuatu dari orang lain. Jadilah tanah, bukalah dada kalian kepada setiap benih. Rawatlah mereka dalam dada kalian sebagaimana ibu merawat anak-anaknya.. Tetaplah di bawah telapak kaki, jangan pernah sekali-kali berpikir untuk melompat (ke arah kesombongan). Jadilah angin, berhembuslah; meresaplah bersama hembusannya, teresaplah dalam hembusannya. Akan tetapi jangan sekali-kali menantikan pamrih. Jangan harap namamu akan mengharum. Jangan berharap:”mudah-mudahan mereka menghadiri pemakaman saya.” Jangan membayangkan:”mudah-mudahan mereka menshalatkan jenazah saya.” Cukuplah Allah buat kalian!
***
Allah SWT telah memperingatkan kepada kita bahwa menyakiti orang lain dengan cara membiarkan mereka berterima kasih atas bantuan kita dapat menjadi sebab bagi tidak diterimanya sebuah amal salih: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya kepada manusia dan dia tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian (QS Al Baqarah: 264). Ya, semua sedekah harus dilakukan dengan pendekatan ini; amal kebaikan tidak boleh direndahkan dengan riya’, sum’ah, dan membiarkan orang yang kita bantu merasa berhutang budi. Perbuatan mulia itu tidak boleh dikotori dengan pamrih
***
Tanpa pamrih, adalah syiar dari kenabian; untuk menyelamatkan umat manusia, kekhususan dari jalan irsyad (dakwah) ini adalah selalu bangkit dari ‘kematiannya’ tanpa memandang mulia dirinya, senantiasa berusaha, berlari, dan bertahan atas semua kesulitan, akan tetapi tidak mengharapkan bayaran ataupun harga atas semua jerih payahnya ini. Nabi Nuh, Hud, Salih, Luth, dan Syuaib (semoga Allah melimpahkan salawat dan salam atas Nabi Muhammad SAW dan semua Nabi yang telah diutus sebelumnya) senantiasa mengulangi kalimat yang sama:
وَمَا أَسْأَلُكُمْ عَلَيْهِ مِنْ أَجْرٍ إِنْ أَجْرِيَ إِلَّا عَلَى رَبِّ الْعَالَمِينَ
Dan aku sekali-kali tidak meminta upah kepadamu atas ajakan-ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam (QS Syu’ara 26: 109). Allah SWT ketika berfirman kepada Sultannya para Nabi SAW dalam QS Saba 34:47 : Katakanlah: “Upah apa pun yang aku minta kepadamu, maka itu untuk kamu. Upahku hanyalah dari Allah, dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu”. memberikan perhatiannya pada sisi langit nan agung dari tugas kenabian ini.
Sebagaimana terdapat dalam Surat Yasin, ketika diceritakan kisah kepahlawannya Habib an Najjar:
اِتَّبِعُوا مَنْ لاَ يَسْأَلُكُمْ أَجْراً وَهُمْ مُهْتَدُونَ
[36.21] ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu; dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.
Ayat ini sekali lagi memberikan perhatiannya pada sifat para pejuang irsyad (dakwah). Habib an Najjar, ketika menjelaskan tentang dua sifat paling penting dari para pembimbing yang datang kepada kaumnya, menyampaikan bahwa mereka (para pembimbing) tidak meminta balasan sedikit pun dan bahwasanya mereka berjalan di atas jalan kebenaran. Dari sini terjelaskan, bahwasanya tidaklah mungkin seseorang yang tidak memiliki dua sifat ini dapat menunjukkan kepada orang lain jalan menuju hidayah.
***
Orang-orang menyaksikan buku-buku bernyawa. Buku-buku menjelaskan sesuatu kepada orang-orang yang menjadi buku.
***
Al Quran Karim lewat ayat di Surat Yusuf:
قُلْ هٰذِهِ سَبِيلِۤي أَدْعُو إِلَى اللّٰهِ عَلٰى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
[12.108] Katakanlah: “Inilah jalan (agama) ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”.
Ayat tersebut menyatakan bahwa Rasulullah SAW dalam menunaikan tugas irsyad dan tabligh dengan hujjah yang nyata (bashiirah). Demikian juga dengan umatnya, mereka juga berjalan di atas jalannya SAW. Jika demikian, maka ruh-ruh berdedikasi, harus hidup seperti hidupnya sang Pembimbing Kamil, yang menggadaikan baju zirahnya sesaat sebelum ruhnya berpulang kembali ke rahmatullah. Ya, gagasan dari syair: “Varım ol Dost’a verdim hânümânım kalmadı / Cümlesinden el yudum pes dü-cihanım kalmadı” –Adalah dinamika umum dan modal paling besar bagi arsitek-arsitek pembangun dunia yang baru
***
Kredit[1] dari jiwa-jiwa berdedikasi yang melayani iman dan Al Quran adalah istighna (tanpa pamrih), tidak meminta-minta kepada selainNya, tidak mengemis di hadapan masyarakat, hidup tanpa mengharap imbalan, dan dalam setiap hembusan nafasnya senantiasa mendengungkan “Fedakarlik ya Hu – Ya Huwa, pengorbanan…” yang dengannya ia menzikirkan kata “Hu ( Huwa – Dia – Allah).” Teman-teman kalian, jika mereka mampu membuka sekolah di seribu tempat yang berbeda dengan modal materi yang minim, maka rahasia di balik kesuksesan itu hanyalah istighna (tanpa pamrih). Tawajjuh kepada Al Haqq dibalas dengan tawajjuhnya Al Haqq kepada mereka dan walaupun hanya setengah, terdapat juga perwujudan keteladanan dari identitas kemuslimannya.
***
Sayyidina Hasan al Basri yang memiliki kerinduan mendalam terhadap kedalaman sensitivitas beragama dan semangat ber-Islamnya para sahabat radhiyallahu anhum, suatu hari dengan hati pilu membandingkan mereka dengan manusia yang hidup di zamannya dan berkata: “Aku sempat bertemu dengan 70 veteran Badar. Pakaian sebagian besar dari mereka boleh diibaratkan adalah pakaian sederhana yang terbuat dari wol. Kalau saja kalian melihat mereka, mungkin kalian akan mengira mereka adalah orang gila. Seandainya mereka pun melihat perbuatan baik kalian, mereka pasti akan menganggap bahwa kalian sudah kehilangan akhlak. Kalau seandainya mereka melihat perbuatan buruk kalian, mereka pasti akan mengatakan kalau kalian tidak memiliki iman kepada hari akhir.” Ya, tidak mungkin seseorang mencapai kesempurnaan dalam agamanya jikalau mereka tidak jadi gila dan menderita karena agamanya, jika mereka tidak menunjukkan pengorbanan besar sehingga dikatakakan bahwasanya mereka ini “orang gila” dikarenakan menolak dunia dengan membalik kedua tangannya. Mereka yang tidak menjadi gila karena hakikat Islam pun tidak mungkin dapat menyajikan manisnya keabadian kepada umat manusia.
***
Itsar, adalah mendahulukan memenuhi hajat orang lain dibandingkan memenuhi hajat dirinya sendiri, lebih memilih kepentingan saudaranya dibandingan dengan kepentingannya sendiri, memikirkan manfaat orang banyak terlebih dahulu baru manfaat dirinya sendiri, dan daripada kesenangan pribadi, senang jika bisa menyenangkan atau menghidupkan orang lain. Demikian wajibnya ruh-ruh berdedikasi ini untuk ber-istighna dan melakukan pengorbanan, seakan-akan dia sendiri akan berubah menjadi itsar. Mereka tidak hanya merasa cukup dengan pengorbanan materi, untuk sisi maknawi pun, mereka harus dapat mendahulukan orang lain daripada dirinya sendiri. Karena mereka yang sibuk dengan dirinya sendiri tidak akan mungkin dapat melihat kebutuhan orang lain.
***
Kata-kata Bediuzzaman Said Nursi:”Di mataku tak ada kecintaan terhadap surga ataupun ketakutan akan neraka. Asalkan aku dapat melihat masyarakatku selamat imannya aku rela dibakar di dalam api neraka” bagi jiwa-jiwa berdedikasi, adalah sebuah ufuk dan merupakan target dalam mencapai kriteria istigna. Kata-kata ini harus menjadi falsafah hidupnya jiwa-jiwa berdedikasi.
***
Aku sangat heran dengan kenaikan derajat yang seketika dari sosok-sosok seperti Amr ibn Ash, Khalid ibn Walid, dan Abu Sufyan. Misalnya, mereka yang ufuk kemanusiaan dan tanpa pamrihnya menanjak lurus ke atas langit seperti Amr ibn Ash ra, di salah satu waktu ketika beliau akan diberi ghanimah, ia berkata:”Ya Rasulullah, bukan karena ghanimah aku menjadi Muslim.” Demikian juga ketika Rasulullah hendak memberikan bagian dari ghanimah kepada salah seorang sahabat yang kondisi ruhnya mirip dengannya, ia juga menjawab: “Ya Rasulullah! Aku tidak bisa menerima ini. Sesungguhnya aku menjadi muslim agar bisa menjadi syahid dengan tenggorokan yang ditembus panah musuh.” Dan sahabat ini pun kembali ke rahmatullah sebagai syahid, sesuai dengan apa yang diharapkannya.
***
Sayyidina Khalid bin Walid ketika ruhnya akan kembali ke akhirat tidak meninggalkan sesuatu apapun kepada mereka yang ditinggalkannya. Sa’d ibn Zaid berkata:”Sayyidina Khalid hidup sebagai komandan yang dipuji semua orang, beliau pergi sebagai ksatria Islam. Beliau pergi dan meninggalkan kuda, perisai, dan pedangnya saja buat orang-orang yang ditinggalkannya.”
Sayyidina Ikrima, ketika memeluk Islam berkata:”Ya Rasulullah! Tidaklah aku mengeluarkan satu hartapun untuk melawan Islam, melainkan aku juga akan mengeluarkan harta yang sama untuk membela Islam.” Ia pun membayar janjinya di Yarmuk. Akan tetapi di antara janji yang diserahkannya, juga terdapat nyawa. Ia pergi ke Yarmuk bersama istri dan anaknya. Ia terluka parah dan diselamatkan ke dalam tenda. Ketika istrinya menangisi keadaannya, Sayyidina Ikrimah:”Jangan menangis! Aku tidak akan mati sebelum melihat kemenangan!” Kata-kata inipun menjadi salah satu karamahnya. Sesaat kemudian pamannya Harist ibn Hisyam masuk:”Kabar gembira! Allah memberikan kemenangan buat kita!” Mendengar itu Ikrima berkata:”Bangunkan aku, karena Rasulnya Allah masuk” dan melanjutkankata-kata yang ditujukan kepada ruhaninya Rasul SAW :”Ya Rasulullah! Apakah aku sudah memenuhi janjiku padamu? Apakah aku sudah menunaikan sumpahku?”
***
Barangkali mereka yang hidup di dunia dengan itsar, mereka akan tetap berperilaku itsar juga saat akan memasuki surga. Pada kenyataannya, dalam buku-buku hadist, terdapat sebuah peristiwa yang berhubungan dengan kehidupan di akhirat, peristiwa ini menceritakan peristiwa ketika orang-orang kaya bertemu dengan orang-orang berilmu. Orang-orang kaya yang menginfakkan kekayaannya di jalan Allah akan bertemu dengan orang-orang berilmu di pintu surga. Orang-orang yang berilmu berkata kepada orang-orang kaya yang dermawan: “Silahkan masuk terlebih dahulu. Ini adalah hak Anda. Karena, andaikata Anda tidak menginfakkan harta Anda di jalan Allah, andaikata Anda tidak membuka ruang-ruang untuk menuntut ilmu, dan andaikata Anda tidak menyiapkan kesempatan bagi pendidikan, tidak mungkin kami menjadi orang-orang yang berilmu dan tidak mungkin kami menemukan jalan yang lurus (mustakim). Andalah yang telah menjadi wasilah bagi terbukanya ufuk kami dan hadirnya kami di jalan ilmu. Kami berhutang budi kepada Anda. Oleh karena itu, hak untuk masuk lebih awal adalah milik Anda. Silahkan!” Akan tetapi, orang-orang kaya yang dermawan itu berkata:”Justru kami yang berhutang budi. Karena jika tanpa ilmu Anda yang luas itu Anda tidak membuka mata kami, jika Anda tidak membimbing kami dengan baik, jika Anda tidak mengajarkan bagaimana membaca perintah takwini (hukum alam) dan tasyrii (syariah) secara bersama-sama, dan jika Anda tidak menunjukkan kepada kami keindahan dari menginfakkan harta yang didapatkan dengan halal untuk keridhoannya Allah, kami tidak akan mungkin bisa menghabiskan harta kami di jalan yang penuh kebaikan ini. Anda telah menjadi pedoman hidup kami, dan membawa kami ke garis bahwasanya dengan memberi satu sebenarnya kami untung seribu. Oleh karena itu, sebagaimana halnya di dunia, disini pun posisi Anda berada di depan kami. Silahkan, Anda pertama-tama masuk!” Setelah dialog yang manis ini selesai, orang-orang yang berilmu menjadi yang pertama memasuki surga, diikuti si kaya yang dermawan, dan akhirnya mereka pun senantiasa bersama-sama di sana selamanya.
Allah SWT berfirman:
سَبِيلاً قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَى شَاكِلَتِهِ فَرَبُّكُمْ أَعْلَمُ بِمَنْ هُوَ أَهْدَى
[17.84] Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”. Maka Tuhanmu lebih mengetahui siapa yang lebih benar jalannya.