aaron-burden-xtIYGB0KEqc-unsplash

KEIKHLASAN: RUH DARI SEGALA AMAL PERBUATAN

Pertanyaan: Dalam salah satu hadis Nabi Shalallahu Alaihi Wassalam yang mulia, bersabda:

أَخْلِصُوا أَعْمَالَكُمْ لِلهِ فَإِنَّ اللهَ لَا يَقْبَلُ مِنَ الْعَمَلِ إِلَّا مَا خَلَصَ لَهُ

“Ikhlaslah dalam semua amal perbuatan kalian, sesungguhnya Allahﷻ tidak menerima amal, kecuali amal yang ikhlas.”[1]

Bagaimana kita dapat mencapai kebaikan ini yang telah disampaikan Rasul Shalallahu Alaihi Wassalam, dan menjadi tersadar dan fokus akan “hanya mengharap rida-Nya dalam segala amal kita?”

Jawab: Seorang yang benar-benar beriman yang cinta kepada Allahﷻ, harus mengharap rida-Nya dalam segala perilaku dan perbuatannya; dia tidak seharusnya melihat kepada sosok dirinya sendiri, bahkan hanya untuk sekejap; dia tidak seharusnya berucap “Aku berbicara, Aku melakukan, Aku berhasil…” dan dia tidak mengungkit-ungkit amal baik termasuk dari ingatannya. Terutama ketika dia sedang mengajak orang lain dalam kebenaran, seorang mukmin hendaknya tidak pernah berusaha untuk memamerkan dirinya. Dimana saja ketika ia sedang berbicara atas nama kebenaran, perkataannya harus memantulkan suara yang ada di dalam kalbunya. Saat ia berhasil pada tujuannya, tidak pernah terbesit sekecil apapun dalam pikirannya keberhasilan ini adalah hasil jerih payahnya.

LISAN YANG TIDAK BERJIWA, OLEH KARENA BERTENTANGAN DENGAN KALBUNYA

Sebuah kesadaran seperti yang disebutkan di atas tentu saja adalah sesuatu yang tidak bisa diraih hanya dalam sekejap mata. Seseorang harus secara terus menerus menghilangkan ego dirinya dan mencapai derajat berkata, “Apakah diriku benar-benar ada,” dan pada akhirnya mencapai sebuah tingkatan melupakan dirinya. Jika tidak, maka pengaruh dari perbuatan baiknya hanya akan terbatas pada lingkup yang kecil, dan tidak akan berbuah manis. Meskipun pada awalnya nampak hasilnya, sifatnya hanya sementara dan manfaatnya tidak akan berjangka panjang.

Tidak mencapai sepersepuluh dari zikir-zikir pada masjid-masjid saat ini –misalnya membaca surat Ikhlas tiga kali sebelum salat– ada pada zaman Rasul Shalallahu Alaihi Wassalam. Di negeri-negeri muslim hari ini, adzan berkumandang dari menara-menara bergema ke seluruh penjuru daratan. Penceramah silih berganti bertugas di masjid-masjid maupun pada acara di TV; mereka berceramah non-stop. Akan tetapi, ceramah dan ayat-ayat yang dibacakan tidak menyentuh kalbu masyarakat; tidak membekas di hati mereka. Masyarakat tidak dibawa ke jalan mengenal Allahﷻ tidak seperti pada zamannya Rasul yang penuh berkah, oleh karena kata-kata yang keluar dari lisannya bertentangan dengan kalbunya. Jika seseorang hanya sekedar memperlihatkan kehebatannya, bahkan ketika sedang mengucapkan اَللهُ أَكْبَرُ “Allahu Akbar,” dan berusaha menarik perhatian dengan suara dan nada yang ia buat, dan berbicara tentang Allahﷻ dan Rasul Shalallahu Alaihi Wassalam untuk memperlihatkan betapa hebatnya dia dalam berbicara, maka dia hanyalah seorang yang secara diam-diam berdusta.

KEDALAMAN IMAN

Situasi yang dijelaskan di atas adalah sebuah hal besar bagi orang-orang yang telah menaruh kalbunya dalam keimanan. Jika mereka selama ini selalu menganggap kecil hal ini dan tidak berdiri di tengah-tengah topik ini, maka apa yang mereka harus lakukan pertama kali adalah melihat ke dalam jiwanya dan memperbaikinya sebagai syarat untuk memperdalam keimanannya. Sebenarnya, para sahabat pada zaman dahulu melakukan tabiat dan pemahaman ini. Ketika mereka bertemu satu sama lain, mereka akan berkata, سَاعَةً تَعَالَ نُؤْمِنْ “Marilah kita bersama dalam iman kepada Allahﷻ untuk satu jam ke depan.[2] Dengan kata lain, “Iman telah menyelamatkan kita sejauh ini. Tetapi kita tidak tahu apakah kita masih beriman esok hari. Oleh karena itu, marilah kita periksa iman kita sekali lagi.” Jika anda perhatikan, para sahabat tidak berkata “Marilah kita perbarui iman kita,” tetapi “Marilah kita bersama dalam iman kepada Allahﷻ untuk satu jam ke depan.” Maka hal ini bermakna, seperti yang telah Rasul Shalallahu Alaihi Wassalam sampaikan kepada Abu Dharr al-Ghifari, جَدِّدِ السَّفِينَةَ فَإِنَّ الْبَحْرَ عَمِيقٌ “Rawat dan perbaiki kapalmu sekali lagi karena lautan semakin dalam,[3] berlayar ke lautan yang baru setiap hari.

Selayaknya seorang pemuda yang hendak bepergian jauh akan memeriksa semua bagian mobilnya dari mesin hingga roda, seseorang harus serupa dalam memperbaiki aspek-aspek dirinya yang membutuhkan pemulihan sebagai syarat tanggung jawab dan kewajiban kepada Allahﷻ. Dengan sebuah fokus yang baru, seseorang harus memperbaiki imannya sekali lagi. Seorang yang akan berlayar di lautan hidup ini, yang sangat dalam, dapat tenggelam kapan saja. Apa yang telah menunggu kita di depan adalah sebuah perjalanan panjang yang bermula di alam kubur dan akan berakhir di Surga atau Neraka. Oleh karena itu, seseorang harus mempersiapkan dengan baik sebelum melangkah di perjalanan yang berat ini.

Kemudian, Rasul Shalallahu Alaihi Wassalam bersada: وَخُذِ الزَّادَ كَامِلاً فَإِنَّ السَّفَرَ بَعِيد “Persiapkan bekalmu dengan matang, untuk perjalanan yang sangat panjang ini.” Perbekalan yang seseorang siapkan harus lebih dari cukup agar bisa melewati Jembatan Sirat dan masuk Surga. Jembatan Sirat bukanlah seperti jembatan-jembatan di dunia kita sekarang. Tidak mudah untuk melewatinya. Berdasar yang Rasul Shalallahu Alaihi Wassalam sampaikan dalam pembahasan ini, Jembatan Sirat akan terasa panjang seperti hidup kita di dunia. Seseorang akan bisa masuk surga setelah berhasil melewati tantangan ini.

Sebagai tambahan untuk mendapat bekal yang akan ia butuhkan selama perjalanan ini, seseorang harus selalu menjauhkan diri dari segala larangan dan dosa karena akan menjadi balasan dan siksaan untuk dirinya. Rasulullah menyampaikan hal ini dengan bersabda, وَخَفِّفِ الْحِمْلَ فَإِنَّ الْعَقَبَةَ كَئُودٌ “Ringankanlah bebanmu, untuk tanjakan yang akan sangat terjal.” Seseorang harus berusaha ketika ia masuk kubur, melewati masa-masa di alam barzah, dan berdiri di Hari Pengadilan dengan amat banyak catatan buruk yang harus dipertanggung jawabkan, dan menghindari tercabik oleh besi tajam di Jembatan Sirat.

Sebagai bagian terahir dalam nasihatnya kali ini, Rasulullah Shalallahu Alaihi Wassalam:

 وَأَخْلِصِ الْعَمَلَ فَإِنَّ النَّاقِدَ بَصِيرٌ

“Ikhlaslah dalam segala perbuatanmu dan hanya berharap ridhonya; kepada Allahﷻ, yang amat teliti perhitungan-Nya, mengawasi segala perbuatanmu.” Bediuzaaman menyampaikan hal ini di “Cahaya Ketiga” sebagaimana berikut: “Segala hal yang kalian perbuat seharusnya untuk Allahﷻ, bertemu orang lain untuk Allahﷻ, dan bekerja demi Allahﷻ. Bertindak dalam lingkup, ‘untuk Allahﷻ, demi Allahﷻ, dan karena Allahﷻ”[4] Allahﷻ yang Maha Kuasa dengan cermat menilai perbuatanmu dan mengambil catatan amal baik dan burukmu; Dia mengawasimu setiap saat, dia mengawasi segala sesuatu, dan dia mengetahui segala yang tersembunyi.

TERUS MENERUS MENGKRITISI DIRI

Kehidupan dunia ini harus dipahami dengan batasan-batasannya. Dalam masalah ini tidak ada ruang untuk kelalaian, keacuhan, melupakan atau sikap masa bodoh. Salah satu tokoh saleh, Aswad ibn Yazid an-Nakhai, menekankan, اَلْأَمْرُ جِدٌّ، اَلْأَمْرُ جِدٌّ “Permasalahan ini tidak seperti yang kamu bayangkan; hal ini sangat serius![5] Alias, permasalahan ini bukan sesuatu yang sederhana dan biasa untuk dihadapi dengan remeh dan sembrono. Ini adalah tentang keselamatan dari siksa abadi. Oleh karena itu, seseorang harus mengevaluasi shalatnya, puasa dan semua ibadah dengan kesadaran ini, dan harus terus menerus mengkitisi dirinya.

Dalam hal ini, ketika menjelaskan sebuah topik tertentu, doa dari penceramah, misalnya, “Semoga Allah yang Maha Kuasa menjadikan kita berbicara benar, menyampaikan dengan efektif; semoga Dia memberikan kekuatan di kata-kata kita dan membuatnya diterima di kalbu-kalbu mereka,” hanyalah salah satu aspek pada permasalahan ini. Aspek lainnya adalah membebaskan diri dari egoisme dan menggantinya dengan keikhlasan. Seseorang harus berdoa,“Ya Ilahi, jadikanlah semua perkataanku terucap dalam ketaatan untuk mencapai rida-Mu.” Dengan kata lain, sebagaimana Al Qur’an ajarkan melalui permohonan Nabi Musa a.s.: “Berkata Musa:

رَبِّ اشْرَحْ لِي صَدْرِي وَيَسِّرْ لِي أَمْرِي وَاحْلُلْ عُقْدَةً مِنْ لِسَانِي يَفْقَهُوا قَوْلِي

Ya Tuhanku, lapangkalah untukku dadaku, dan mudahkanlah untukku urusanku, dan lepaskanlah kekakuan dari lidahku, supaya mereka mengerti perkataanku.” (QS. Thaha ayat 25-28)

Kita harus menirunya dalam doa kita sehari-hari. Selain itu, kita hendaknya juga tidak mengabaikan mengucapkan, مَعَ رِضَاكَ يَا رَبِّ “Ya Tuhanku, bawalah kami ke dalam rida-Mu.”

MONUMEN IKHLAS

Untuk mengurai lebih jelas, seseorang harus senantiasa berdoa, “Tajamkan lisanku dengan rida-Mu, berikan karunia padanya dengan izin-Mu. Jadikanlah lisanku mendapat kedalaman yang tak berhingga dengan karunia-Mu, keagungan-Mu, dan kasih-Mu. Jika tidak, aku hanyalah fana, segala hal akan berakhir ketika hamba masuk ke alam baka. Jika Engkau tidak hadir dalam apa yang aku lakukan dan kerjakan, maka hampa tidak mengandung apapun.” Seseorang harus dengan sungguh-sungguh mengucapkan doa ini 50-100 kali per hari.

Almarhum Nurettin Topcu berkata bahwa mereka yang sedang memamerkan dirinya ketika sedang membacakan ayat-ayat suci adalah “Aktor kerongkongan,” dimana dia sangat tegas terhadap keikhlasan dan istiqomah untuk menekankan pentingnya ikhlas.

Sikap yang mengagumkan diambil Bediuzzaman pada permasalahan ini patut mendapat penghormatan. Dia tidak berharap untuk mendapatkan suatu apapun tanpa keikhlasan; dia menghempaskan segala apapun yang tidak datang dari dasar hatinya, dan menginjaknya. Pada masa kita ada sebuah kebutuhan atas lusinan monumen ikhlas, yang akan merubah wajah dunia. Meskipun mereka yang melaksanakan tugasnya demi mendapatkan keuntungan duniawi, apresiasi dan pujian mungkin berhasil secara sementara, mereka yang demikian tidak pernah berhasil secara abadi, dan mereka tidak akan pernah mampu melakukannya.

Umayyah, Abbasiyah, Khwarezmia, Ayyubiyyah, Seljuk, dan Usmani yang muncul setelah era Kebanggaan Umat Manusia dan era Khulafaur Rasyidin, telah memenuhi pengabdiannya kepada Islam. Khususnya pada masa tertentu, mereka berbakti sebagai tamsil (contoh) Masa Kebahagiaan, dan kemudian mereka meninggalkan dunia ini dengan terhormat. Hanya saja, mereka tidak pernah mencapai kesuksesan era Khulafaur Rasyidin. Penyebab yang harus digarisbawahi adalah khalifah yang diberkati tersebut menjalankan keikhlasan dari hati yang terdalam. Apa yang dibutuhkan umat manusia hari ini bukanlah penampakan luar, formalitas, kerakyatan, apresiasi, tepuk tangan atau tuntutan yang besar, akan tetapi perwujudan praktik ke-Islaman yang sebenar-benarnya dan tanda-tandanya nampak di kepribadian setiap muslim.

[1] Bkz.: ed-Dârakutnî, es-Sünen 1/51; el-Beyhakî, Şuabü’l-îmân 5/33

[2] Ahmed İbn Hanbel, el-Müsned 3/265; İbn Hacer, el-İsâbe 4/83

[3] ed-Deylemî, el-Müsned 5/339

[4] Bediüzzaman, Lem’alar s.21 (Üçüncü Lem’a, Üçüncü Nükte)

[5] Ebû Nuaym, Hilyetü’l-evliyâ 2/104

mengembangkandiri.com_fresh-white-tulips-on-pink-background-symbol-of-p-2022-03-18-00-27-24-utc

Sarana Meraih Keikhlasan dan Keistikamahan

Sarana Meraih Keikhlasan dan Keistikamahan di Masa Kemunafikan dan Keegoisan[1]

Al-Qur’an menyebutkan bahwa tempat kaum munafik adalah di lapisan neraka paling bawah, bahkan lebih rendah daripada orang-orang kafir sekalipun. Ini karena mereka bermuka dua: mengaku muslim, tetapi perbuatannya justru menguntungkan orang kafir. Mereka bahkan menggunakan nilai-nilai suci agama sebagai argumen demi meraih keuntungan pribadi. Karenanya, kemunafikan lebih berbahaya dari kekafiran. Tugas kita di masa ini adalah menjauhi kemunafikan dan waspada kepada orang-orang munafik. Mereka bisa muncul kapan dan di mana saja.

Saya rasa, orang munafik lebih berkembang di tempat di mana pemikiran islami menjadi mayoritas. Hal ini karena ketika yang sedang jaya dan berkuasa adalah orang-orang yang kufur dan ingkar, mereka—orang-orang munafik—dapat melakukan kekufuran secara terang-terangan. Misalnya, Abu Jahal, Utbah, Syaibah, Uqbah bin Abi Mu’aith, dan Walid tidak merasa perlu melakukan kemunafikan. Karena berkuasa dan kuat, maka mereka mampu melakukan segala yang diinginkannya. Misalnya, mereka berkuasa untuk merantai orang yang menentangnya. Namun, di Madinah, saat kaum muslimin berkuasa, kemunafikan mulai berkembang. Sebelum Madinah diubah Sang Nabi menjadi pusat peradaban, mereka punya harapan untuk berkuasa. Harapan mereka hanyalah bagaimana bisa berkuasa dan mengekalkannya. Saat mahkota menemukan pemilik sejatinya, yaitu Rasulullah, mereka sama sekali tak rela dengan kenyataan itu. Kriteria ini berlaku di setiap waktu. Sebagian menanti pamrih agar seisi dunia memuja mereka, baik pujian dari dunia Islam maupun dari dunia non-Islam. Namun, sebagaimana dikatakan Ustaz Badiuzzaman: “Masa ini adalah Masa Keegoisan”. Sebagai konsekuensinya, masa ini pun masa kemunafikan. Orang-orang munafik akan menunaikan misinya, di tempat di mana pemikiran dan praktik Islam sedang menjadi mayoritas dan sedang bergelora dilakukan. Maksudnya, saat praktik islami menjadi tren, di saat manusia mudah mengikuti arusnya, di sanalah benih kemunafikan tumbuh dan berkembang pesat. Itu karena kondisinya mendukung. Orang munafik ini memanfaatkan argumen agama sehingga kaum muslimin pun sering tertipu. Untuk itu, Ustaz berkata: “Kita adalah seorang muslim, mungkin saja tertipu. Namun, kita tidak sekali-kali menipu”.

Menurutku, walau kita puluhan kali ditipu, kita tetap harus berhusnuzan sambil terus waspada. Kita tetap harus berhusnuzan kepada mereka yang sudah menipu kita. Namun, kita tetap harus waspada agar tak ditusuk dari belakang. Nasihat dari Badiuzzaman: “Berhusnuzan dan tetaplah waspada…”

Di satu sisi: “Kita ini muslim yang mungkin saja tertipu, tetapi kita tidak sekali-kali menipu”. Mengapa? Karena kita membuat kesimpulan dari apa yang terlihat secara lahiriah saja. Kita hanya bisa menilai dari apa yang dikatakan oleh lisannya saja, kita tak mampu membelah dada dan membaca isi hatinya. Rasulullah lah yang mengatakannya. Kepada siapa? Putra Zaid, Usamah, anak yang amat dicintainya[2]. Sosok yang sangat agung, Sayyidina Usamah saat itu berhasil memojokkan musuh. Saat terdesak, si musuh pun bersyahadat. Beliau radhiyallahu anhu berijtihad: “Kita berada di dalam perang. Ia adalah musuh. Ia bersyahadat karena terdesak belaka”. Beliau radhiyallahu anhu pun membunuhnya. Saat kabar ini didengar Nabi, Beliau bertanya: “Mengapa kamu membunuhnya?” Usamah: “Dia bersyahadat karena terdesak” Nabi bersabda: “Apa kamu telah membelah dan membaca dadanya?!”

Perhatikanlah! Kriteria ini selalu berlaku bagi kita. Jika dari lisannya masih keluar kata: “Allah, Rasulullah, Islam”. Anda tak bisa berkata: “Saya tidak percaya”. Karena mereka, yaitu Nabi dan penduduk langit berkata: “Apa kamu sudah membelah dan membaca isi dadanya”. “Bagaimana jika ia bersyahadat dengan tulus?” Inilah husnuzan. Namun, jika terdapat keraguan atas pernyataannya, setelah berhusnuzan, lakukanlah adam-i itimad (waspada). Janganlah Anda lalai memberikan suatu amanah penting kepada seseorang yang belum teruji. Punggung Anda dapat tertusuk belati. Jangan sekali-kali Anda lalai, karena punggung Anda dapat tertusuk belati.

Dikatakan juga: “Di hatimu harus selalu tersedia kursi di mana semua tipe orang dapat duduk di sana”. Mengenal, menganalisa, dan mengelola orang-orang munafik amatlah sulit. Jika Anda tak bisa tepat menganalisanya, Anda tak boleh membuat kesimpulan instan. Pertama, analisis harus dilakukan sebelum amanah nantinya diberikan. Anda pasti menemui kesulitan dalam prosesnya. Kadang Anda melihatnya menyungkurkan wajah dengan mata sembab di Multazam, atau melihatnya mengusap wajah ke Hajar Aswad dan berkata: “Biar aku jadi tebusanmu!”. Namun hatinya lebih kotor dari hati Abu Jahal, Utbah, dan Syaibah. Tak peduli di depan Ka’bah, mereka menanti suitan dan tepuk tangan pujian kepada mereka. Pujian seperti: “Jayalah! Engkau tak memiliki tandingan! Biar aku jadi tebusanmu!” Ketika orang-orang memujinya, ia pun membesar seperti kalkun.

Kembali ke pembahasan, zaman ini zaman kemunafikan dan keegoisan. Manusia ibarat setetes air, tetapi ia melihat dirinya seakan samudra. Mereka mulai suka terlihat seperti matahari, padahal kita hanyalah zarah, sehingga pamrihnya pun amat besar. Misal mereka berkata: “Kalau kita lewat, kita harus disambut tepuk tangan”. “Dalam posisi berdiri takzim, seperti posisi saat salat di hadapan Allah”. Nauzubillah! Sebentar lagi mungkin mereka mengaku sebagai Tuhan! Firaun mengaku sebagai tuhan secara terang-terangan karena dia lebih jentelmen dibanding mereka. Karena Firaun menunjukkan kebiadabannya terang-terangan, demikian juga dengan Qarun dan Haman, maka Nabi Musa dan Harun pun mengetahuinya. Sedangkan mereka, orang-orang di masa ini berkata, “minal kalalisy“. Ini adalah istilah translasi campuran dari bahasa Turki ke bahasa Arab. Anda bisa menanyakan makna “kalalisy[3] pada mereka yang tahu bahasa Arab. Karena itu mereka selalu menipu dan menempatkan orang lain di posisi hulubalang. Ia memandang semua masyarakat berada di kasta paria. “Kamu dibanding aku hanyalah makhluk yang levelnya 10 tingkat di bawahku.” Lalu jika ada orang yang berkata kepadanya: “Menyentuhmu adalah bagian dari ibadah”. Maka ia menjawab: “Terima kasih, Kamu sangat tahu cara mengapresiasi saya!”

Jika dikatakan: “Ia memiliki semua sifat Allah”. Ia menjawab lagi: “Kamu sangat tahu cara mengapresiasiku!” Tidak ada yang berani mengatakan, “sungguh itu merupakan ucapan yang bisa mengantarkan pada kekafiran mereka yang mengatakannya”. Namun, mereka dengan mudah mengafirkan dan menyesatkan para sukarelawan Hizmet yang menyebar ke seluruh dunia demi rida Allah, demi berkibarnya bendera agama dan bangsa, serta demi dikenalnya nama agung Baginda Nabi Muhammad Saw.

Ketika mengafirkan, isyarat mereka tidak mengarah kepada perseorangan seperti Ustaz Osman Simsek, Ustaz Ergun Capan, Ustaz Rasyid Haylamaz. Namun, yang dikatakan adalah: “Saya meragukan keimanan mereka!”. Mereka meragukan iman para sukarelawan yang mengibarkan bendera Sang Nabi di seluruh dunia. Namun, mereka tak meragukan iman orang yang mengatai Al-Qur’an, tak meragukan iman orang yang bilang “menyentuhnya adalah ibadah”. Saya rasa dengan contoh ini Anda dapat memahami ciri orang munafik. Anda akan memahaminya. Walau nanti akan tertipu lagi, suatu saat Anda akan selamat dari tipuannya.

Apapun yang terjadi, ingatlah ayat Al Quran surat An-Nisa 4:45:

وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَلِيًّا وَكَفَىٰ بِاللَّهِ نَصِيرًا

“Dan cukuplah Allah menjadi Pelindung (bagimu).

Dan cukuplah Allah menjadi Penolong (bagimu)”

Abu Hasan as Syazili menjadikannya bagian dari wiridnya dengan mengulangnya 10 kali. Aku tak tahu apa hikmahnya. Setelah membaca: يَا غَارَةَ اللهِ، حُثِّي السَّيْرَ مُسْرِعَةً “Ya Allah, kumohon segera turunkan pertolongan-Mu!”. Lalu beliau membaca: وَكَفَىٰ بِاللَّهِ وَلِيًّا وَكَفَىٰ بِاللَّهِ نَصِيرًا

Beliau mengulangnya sebanyak 10 kali. Cukuplah Allah sebagai Wakil dan Penolong kalian…! Serahkan pada Allah, rangkul pertolongan Allah, dan taatilah hikmah-Nya. “Jika ada jalan keluar, pastilah ini, aku tak tahu jalan keluar lainnya.” Inilah nasihat dari Mehmet Akif, penyair abad ini yang memiliki jiwa dan cara pandang yang luas.

[1] Sebagian terjemahan dari:

http://fgulen.com/tr/ses-ve-video-tr/bamteli/nifak-ve-enaniyet-caginda-ihlas-ve-istikamet-vesileleri dan teks ceramah dari video https://www.youtube.com/watch?v=-oUqFf_gwQU&t=112s

[2] Demikian cintanya Rasulullah kepada Usamah dan ayahnya sangat menginspirasi Sayyidina Umar. Pada Masa kekhalifahannya, Sayyidina Umar memberikan gaji kepada Sayyidina Usamah lebih tinggi dibanding siapapun, termasuk kepada anaknya. Hingga akhirnya, anaknya yaitu Abdullah bin Umar bertanya kepada Amirul Mukminin karena penasaran. Abdullah berkata kepada ayahnya: “Wahai ayahku, Engkau memberikan gaji kepada Usamah 4000 sedangkan engkau memberikan aku hanya 3000. Padahal ayahnya tidak lebih utama dari dirimu, dan ia juga tidak lebih mulia daripadaku.”

Umar Al Faruq berkata: “Engkau keliru… Ayahnya lebih dicintai oleh Rasul daripada ayahmu. Dan ia lebih dicintai Rasul daripada dirimu!”

Maka Abdullah bin Umar rela menerima pemberian gaji yang diberikan untuknya. Dan Umar bin Khattab setiap kali ia berjumpa dengan Usamah bin Zaid akan berkata: “Selamat datang, Amirku!” Jika ada orang yang merasa aneh dengan tingkah Umar ini, ia akan berkata kepada orang itu: “Rasul ﷺ telah menjadikan dia sebagai amirku!”

Ya, Rasulullah telah menjadikan Sayyidina Usamah bin Zaid sebagai amir pasukan yang di dalamnya terdapat sahabat-sahabat senior seperti Sayyidina Abu Bakar, Umar, Sa’d bin Abi Waqash, Abu Ubaidah bin Al Jarrah dan sahabat besar lainnya.

[3] Ia merupakan bentuk jamak dari istilah yang artinya pengkhianat

mengembangkan diri cahaya-abadi-muhammad-1-768x1178

Rahasia Kekuatan – Cahaya Abadi Muhammad SAW

-Salawat-

Menghadapkan diri, hanya kepada Allah ketika menjalankan tugas mereka para nabi dan rasul tak pernah menunggu upah atau imbalan tertentu baik berupa materi maupun non-materi. Salah satu semboyan mereka yang diabadikan oleh Alquran dalam beberapa ayatnya adalah ungkapan yang pernah dilontarkan oleh beberapa rasul yang berbunyi “Upahku tidak lain hanyalah dari Allah saja.” Q.S. Yunus ayat 72 Hud ayat 29. 

Sementara kita, kalau pun tak mengharap imbalan materi atas sebuah amal maka kita sering mengharapkan imbalan nonmateri dalam bentuk pahala hal seperti itu sama sekali tidak pernah ada pada diri para rasul mereka sama sekali tidak pernah mengharapkan imbalan dari siapapun karena apa yang mereka lakukan sepenuhnya merupakan perintah Allah. Kalaupun kita ingin membayangkan sesuatu yang mustahil seperti misalnya andai saja para nabi dan rasul tahu     bahwa mereka akan masuk ke dalam neraka, maka hal itu pastilah tidak akan membuat mereka ragu untuk menunaikan tugas mereka dan tidak akan membuat mereka lari dari tujuannya meski hanya sesaat. Para nabi dan rasul adalah orang-orang yang selalu siap siaga, mereka selalu mengorbankan seluruh jiwa raga mereka di jalan dakwah yang mereka tempuh. Jadi harapan masuk Surga atau takut akan Neraka bukanlah faktor yang menggerakkan mereka untuk berusaha melaksanakan tugas berat yang mereka pikul alih-alih berharap pamrih. Keridhaan Allah dan perkenan-Nya merupakan puncak dari segala yang mereka harapkan begitulah semua amal yang dilakukan para nabi memang ikhlas dilakukan hanya karena Allah terlebih pada diri Rasulullah SAW prinsip seperti ini telah mencapai puncaknya ketika masih di dunia.

 Rasulullah berkata: “Umatku.”

Dan kelak di padang mahsyar hari kiamat beliau kembali berkata: “Umatku… umatku..”

Jadi silakan Anda bayangkan betapa Tingginya tingkat keikhlasan Rasulullah. Ketika pintu Surga telah terbuka lebar merindukan beliau masuk ke dalamnya, ternyata beliau justru terus saja masgul dengan nasib umat Islam. Demi kitalah kelak Rasulullah rela berlama-lama di padang mahsyar, daripada berleha-leha di dalam Surga. Dan hebatnya Rasulullah tidak melakukan semua itu hanya untuk para kerabat Beliau saja, melainkan juga terhadap seluruh umat beliau termasuk para pendosa di antara mereka.

Demikianlah jendela-jendela jiwa para nabi dan rasul memang hanya terbuka bagi satu tujuan yang sama yaitu keridhaan Allah. Sedangkan terhadap segala yang lain itu jiwa mereka selalu tertutup rapat. Oleh sebab itu, bagi siapapun yang saat ini melakukan dakwah dan tabligh seperti yang dulu dilakukan para Rasul hendaklah mereka selalu berhati-hati dan peka terhadap masalah ini. Sebab, ia merupakan sebuah perkara yang sangat penting dan sensitif. Ingat, besar atau kecilnya efek dari ucapan yang dilontarkan seseorang tidak bergantung pada kefasihan dan kecanggihan struktur bahasanya melainkan berhubungan langsung dengan keikhlasan orang yang mengucapkannya. Al Quran menyinggung hal ini dalam ayat 

Ikutilah orang yang tiada minta balasan kepadamu dan mereka adalah orang-orang yang mendapat petunjuk Quran Surat Yasin ayat 21 

Benar, ikutilah para nabi yang bertahta di ketinggian langit penyerahan diri dan hidayah Allah, karena mereka tidak pernah meminta imbalan duniawi dari kalian. Pertimbangkanlah masak-masak sebelum anda mengikuti jejak seseorang, sosok yang anda ikuti haruslah orang yang selalu berserah diri kepada Allah. Hari-harinya hanya diisi dengan amal baik di jalan Allah, tidak silau pada gemerlap dunia dan selalu mencurahkan segenap energinya demi kejayaan generasi mendatang. Sosok yang Anda jadikan panutan tidak boleh memiliki sifat hubbud dunya, cinta dunia, dan hatinya harus dilingkupi sikap berserah kepada Allah. 

Oleh sebab itu, telitilah para pemimpin Anda siapa diantara yang memiliki sifat seperti itu, sebelum Anda memilih seorang panutan. Rasulullah adalah pribadi yang selalu Berserah diri kepada Allah, perut beliau tidak pernah kenyang walau hanya dengan roti gandum kasar sekalipun. Seringkali hari, pekan, bahkan bulan berlalu tanpa ada asap yang mengepul dari dapurnya, dari dapur Rasulullah SAW. 

Abu Hurairah r.a. meriwayatkan 

“Suatu ketika aku menemui Rasulullah yang sedang salat sambil duduk. 

Aku berkata, “Wahai Rasulullah kulihat kau salat sambil duduk, ada apa denganmu?” 

Rasulullah menjawab, “Aku kelaparan.”

 Aku pun menangis mendengar itu. 

Tetapi, Rasulullah menukas, “Jangan kau menangis karena kerasnya hisab di hari kiamat tidak akan menyentuh orang yang kelaparan. Jika dia bersabar di dunia dan apa yang menimpanya itu.”

Ummul mukminin Aisyah r.a. meriwayatkan, “Suatu ketika seorang wanita Anshar menemuiku dan melihat alas tidur Rasulullah berupa kain kasar. Beberapa saat kemudian wanita itu mengirimkan alas tidur berlapis wol. Rasulullah lalu datang dan bertanya apa ini wahai Aisyah? 

Aku menjawab wahai Rasulullah tadi ada seorang wanita Anshor yang datang ke sini lalu melihat alas tidurmu. Setelah dia pulang dia mengirimkan ini ke sini. Rasulullah pun menukas, “Kembalikanlah alas tidur ini.” Tapi aku tidak mengembalikan alas tidur itu dan ternyata Hal itu membuat Rasulullah terkejut, sehingga Beliau kembali memerintahkan agar aku mengembalikan alas tidur itu. Beliau mengulang itu sampai tiga kali. Rasulullah SAW berkata, “Kembalikanlah alas tidur itu wahai Aisyah demi Allah Andai saja aku mau Allah pasti bersedia memberiku gunung emas dan perak.”

Benar seandainya Rasulullah SAW mau beliau sebenarnya dapat menjalani hidup yang menyenangkan dan sejahtera. Tapi beliau tidak menginginkan itu.

Abu Hurairah meriwayatkan, “Suatu ketika Jibril duduk bersama Rasulullah SAW, sesaat kemudian tampak malaikat dari langit. Jibril berkata malaikat itu tidak pernah turun sejak diciptakan kecuali hanya saat ini. Sesampainya malaikat itu di hadapan Rasulullah ia berkata, “Wahai Muhammad Tuhanmu telah mengirimkan ku padamu untuk bertanya, apakah kau ingin menjadi seorang raja yang sekaligus nabi? ataukah seorang hamba yang sekaligus Rasul? Jibril menukas, “Bertawadhu lah pada rabbmu wahai Muhammad.” Rasulullah menjawab, “Aku ingin menjadi hamba yang sekaligus Rasul.” 

Hingga akhir hayatnya tidak pernah sedikitpun Rasulullah SAW makan sampai kenyang.

Abu Umamah meriwayatkan, “Suatu ketika ada seorang wanita yang ucapannya busuk dan gemar mencaci kaum laki-laki. Wanita itu lewat di dekat Rasulullah yang sedang menyantap bubur di atas roti kering. Wanita itu berkata, “Lihatlah orang itu! Dia duduk seperti duduknya seorang hamba atau budak, dan makan seperti makannya seorang hamba. Rasulullah menyahut, “Apakah ada hamba yang lebih hamba dibandingkan aku?”

Lembaran kehidupan Rasulullah memang penuh dengan contoh sikap berserah diri kepada Allah. Siapapun yang ingin mempelajari contoh teladan itu dapat menemukan penjelasan di ratusan kitab yang ada ya semua nabi dengan Rasulullah menjadi yang terdepan memang hidup dalam penyerahan diri kepada Allah mereka sama sekali tidak pernah mengharapkan balasan dunia dan akhirat atas semua yang mereka lakukan. Inilah sebenarnya rahasia, dibalik kekuatan yang mereka miliki dalam mempengaruhi dan meyakinkan umat. Siapapun yang ingin ucapannya memiliki daya ubah, serta dapat menjadi obat penawar kehidupan. Hendaklah ia mengenyampingkan harapan akan imbalan atau upah dari apa yang dilakukannya.

Diambil dari Cahaya Abadi Muhammad SAW kebanggaan umat manusia 

mengembangkandiri mountain-sunrise-5WMXRKU

Keikhlasan

 

Shalawat

Keikhlasan,

Yang dimaksud dengan keikhlasan adalah melakukan atau meninggalkan sesuatu hanya karena Allah. Para nabi adalah orang orang yang telah mencapai tingkat keikhlasan tertinggi. Sejak mereka mulai misi yang mereka emban. 

Demikian juga orang kebanyakan dapat mencapai tingkat tertentu dalam keikhlasan. Asalkan mereka mau berusaha. Hanya saja, setinggi-tinggi tingkat keikhlasan yang mereka capai sebenarnya itu adalah tingkat keikhlasan terendah, dari yang dimiliki oleh para nabi. Sebab keikhlasan para nabi bagaikan permata. Itulah sebabnya mereka dijuluki dengan istilah Al Mukhlasun. Salah satu contoh ketinggian derajat keikhlasan para rasul ini dinyatakan oleh Al Quran dalam ayat yang menyebut nama Musa a.s. 

Dan ceritakanlah hai Muhammad kepada mereka kisah Musa di dalam al kitab Al Qur’an ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang mukhlas serta sekaligus seorang nabi dan rasul. (Q.S. Maryam19; 51)

Demikian pula dengan nabi Yusuf a.s. “Sesungguhnya yusuf itu termasuk hamba hamba kami yang mukhlas. (Q.S. Yusuf 12; 24)

Allah bahkan berfirman kepada Rasulullah Muhammad SAW. 

Sesungguhnya, kami menurunkan kepadamu kitab Al Quran dengan membawa kebenaran. Maka sembahlah allah dengan memurnikan atau mukhlis ketaatan kepada nya. (Q.S. Az Zumar 39; 2)

Dan Allah Pernah meminta Rasulullah SAW untuk mengingat-Nya. Dengan sebuah firman.

Katakanlah, hanya Allah saja yang aku sembah dengan memurnikan mukhlis ketaatan kepada Nya dalam menjalankan agama-Ku. (Q.S. Az Zumar 39; 14)

Alasan manusia untuk beribadah adalah karena adanya perintah allah. Sementara buah yang dipetik dari ibadah adalah keridhoan Allah dan balasan di akhirat. Ibadah seperti ini yang dapat menjaga kualitas kehidupan seseorang secara sempurna. Dan akan tercermin pada seluruh tingkah laku dan perbuatan orang yang bersangkutan. Said An Nursi sang mufakir Al Ashr pemikir zaman ini. Ia memahami betul arti keikhlasan pernah menyatakan sebagai berikut.

Wahai diriku. Jika kau tak mau jadi orang bodoh dan tolol, maka memberilah dengan nama allah. Ambillah dengan nama allah. Mulailah dengan nama allah. Dan berbuatlah dengan nama allah. Wassalam. 

Keikhlasan adalah tanda orang yang lurus. Orang yang ikhlas, tidak akan menempuh jalan yang menyimpang. Karena kehidupan rohani seseorang yang ikhlas adalah sebuah kehidupan yang benar benar lurus dan selalu naik derajatnya ke tingkat yang lebih tinggi. Apalagi orang orang ikhlas seperti itu pasti akan selalu menjaga kesucian dari keikhlasan yang menjadi titik sentral hidup mereka. Tetapi alangkah sedikitnya orang orang yang seperti itu. 

Ada satu sosok unik di sepanjang sejarah manusia yang berhasil mencapai puncak keikhlasan tertinggi, sehingga tidak ada lagi yang lebih tinggi darinya.

Sosok istimewa itu adalah, Rasulullah SAW.

Betapa tidak? Rasulullah adalah sosok yang kondisi keikhlasan dan kerendahan hatinya. Di saat mulai berdakwah sama persis dengan kondisi keikhlasan dan kerendahan hati beliau di saat peristiwa penaklukan Mekah. Rasulullah berhasil menaklukkan Mekah melalui jalan damai. Tentu saja hal ini akan kita sepakati jika kita mengenyampingkan beberapa insiden di beberapa sudut Mekkah yang tidak dapat kita generalisir sebagai sebuah penyerangan. 

Ketika Rasulullah SAW sang kebanggaan semesta memasuki kota Mekah yang beberapa tahun sebelumnya beliau pernah diusir darinya. Rasulullah tidak masuk dengan sikap sebagai seorang Panglima yang baru berhasil menundukkan sebuah kota. Alih-alih justru Rasulullah memasuki Mekah dengan kepala menunduk sampai sampai nyaris menyentuh punggung bagal yang beliau kendarai. 

Demikian pula ketika tinggal di Madinah. Rasulullah SAW sama sekali tidak berubah, suatu ketika para sahabat pernah bangkit berdiri untuk menunjukkan penghormatan. Para sahabat menganggap bahwa bentuk penghormatan seperti itu amat pantas diberikan kepada Rasulullah. Sebab Rasulullah selalu bangkit berdiri sebagai bentuk penghormatan ketika ada keranda mayat yang diusung lewat di depan beliau. Akan tetapi, Rasulullah sama sekali tidak suka para sahabat berdiri menyambutnya. Beliau lalu berkata, janganlah kalian berdiri menyambutku seperti yang dilakukan orang orang Ajam. 

Demikianlah, Rasulullah SAW telah memangkasi tugas mulia yang dipikulnya dengan sikap yang sama persis dengan sikap beliau di saat baru mulai berdakwah. Tahun demi tahun, berlalu bagaikan alunan irama merdu. Tak ada satu tindakan pun, yang dilakukan Rasulullah, melainkan beliau selalu berhasil mengakhirinya dengan baik. Semua itu tentu merupakan keberhasilan yang tak terbantahkan.

 Dapat dikatakan bahwa Rasulullah SAW memulai alunan senandung ilahi dengan nada lembut, tapi kemudian terus naik hingga menggetarkan seluruh jagat raya. Rasulullah, telah bersumpah, untuk membaktikan segenap jiwa dan ibadahnya hanya kepada Allah SWT. Itulah yang membuat jiwa Rasulullah SAW dilingkupi dengan ma’rifat terhadap allah. Siapapun dapat dengan mudah melihat jejak keagungan dan keluhuran akhlak beliau. Sebab jiwa Rasulullah selalu dipenuhi dengan berbagai kenikmatan rohani yang padat. Beliau selalu awas terhadap hakikat, dan hatinya selalu terbuka pada kebenaran. Tak pernah sedetik pun, Rasulullah SAW berhenti berzikir. Semua itu terjadi karena Rasulullah adalah pribadi yang ikhlas dan selalu berserah diri kepada Allah. Apalagi prinsip ihsan yang beliau ajarkan telah membuka dimensi baru bagi beliau. Ihsan yang dijelaskan oleh Rasulullah lewat sambil terkenal. Kau beribadah kepada Allah. Seakan akan kau melihatnya. Tapi jika kau tidak mampu melihat nya, maka sesungguhnya dia melihatmu. 

Cahaya abadi Muhammad SAW Kebanggaan umat manusia -Hoca  Efendi.