Sarana Mendekatkan Diri Kepada Allah SWT dan Umat Manusia: Kurban[1]
Pertanyaan: Jiwa-jiwa berdedikasi melalui sarana mendekatkan diri kepada Allah SWT, yaitu kurban, telah membangun jembatan simpati, baik di dalam negeri, mulai dari bagian timur hingga barat Turki, maupun ke berbagai wilayah di luar negeri, khususnya negeri-negeri yang amat miskin di belahan benua Afrika. Apa saja ide serta nasihat Anda agar aktivitas penyelenggaraan ibadah kurban yang demikian dapat dikelola lebih baik lagi?
Jawaban: Awalnya segala sesuatu bermula dari hal kecil. Selang beberapa waktu kemudian, tumbuh rasa kepemilikan pada generasi berikutnya. Mereka memberikan pundaknya untuk dipikuli sebagian beban, mengembangkan sistem dan metode baru, serta menghasilkan beragam alternatif lainnya. Demikian juga dengan ibadah kurban. Pada satu periode waktu di negara kita ia hanya dilakukan untuk menunaikan kewajiban[2] individu dimana daging dari hewan kurban yang dipotong hanya dibagikan kepada tetangga kanan-kiri saja. Seiring berjalannya waktu, tidak hanya di dalam negeri, kurban telah menjadi sarana penting untuk mendekatkan hati antar manusia di berbagai penjuru dunia.
Kurban dan Tabiat Itsar[3]
Allah SWT tepat di awal surat kedua berfirman: “…dan menginfakkan sebagian rezeki yang Kami berikan kepada mereka.” (QS Al Baqarah 2:3) mengisyaratkan bahwasanya pemilik hakiki dari segala harta benda adalah Dirinya, sedangkan kita manusia hanyalah pengemban amanah yang dititipi olehNya. Yakni, apa yang kita berikan pada dasarnya merupakan nikmat-nikmat yang dianugerahkan Allah SWT kepada kita. Saat berfirman “Kamilah yang memberi rezeki” Dia mengingatkan kita untuk tidak perlu khawatir kehabisan rezeki. Topik ini dibahas lebih eksplisit pada ayat lainnya:”Sungguh Allah, dialah Pemberi rezeki Yang Mempunyai Kekuatan lagi Sangat Kokoh” (QS adz Dzariyat 51: 58).
Sebenarnya bagi seorang manusia, baik itu zakat, sedekah, ataupun ibadah kurban, terkait bahasan memberikan harta yang dimiliki kepada orang lain, ibadah tadi hanyalah sisi minimum dalam menunaikannya. Maksudnya adalah Dia seolah mengatakan “Jika hal tadi pun kalian tidak menunaikannya, kalau begitu carilah sendiri tempat untuk kalian tinggali!.” Sisi maksimum dari bahasan tersebut ditunjukkan oleh ayat lainnya:”Dan mereka tidak menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka mengutamakan (Muhajirin) atas dirinya sendiri, meskipun mereka juga memerlukan (QS al Hasyr 59:9).” Seseorang yang bergerak dengan semangat ini, waktunya, kelapangan kesempatannya, ilmunya, pengetahuannya, kekayaannya, pikirannya, pendeknya, segala sesuatu yang dianugerahkan Allah SWT kepada dirinya dipersembahkan untuk turut dinikmati oleh seluruh umat manusia hingga tetes terakhir. Istilah populernya, membagikan segala apa yang ada di tangannya kepada orang lain.
Demikian juga di musim kurban, kaum muslimin setidaknya melalui ibadah kurban akan menampilkan jiwa kedermawanannya, menakhlukkan kalbu-kalbu, dan membuat mereka yang tak pernah menikmati daging akan merasakannya melalui daging hewan-hewan kurban yang dipotong di hari itu. Sebagaimana dijelaskan dalam sebuah hadis bahwa Allah SWT akan menjadikan hewan-hewan kurban yang disembelih tersebut sebagai hewan tunggangan di hari dimana mereka akan sangat membutuhkannya.[4] Mereka yang berkurban di hari akhir kelak akan berkata:”Hewan manakah yang akan kutunggangi?” dimana ujaran ini menggambarkan ketakjuban mereka pada besarnya ganjaran dari penunaian ibadah kurban tersebut.
Rasulullah SAW pernah bersabda:”Barangsiapa mampu tetapi tidak menyembelih hewan kurban hendaknya ia tidak mendekati tempat salat kami.”[5] Lewat sabdanya ini beliau berharap agar semua yang memiliki kelapangan untuk memotong hewan kurban. Oleh karena dalam teks hadis tersebut perintah berkurban diikuti oleh ancaman yang amat berat, maka para fukaha Hanabilah mengatakan bahwa lafal hadis menjadi dalil bahwa setidaknya berkurban adalah wajib[6]. Sebagaimana pada zakat terdapat nisab dimana bagi mereka yang memiliki harta telah sampai nisab maka hukumnya membayar zakat bagi mereka adalah fardhu ‘ain, demikian juga bagi mereka yang memiliki kelapangan juga wajib memotong hewan kurban. Oleh karena kurban adalah ibadah yang hukumnya wajib, maka mereka yang memiliki kelapangan juga wajib memotong hewan kurban. Tidak ada orang yang mau masuk ke dalam golongan orang-orang yang dilarang mendekati tempat salat sebagaimana terucap dalam ancaman Baginda Nabi. Kalimat “yang memiliki kelapangan” juga berarti dalam masyarakat juga terdapat orang-orang yang tidak memiliki kelapangan. Dalam keadaan tersebut, mereka yang memiliki kelapangan tidak boleh melupakan hak para fakir miskin yang terdapat di dalam nikmat-nikmat yang dianugerahkan Allah SWT kepada dirinya. Dengan demikian, mereka yang memiliki kelapangan harus mengayomi mereka yang tidak memiliki kelapangan. Orang-orang yang berkurban, dari hewan kurban yang dipotongnya dapat membuat orang-orang yang level ekonominya lebih bawah bisa merasakan kenikmatan daging.
Pembahasan dalam ayat lainnya: “Kamu tidak akan memperoleh kebajikan sebelum kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apapun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh Allah Maha Mengetahui.”[7]memberi kita motivasi untuk berinfak. Jika demikian maka manusia harus memilih hewan paling baik karena nantinya ia akan menjadi tunggangannya di akhirat kelak. Hewan yang bisa digunakan untuk ibadah kurban sendiri sebenarnya memiliki kriteria tertentu seperti tidak boleh buta, cacat, tuli, dan syarat lainnya. Segala sesuatu yang dikerjakan di dunia akan kembali kepada kita manfaatnya sesuai dengan dimensi yang akan diwujudkan oleh alam berikutnya. Oleh karena kita tidak mengetahui alam akhirat serta oleh sebab tidak mungkin bagi kita meletakkan segala sesuatu di alam akhirat ke dalam suatu pola, kita pun tidak bisa mengetahui seperti apa ganjaran yang akan kita dapatkan. Barangkali ia akan tersimulasi di hadapan kita dalam bentuk sebuah pesawat, kapal, sampan, ataupun kuda yang perkasa. Jika kita melihat pembahasannya dari sudut luasnya rahmat Ilahi serta kebenaran dari semua janji-janjiNya, maka dapat kita katakan bahwa segala hal tersebut secara mutlak akan kembali kepada kita.
Berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Aisyah ra, Rasulullah SAW membagikan 2/3 daging dari hewan kurban yang disembelihnya. Agar kebutuhan keluarganya juga terpenuhi, beliau menyisakan 1/3 bagian daging kurban untuk dikirim kepada keluarganya. Demikianlah takaran bagi seseorang yang ingin memanfaatkan daging kurban yang dipotongnya sesuai tuntunan sunah. Akan tetapi, jika dalam satu kepala keluarga dipotong hewan kurban sebanyak jumlah anggota keluarganya maka pembagiannya bisa berbeda. Misalnya salah satu hewan kurban, atau separuhnya, atau sepertiganya dapat dikirimkan ke rumah pengkurban, sedangkan sisanya bisa didistribusikan ke orang lain. Orang yang melakukan pembagian seperti ini di satu sisi tidak meninggalkan anggota keluarganya dalam keadaan melarat, membuat mereka mencicipi daging kurban, serta melunasi hak/hutang mata, di sisi lain lewat kurban kita mengulurkan tangan kepada mereka yang papa, sekaligus membangun jembatan kasih dan sayang antar anggota masyarakat.
Mendarah Dagingnya Tabiat Kepahlawanan
Sebagaimana dijelaskan di awal, pada satu periode di negeri kita[8] semua orang memotong kurban, sebagian daging dikirim ke rumahnya sedangkan sisanya dibagi-bagikan ke tetangga. Akan tetapi, datang suatu hari dimana ibadah kurban tidak hanya dilakukan untuk desa dan kampung kita saja. Ia telah menjadi sarana untuk menjangkau saudara-saudara kita yang membutuhkan di wilayah yang lebih luas. Mereka yang memiliki kelapangan menanggung amanah tersebut. Setelah itu, satu teman tidak hanya mencukupkan dirinya untuk mengeluarkan satu hewan kurban, melainkan dua, tiga, sepuluh, dua puluh, bahkan tiga puluh ekor hewan kurban. Hal tersebut di waktu yang sama merupakan ekspresi bagi berkembangnya tabiat kepahlawanan dan mendarah dagingnya jiwa kedermawanan. Di sisi lain, diumumkannya jumlah hewan kurban dari masing-masing individu membawakan pengaruh berupa tambahan motivasi bagi jiwa-jiwa manusia yang mendengarnya. Dengan demikian, kurban yang diberikan dari negeri kita telah mengayomi kaum fakir miskin di seluruh penjuru dunia. Mereka yang menyaksikan semangat itu kali ini akan berujar:”Ayolah, dengan izin dan inayat Allah SWT mari kita usahakan kegiatan ini untuk jangkauan yang lebih luas lagi!”. Dan pelayanan kurban yang dimulai dengan benih kecil kini telah membentuk lingkaran raksasa. Jiwa-jiwa yang rela berkorban ini tidak menyisakan satu pun negeri dengan kemiskinan serius tidak dijangkau di mana sebagian besarnya terdapat di negeri-negeri di Benua Afrika. Demikian seriusnya kemiskinan di sana, masyarakatnya barangkali juga tidak bisa menemukan daging untuk dimakan walau hanya setahun sekali. Begitulah rekan-rekan berjiwa itsar mulai menegakkan komitmennya dan menjangkau negeri-negeri tersebut dengan ibadah kurban mereka.
Tentu saja tidak hanya Afrika, rekan-rekan kita yang rela berkorban juga memotong hewan kurban serta membagikan dagingnya kepada masyarakat dimanapun mereka berada. Pengabdian kemanusiaan yang demikian terlihat menarik bagi masyarakat setempat yang memiliki latar belakang budaya dan pemikiran berbeda. Daging kurban yang Anda hantarkan baik yang sudah dimasak ataupun masih segar merupakan panorama indah yang baru pertama kali mereka saksikan. Tidak ada budaya demikian dalam kultur mereka. Ya, di daerah dimana jamuan berupa segelas teh tidak akan disuguhkan tanpa adanya barang jaminan dominan, apa yang rekan kalian lakukan adalah suara dan nafas baru bagi mereka. Lewat sarana tersebut, masyarakat itu menyadari nilai-nilai indah yang terdapat pada diri kalian, menyadari kedermawanan Islam, kemurahan hati saudara-saudara muslim, semangat itsar, serta menyaksikan peristiwa memberi makan orang lain walaupun dirinya sendiri belum makan. Pada akhirnya, mereka pun mulai mencintai dan memiliki ikatan hati kepada pondasi yang menjadi dasar gerak dan semangat kalian. Menurut pendapat saya, di dunia yang tengah mengalami globalisasi dewasa ini, kegiatan-kegiatan semacam ini adalah sarana penting bagi terbangunnya jembatan cinta dan dialog antara kultur yang berbeda. Kegiatan yang diselenggarakan di jalan tersebut telah meraih posisi tertentu. Oleh karena mencukupkan diri dengan apa yang sudah dikerjakan merupakan bagian dari kemalasan[9], maka kita harus bergerak sambil selalu menaikkan target di setiap program yang diselenggarakan di masa mendatang.
Penjelasan lain dari point tersebut adalah: Setiap tahun, Anda harus membuat program tersebut selalu menarik dengan jalan memainkan format acara serta menambahkan warna dan pola baru di dalamnya. Misalnya, selain membagikan daging, Anda juga bisa membuka posko pengumpulan pakaian layak pakai dimana orang-orang dapat menyumbangkan pakaian ataupun barang layak pakai yang sudah tidak digunakan lagi. Selain paket kurban yang sudah disiapkan, barang-barang tersebut setelah disortir dapat juga Anda bagikan kepada kaum fakir dan miskin penerima paket kurban. Karena di tempat Anda pergi berkurban, masyarakatnya tidak memiliki pakaian yang layak untuk dikenakan. Anda dapat menyaksikan di satu sisi terdapat gedung-gedung raksasa pencakar langit, tetapi di sisi lain terdapat orang-orang yang kondisinya lebih buruk dari mereka yang tinggal di pinggiran kota. Apalagi di Afrika, demikian buruknya kondisinya, bantuan sederhana pun menjadi sebuah sumbangsih yang amat berarti bagi mereka. Untuk itu, dengan menambah warna dan kedalaman makna di setiap kegiatan atau program yang diselenggarakan, kita harus berusaha mengukir senyum di wajah masyarakat setempat. Apalagi senyuman di wajah mereka akan menjadi sarana bagi terukirnya senyum di wajah kita juga.
Bagaimana Allah SWT memberikan inayatNya serta pintu kebaikan apalagi yang akan dibukaNya di depan kita, kita tak bisa mengetahuinya. Oleh sebab itu, dalam beragam kesempatan kita harus memainkan format acaranya, memberinya variasi dan tambahan yang bakal menarik perhatian, serta harus membangun dan membangkitkan kalbu-kalbu setiap anggota masyarakat yang kita temui. Apa yang akan dikehendaki Allah SWT setelah kita maksimal dalam berikhtiar adalah hak prerogratifNya. Meminjam istilah yang digunakan Ustaz Said Nursi:”Kita kerjakan apa yang menjadi tugas kita, tidak usah mencampuri wilayah rububiyah Ilahi.”[10]
Kejutan-Kejutan yang Datang Bersama Kurban
Sebenarnya di dalam semua ketaatan ibadah, ungkapan lisan seperti: “Ya Allah, saya mengerjakan ibadah ini semata-mata hanya untukMu” serta ketulusan mengucapkannya dari hati yang paling dalam haruslah menjadi asas. Setiap insan harus mengantarkan hidupnya pada pemikiran ini dan menguncinya erat-erat. Dari sisi ini, ketika menunaikan ibadah kurban kita harus menggenggam niat kita dengan kokoh seperti yang diharapkan dari kasdul kalb[11]. Kita harus bisa mengatakan kalimat berikut dengan tulus:”Ya Alah, Engkau memerintahkanku untuk memotong hewan kurban, aku pun memenuhi perintahmu. Andaikan Engkau memerintahkanku untuk memotong leherku sendiri, aku pun dengan senang hati melaksanakannya. Jika untuk mempertahankan agamaku, harga diri dan martabatku, jiwaku, hartaku, serta negaraku diperlukan dibentuknya front pertahanan, aku pun siap melaksanakannya.” Seseorang ketika menyerahkan hartanya yang juga merupakan bagian dari jiwanya, di waktu yang sama ia juga harus mengingat hal apa lagi yang bisa diberinya sambil menunjukkan sikap bahwasanya dia siap untuk melaksanakan perintah berikutnya. Dengan demikian, ketika Al Qur’an menjelaskan keadaan Nabi Ibrahim dan Nabi Ismail a.s.:”Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, (nyatalah kesabaran keduanya)[12], mengisyaratkan rahasia ubudiyah dan pemahaman keduanya akan kehalusan yang terdapat dalam ketaatan kepada perintah Ilahi sehingga mereka pun mengambil sikap yang paling cocok dengannya.
Jika seseorang sedari awal mengikatkan ibadah kurbannya kepada niat yang kokoh seperti itu, maka segala yang dia lakukan untuk mewujudkan ibadah kurbannya akan bernilai ibadah, amal-amal lain yang dikerjakan di jalan kebaikan tersebut pun akan kembali kepada pelakunya sebagai pahala layaknya amalan-amalan salih dan kebajikan. Jadi aktivitas seperti pergi ke pasar hewan untuk membeli hewan kurban, mengikatkannya di kandang sementara, menaikkannya ke truk untuk dibawa ke rumah potong hewan, menjaga dan merawatnya hingga hari pemotongan tiba, memberinya makan dan minum, membagikan daging kepada yang membutuhkan setelah hewan kurban selesai dipotong, dan pekerjaan lain yang dikerjakan ketika menunaikan ibadah kurban akan dicatat dalam kitab amal Anda. Di sisi lain hal-hal seperti sentuhan pisau ke leher hewan kurban, hentakan kaki hewan kurban ketika disembelih, dan mengalirnya darah hewan ke tanah; meski rasa sayang dan kasihan menyelimuti tetapi kehalusan yang terdapat dalam amal yang berdasar pada ketaatan Ilahi juga akan ditulis dalam buku kebaikan sebagai tambahan pahala.
Segala amal kebaikan yang dilakukan di sini bisa saja Anda memandangnya sebagai hal yang kecil dan remeh. Akan tetapi, di alam lainnya saat ia ditunjukkan kepada Anda, dengan penuh takjub dan heran Anda akan berkata:”Ya Allah, betapa Pemurahnya Engkau. Amal-amal remeh seperti itu Engkau terima, Engkau agungkan, Engkau perluaskan, Engkau tambahkan, Engkau abadikan, dan kini Engkau tunjukkan kepada kami!” Maka dari sisi ini, seseorang harus mengerjakan ibadah kurbannya dengan penuh kekayaan jiwa dan keyakinan hati. Ayat berikut mengisyaratkan penjelasan tersebut:
“Daging-daging dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya.”[13]
Ya, jika seeorang menunaikan ibadah ini dengan mengaitkan hatinya dengan pemikiran untuk menghamba kepada Allah SWT, untuk menyambung hubungan serta keterkaitan dengan Allah SWT, maka mereka akan disambut oleh beraneka ragam kejutan dan kekayaan yang amat istimewa di dunia berikutnya.
[1] Diterjemahkan dari artikel berjudul Hakk’a ve Insanlara Yakinlasmanin Vesilesi: Kurban, dari Buku Kirik Testi 12: Yenilenme Cehdi
[2] Di mazhab hanafi berkurban hukumnya wajib bagi yang mampu
[3] Mendahulukan kebutuhan orang lain walaupun dirinya sendiri juga membutuhkannya
[4] “Perbaguslah hewan kurban kalian karena dia akan menjadi tunggangan kalian melewati sirat” (HR Dailami dalam Musnad al Firdaus:268)
[5] HR Ibnu Majah; Ahmad bin Hambal al Musnad 2/321
[6] Dalam mazhab hanafi ada hukum wajib yang berbeda dengan hukum fardhu ‘ain.
[7] QS Al Imran 3: 92
[8] Negeri sang penulis, yaitu Turki
[9] Al Maktubat, Benih-Benih Hakikat, Benih ke-95
[10] Cahaya ke-17, catatan ke-13, Masalah Pertama
[11] Kasdul kalb tidak hanya melewatkan sesuatu melalui akal dan kalbu smeata, melainkan seseorang bertekad sangat kuat untuk mewujudkan apa yang diniatkannya menjadi suatu amal nyata.
[12] QS As Saffat 37:103
[13] QS al Hajj 22:37