mengembangkandiri.com (3)

TAWAKAL KEPADA ALLAH

Dunia merupakan tempat bagi seorang mukmin untuk mengabdikan diri kepada Tuhan-Nya. Selain sebagai ladang amal bagi kehidupan kekal di akhirat kelak, dunia juga menjadi tempat ujian yang harus dilalui dalam rangka memantaskan diri meraih predikat taqwa. Karena itu, seorang mukmin selalu mengaitkan segala macam perilakunya agar sesuai dengan tuntunan Allahﷻ. Dalam setiap gerak-geriknya, ia memiliki kesadaran utuh bahwa Allahﷻ senantiasa mengawasinya dan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di hari kemudian.

Kesadaran semacam ini akan mengantarkan seorang mukmin kepada tingkatan ihsan. Ia selalu berhati-hati dalam menjalani kehidupan di dunia. Ia selalu saja menjaga diri agar tidak terjerumus ke dalam hal yang dilarang-Nya. Karena ia percaya bahwa tidak ada satupun yang luput dari pengawasan Tuhannya. Bahkan dalam suasana spiritual seperti ini, ia tidak pernah berkata sia-sia atau menginjak seekor serangga karena takut akan tanggung jawab kelak di hadapan Tuhannya. Bagi mukmin seperti ini, jelas orientasinya adalah mencari rida Ilahi.

Sejarah membuktikan bahwa sosok-sosok agung seperti inilah yang telah mewarnai zaman keemasan Islam. Mereka merupakan sosok pelita yang ditunggu kehadirannya untuk menerangi dan memajukan peradaban. Mereka adalah pribadi-pribadi yang telah berhasil menempatkan kepentingan Allahﷻ, Rasul-Nya serta umat manusia jauh melebihi keunggulan dirinya. Mereka bukanlah pribadi egois dan oportunis yang hanya mengharapkan pujian dan tepuk tangan manusia, bahkan sebaliknya sosok-sosok agung itu mampu merangkul manusia zamannya untuk bersama menggapai rida Allahﷻ.

Dalam sejarah perjalanannya, bukan berarti mereka tanpa halangan dan cobaan. Jauh sebelum mereka bergerak, mereka sadar bahwa tugas yang diemban tersebut merupakan perkara agung dan akan menghadapi risiko yang harus dilalui. Dengan memantapkan diri dan berserah diri di hadapan Tuhan, mereka terus bergerak menyebarkan nilai-nilai luhur Islam yang mereka yakini. Padahal ada banyak para penentang yang tidak menginginkan keagungan nilai-nilai itu tersebar dan membumi. Namun sosok agung itu berujar tegas, “Apapun pendapat mereka tentang kita, dengan izin dan inayah Allahﷻ, kita tetap berpikir tentang Islam.”

Mereka tidak sedikit pun terpengaruh oleh halangan-halangan itu, bahkan tidak ada rasa dendam dan permusuhan yang justru menghalangi gerak niatnya mencari rida Allahﷻ. Sebaliknya mereka tetap menjalankan tugas untuk menegakkan keharmonisan di bumi, membangun perdamaian, memberantas kebodohan, dan mengembalikan nilai-nilai kemanusiaan ke tengah-tengah umat. Harus kita akui, mereka telah menjalaninya dengan sukacita dan penuh cinta kepada sesamanya. 

Sungguh dengan kondisi umat yang ditinggal berantakan selama beberapa abad sekarang ini, betapa kita merindukan sosok-sosok agung itu. Mereka adalah ksatria cinta yang memenuhi relung batin kita yang saling bermusuhan, penuh kebencian, dan hampa kasih sayang. Mereka adalah mentari yang menyinari dan membakar semangat hidup beragama dan persaudaraan sesama manusia. Dan bagaikan mesin, mereka menggerakkan kejumudan berpikir, kemandekan langkah berbuat, dan kekosongan peradaban seperti yang kita rasakan saat ini. 

Sekarang, kita berharap sosok itu adalah kita, kalau bukan kalian atau mereka. Karena itu, tugas kita saat ini adalah memantaskan diri untuk bersama meraih rida-Nya. Mari bersama kita tumbuhkan semangat beragama, serta semangat berbakti kepada nusa dan bangsa. Hingga kita pun dapat meraih kehidupan yang mulia, baik di dunia yang sementara maupun di akhirat kelak yang kekal selama-lama. Wassalam.

Photo by Saffu on Unsplash

Mereka yang Merasakan Manisnya Iman

“Dawai Kalbu: Mereka Yang Merasakan Manisnya Iman”

Dalam sabda Nabi SAW disebutkan bahwa: Barangsiapa memiliki 3 ciri ini, berarti dia telah merasakan manisnya iman[1]. Ciri-ciri tersebut antara lain:

  1. Mencintai Allah dan RasulNya atas segalanya
  2. Mencintai sesuatu hanya karenaNya
  3. Benci kembali ke kesesatan seperti bencinya ia jika dilempar ke neraka

Jika pada diri seseorang ada tiga ini, maka pemiliknya akan merasakan manisnya iman. Mereka yang merasakan manisnya iman, imannya di atas segalanya, serta memahkotai imannya dengan makrifat. Iman yang tak bersandar pada makrifat selalu mudah ambruk oleh sedikit guncangan.

Kondisinya mirip seperti hari ini, dimana kita diguncang oleh perilaku setan dan bala bencana. Di sisi lain, guncangan itu menguji siapa saja yang teguh di jalanNya, sebagaimana ampas dan residu terpisah dari emas dan perak saat diekstraksi.

وَلِيُمَحِّصَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَيَمۡحَقَ ٱلۡكَٰفِرِينَ 

“Agar Allah membersihkan orang beriman dan membinasakan orang kafir” (QS 3:141).

Orang-orang terjungkal karena sikapnya, mereka menunjukkan siapa dan kemana mereka bersandar. Ternyata karakternya menunjukkan bahwa mereka tak siap menghadapi persoalan-persoalan serius. Andai mereka hidup di masa Nabi mereka akan membuat fiasko dan blunder di Badar dan Uhud. Di Medan Khandaq, mungkin mereka akan membuat skenario untuk berlepas diri. Sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul. Mungkin dia hanya satu, tetapi di sekitarnya ada banyak orang lugu yang hanyut bersamanya. Kini dunia kita mengalami inflasi karena banyaknya sosok seperti Abdullah bin Ubay bin Salul muncul.

Demikianlah, tanda dirasakannya manisnya iman adalah dicintainya Allah dan RasulNya di atas segalanya. Pertama iman kepada Allah, lalu memahkotai iman dengan makrifat. Kemudian menjaga agar makrifat dan mahabatullah senantiasa terkembang. Memahkotai mahabatullah dengan rasa cinta dan istiyak kepadaNya. Topik ini banyak dibahas dalam tasawuf, tetapi tidak di kitab fikih dan akhlak. Rasa cinta dan istiyak kepada Allah kemudian melahirkan zawq ruhani yang dibahas oleh Ustaz: “Imani billah, makrifatullah, mahabbatullah, dan zawq ruhani.”

Tetapi, dari perspektif Qitmiriyah, Zawq Ruhani hanya dicapai jika tak diharapkan, tetapi datang sendiri. Segala amal hanya untukNya. Saat datang, kita hanya bisa berkata: “ini semua adalah anugerah, rahmat, kemurahan dari Allah SWT.” Semoga Allah tak membatasi anugerah ini pada kita, semoga Allah senantiasa menganugerahinya pada kita Imani billah, marifatullah, mahabatullah, zawq ruhani, dan rasa cinta dan istiyak padaNya.

Mencintai Allah dan RasulNya lebih dari apapun. Sebagai contoh, seperti yang kusampaikan di ceramah yang agak berantakan waktu itu. Ketika Sayyidina Umar tiba-tiba mahabah serta rasa cinta dan istiyaknya terkembang. Lalu ia menatap wajah cemerlang secerah mentari dari Baginda Nabi dan berkata, “Ya Rasulullah! Aku mencintaimu lebih dari segalanya, dari keluargaku, anakku, kecuali diriku.” Pernyataan ini adalah pernyataan yang sangat penting. Andai kita mendengar langsung pernyataan serta kehalusan, kedalaman, serta keindahannya, maka pasti kita akan berdiri dan berputar layaknya para darwish murid Rumi. Tetapi Baginda Nabi memberikan jawaban yang tak disangka. “Tidak beriman salah seorang dari kamu hingga aku lebih dicintai daripada dirinya sendiri.” Istimewanya sistem respon Sayyidina Umar, ia bisa menerima pesan dari seribu lokasi berbeda sekaligus. Pesan tersebut dengan segera diolah dan diberi respon. Ia memiliki kapasitas untuk berkembang serta melejit secara instan dan seketika. Seketika ia berkata:”Ya Rasulullah, kini aku mencintaimu bahkan lebih dari diriku.”[2] Aku tak pernah berpikir walau satu banding sejuta kata-katanya akan menyalahi realita. Ia adalah Umar. Semoga Allah anugerahi kita keistimewaan itu.

 

[1] Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُـحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ  أَنْ يَعُوْدَ فِـي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِـي النَّارِ.

“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) barangsiapa yang Allâh dan Rasûl-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allâh. (3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.”

Hadits Shahih, diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43), At-Tirmidzi (no. 2624), An-Nasa`i (VIII/95-96), dan Ibnu Majah (no. 4033).

[2] Kisah ini diriwayatkan pada HR. Bukhari [Bukhari: 86-Kitabul Iman wan Nudzur, 2-Bab Bagaimana Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersumpah]