Al-Qur’an Mu’jizul Bayan, memiliki narasi dan ekspresi gaya muslim sendiri. Ia menyebut mukmin dengan beberapa kualitas mereka, beberapa sisi keunggulan mereka, dan memperkenalkan gaya mukmin kepada kita. Ia menunjukkan gaya ini kepada orang-orang sebagai panduan dan pengajaran, sebagai contoh, juga sebagai pemimpin yang membimbing jemaah menuju kebenaran. Dalam hal ini, kita dan para pendahulu kita sebagai muslim, pendahulu dan pentabligh kita yakni Rasulullah SAW, memiliki dua macam cara dalam membimbing orang-orang menuju kebenaran. Pertama, kita belajar dan menceritakan masalah yang harus kita sampaikan dengan cara yang terbaik. Dalam hal ini, kita dapat menghadapi semua tantangan. Kita mengarungi lautan darah dan nanah, terbang di atas ladang yang berduri, kita berhadapan dengan kesulitan yang tak terkira. Kita berdakwah karena kita percaya kepada Allah yang membuat kita merasakan kehadiran diri-Nya dalam setiap peristiwa. Kita menggunakan lisan kita, menggunakan kepala kita, menggunakan perasaan kita dan mencoba untuk menyampaikan dakwah. Cara penyampaian yang paling hidup, paling efisien, dan paling efektif adalah bahasa sikap. Menjelaskan Allah dengan bahasa sikap, menjelaskan dan menafsirkan al-Qur’an dengan bahasa sikap dan menjadi cermin Nabi Muhammad SAW dengan bahasa sikap.
Al-Qur’an menerangkan pentingnya bahasa sikap. Selama ini jemaah al-Qur’an telah dibagi menjadi dua bagian: “Mereka yang pandai bersikap dan pandai berbicara”. Mereka yang pandai berbicara bisa berceramah dengan baik dan mengedepankan gagasan dan pernyataan yang tinggi. Tetapi mereka yang pandai bersikap selalu tampil cerah, menonjol dan membelakangi orang-orang yang pandai berbicara. Siapapun yang jujur, siapapun yang tulus, siapapun yang mengarahkan dirinya kepada Allah dengan segenap perasaannya, Allah yang Maha Kuasa telah menyerahkan semua hati kepadanya. Untuk itulah, misi yang menyulut kehebatan al-Qur’an Mu’jizul Bayan dan meningkatkan keyakinan di dalam hati adalah milik mereka yang pandai bersikap, bukan yang pandai berbicara.
Ketika al-Qur’an mengatakan: “Sesungguhnya orang-orang yang beriman ialah mereka yang bila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya), dan hanya kepada Tuhanlah mereka bertawakkal” (al-Anfal: 2). Ia menggambarkan ciri-ciri orang yang beriman. Dan ketika Al-Quran mengatakan: “(yaitu) kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui” (As-Saff-11). Ia menggambarkan ciri-ciri orang yang beriman. Dan ketika Al-Quran mengatakan: “Dan hamba-hamba Tuhan yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan” (Al Furqan-63). Ia menggambarkan ciri-ciri orang yang beriman. Ia menempatkan gaya teladan di depan orang-orang. Ia menekankan di keimanan kepada Allah SWT yang menarik orang dan menjelaskan aspek mukmin ini. Mereka yang mengganggu, mereka yang berpikir bahwa mereka dapat melakukan sesuatu dengan perkataan saja, mereka yang tidak memiliki keimanan kepada Allah akan menyendiri dan tidak akan ada orang di sekitar mereka padahal mereka mengedepankan ide-ide cemerlang. Bahkan mereka tidak akan mampu memiliki jama’ah walaupun hanya semobil angkot.
Rasulullah SAW adalah pribadi yang berharga dan unik, yang bersandar pada Allah, yang memadukan perilaku dan perkataan. Dia telah menyatukan perilaku dengan perkataan. Orang-orang di sekitarnya menggambarkannya sebagai “ketika ia menjelaskan dan memberitahu kami sesuai dengan kehebatannya, bahkan air yang mengalir akan berhenti, air yang mengalir akan berhenti saat dia berbicara. Tetapi perilaku rasulullah lebih jelas, lebih berpengaruh, dan lebih manis daripada kata-katanya. Di sini saya akan mencoba menyampaikannya dengan contoh kecil, sebagai berikut.
Ketika beliau SAW memuliakan Madinah dengan kehadirannya, banyak orang berlarian untuk menemuinya. Semua orang berlari untuk melihat siapa pria yang mampu menyeret orang-orang di belakangnya, yang membuat mereka meninggalkan anak-anaknya, wanita menjadi janda, anak-anak yatim. Siapa lelaki yang mampu membuat orang-orang di sekitarnya melupakan diri mereka sendiri. Semua orang bergegas untuk melihatnya gunung batu berlari melihatnya, mereka harus lari, mereka pun berlari. Seandainya bisa, kita juga berlari untuk menemuinya. Anak-anak menyambutnya di bukit dengan tepuk tangan, mereka berseru: “Wahai bulan purnama yang terbit kepada kita, dari lembah Wada’” sedang menabuh genderang dan rebana, menyanyikan lagu dan melantunkan sanjungan sambil menyambutnya hanya karena penguasa zamannya telah datang. Di Madinah saat itu ada banyak orang yang telah mendalami ilmu pengetahuan, mengembangkan dunia ide mereka sendiri. Ada orang-orang yang mengetahui Taurat, mengetahui dunia, di Madinah saat itu juga ada yang mengetahui nabi-nabi. Di antara mereka adalah Abdullah bin Salam, yang dihitung oleh sebagian ulama sebagai seorang dari sepuluh sahabat dengan kabar gembira surga. Ia bercerita, “Saya sedang berada di kebun anggur saya, saya melihat bahwa para sahabat yang berlari untuk menyambutnya sedang berbicara satu sama lain. Saya melihat suku Aus dan Hazraj berlarian di Madinah dalam kegembiraan yang luar biasa ketika menuju Aqabah. Saya menanyakan alasannya, mereka menjawab: “Nabi datang ke Madinah.” Saya juga memutuskan pergi untuk melihatnya. Menurut riwayat Bukhari dan Muslim, Abdullah bin Salam mangajukan 3 pertanyaan kepada Rasulullah. Tetapi pertanyaan-pertanyaan ini hanya seorang Nabi lah yang mengetahui jawabannya. Karena Rasulullah menjawab mereka semua jadi ia beriman dengan megatakan La ilaha illahlah. Dalail menggambarkan kepada kita bahwa Rasulullah SAW sedang duduk di masjid, Abdullah bin Salam masuk. Dia melihat wajah terpancar dan bercahaya Nabi, memperhatikan pidatonya, suasana hatinya, sikap dan perilakunya. Dia mengamati Nabi yang dalam setiap perilakunya dapat dirasakan kristal-kristal iman kepada Allah. Kemudian dia datang ke hadapannya, berlutut dan berkata: “Demi Allah, aku bersumpah, tidak ada kebohongan di wajah ini ini pastilah Nabi” لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّٰهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ ٱللَّٰهِ.
Seorang ulama yahudi, orang yang sadar, dia akrab dengan kebenaran. Dia adalah seorang yang mengenal nabi dan dia pembaca al-kitab. Bahkan jika tidak ada bukti yang lain satu perilaku Rasulullah cukup menjadi sebab untuk seorang beriman dan cukup untuk membuktikan keberadaan Allah SWT. Izinkan saya menyampaikan tentang Zayd bin Sun’a. Ada banyak suku yang percaya kepada Rasulullah SAW tetapi mereka tidak dapat menemukan jalan untuk datang ke hadapannya dan tidak bisa melihat wajanya yang seperti bunga mawar, duduk di hadapannya, dan tidak bisa mengambil faedah darinya. Mereka berada di tempat yang sangat terpencil. Zayd bin Sun’a menyampaikan kepada kita: Pada suatu hari, waktu itu saya belum menjadi muslim, saya sedang menyelidiki.” “Seorang yang sangat sedih, seolah seluruh dunianya hancur. Ia mendekati Rasulullah dan berkata: “Wahai Rasulullah, setelah saya memiliki keyakinan kepada Allah, saya pergi ke suku saya yang sangat membutuhkan dakwah, saya berkata, berimanlah kepada Allah, Dia akan memberimu rezeki.” Saya berkata, berimanlah kepada Allah, Dia akan memberimu kebahagiaan. “Wallahi, wahai Rasulullah, mereka semua telah beriman kepada Allah tetapi mereka masih dalam kesulitan. Saya takut, hatiku tidak tenang, saya khawatir mereka akan keluar kembali dari agama, mereka akan kehilangan Anda. Wahai Rasulullah, bisakah Anda membantu kami secara finansial dan menyelamatkan mereka dari masalah?” Rasulullah berpikir dalam, apakah dia punya sesuatu di rumahnya sendiri. Tidak ada apapun di rumahnya, tidak ada sesuatu pun yang bisa mengenyangkan perut dan membahagiakan mereka walaupun untuk sementara itu saja. Dia sangat sedih dan patah hati. Saat aku pergi aku mendekatinya dan berkata: “Wahai Muhammad,” dia memanggil Nabi dengan namanya karena dia belum menjadi muslim. “Wahai Muhammad, jika Anda mau, saya akan memberikan Anda uang dan kurma sebagai ganti uang dan kurma yang akan Anda peroleh dan panen di masa depan. Sekarang saya akan memberikan kepada Anda dan Anda akan membayar kembali ke saya di masa depan.” Rasulullah pun menyetujui ketentuan dan syarat kesepakatan dengan mengikuti akad Salam. Beberapa hari telah berlalu, jangka waktu kesepakatan belum jatuh tempo. Kurma di pohon belum cukup matang untuk dipanen. Belum ada apapun yang bisa diperoleh Rasul yang akan pergi dan ambil, tetapi saya pergi. Rasulullah duduk di suatu tempat bersama Abu Bakar dan Umar, seperti biasa saya mendekatinya. Keluarga Abu Thalib adalah keluarga yang sangat terhormat. Mereka menepati kata-kata mereka “Anda membeli kurma dari saya, Anda sama sekali tidak mengeluarkan suara, apakah Anda ingin memakan hak saya? Kapan kamu akan membayarnya kembali?” tanya saya. Utusan Allah, SAW berpaling pada saya, melihat wajah saya dan tersenyum. Dia memberi isyarat kepada Umar dan berkata kepadanya: “Bawa dia dan berikan apa yang dia inginkan dan berikan kepadanya sedikit lebih banyak apa yang dia inginkan!” Umar meraih tangan saya dan membawa saya ke suatu tempat mengembalikan kurma saya dan memberikan sedikit lebih banyak dari apa yang telah saya berikan sebelumnya. Rasulullah SAW tersenyum. “Mengapa Anda memberikan kelebihan ini?”, kata saya. “Rasulullah memerintahkan begitu”, kata Umar radhiyallahu ‘anhu. “Wahai Umar, apakah Anda mengenali saya? Saya seorang Kristen atau pemuka Yahudi Zayd bin Sun’a,” kata saya. “Ya, saya kenal Dan mengapa Anda bersikap tidak hormat kepada Rasulullah? Mengapa Anda bersikap sombong?”. Kemudian ia melanjutkan, “Demi Allah, saya telah membaca kitab-kitab para nabi terdahulu, dan saya telah melihat semua ciri-ciri nabi akhir zaman ada pada dirinya. Kecuali satu hal, kelembutannya akan mengalahkan amarahnya, dia tidak akan marah atas nama dirinya walaupun dunia akan hancur atas kepalanya dia tidak akan marah atas nama dirinya. Saya berperilaku seperti itu karena saya ingin mengetahuinya.Terlepas dari semua kesombongan saya, dia tersenyum dan berkata, “beri dia sedikit lagi,” katanya. Jelaslah ini, dengan kelembutannya, kesabaran yang mengatasi amarahnya inilah yang telah dijelaskan dalam kitab-kitab itu. Kemudian Zayd bin Sun’a datang ke hadapan Rasulullah SAW dan berucap لَا إِلَٰهَ إِلَّا ٱللَّٰهُ مُحَمَّدٌ رَسُولُ ٱللَّٰه.
Ini adalah pelajaran tentang bahasa sikap, penyampaian dengan teladan. Ada banyak orang telah belajar banyak hal, membuat dialektika, mempelajari masalah dengan tujuan membungkam lawan bicara mereka. Dan mereka tidak bisa membuat diri mereka disukai oleh orang non muslim, bahkan orang mukmin saja tidak bisa. Ada orang yang berhati sempit, hatinya tidak berkembang, belum mendapatkan “alam nasyrah laka” (al-Insyirah). Yang hatinya tertutup kepada cahaya langit dan cahaya wahyu bahwa mereka mencoba berdebat dengan diri mereka sendiri ketika mereka tidak dapat menemukan orang lain. Betapa banyak orang yang memiliki pengetahuan, tetapi karena cemoohnya, sikap keras dan kasarnya menjadi penghalang terlihat indahnya kemusliman dan keislaman itu sendiri.
Bahasa yang paling berpengaruh adalah bahasa sikap sekalipun hanya diam bahasa yang paling berpengaruh adalah hati. Bahasa yang paling berpengaruh adalah luapan air mata. Bahasa yang paling berpengaruh adalah adanya kepala yang mengerang yang merenung di bawah kegelapan malam.
Saat Anda mendapatkan dan menerapkannya dengan benar, komunitas bangsa lain, negara-negara di dunia akan menerima Islam dalam gerombolan-gerombolan. Meskipun banyak orang yang pendiam menyeret massa, orang-orang seperti saya yang berbicara dengan sastra berkhutbah, tidak bisa mendakwahi seorang pun tentang Allah bahkan mereka tidak mampu memiliki jemaah walaupun hanya semobil angkot.