fragile

Titik Terlemah Manusia

“Prinsip ke-3”

Lalu di titik terlemah manusia yaitu ‘popularitas, kebanggaan diri, dan kedudukan’ dalam pendekatan yang sangat tercela, demi mengendalikanku lewat titik terlemah manusia ini, tidak ada satupun dari pengkhianatan, makian, dan siksaan yang mereka perintahkan dan harusnya mampu mengusik titik terlemah manusia ini berhasil. Dan mereka sekali-kali tidak akan pernah memahami bahwasanya kami menganggap dunia, popularitas, dan kebanggaan diri yang mereka sembah tersebut merupakan perbuatan ria serta keangkuhan yang membahayakan; bahwasanya kami tidak peduli sedikitpun pada cinta kedudukan, popularitas, kebanggaan diri, serta hal-hal duniawi lainnya yang mana mereka memberikan perhatian besar kepadanya; barangkali mereka kami anggap sebagai orang-orang yang pandir dari sisi ini.

Lampiran Emirdag, 1/232

 

Penjelasan

Di ujung pancingan setan dari kalangan jin dan manusia terdapat titik terlemah manusia yaitu popularitas, kebanggaan diri, pangkat, dan kedudukan. Setan dari kalangan jin dan manusia ini datang dari arah sebaliknya, bekerja keras mengusik titik lemah orang-orang istikamah ini lewat siksaan dan cacian yang merendahkan agar akhirnya mereka melakukan kesalahan. Sayangnya, sebagian orang akhirnya menyerahkan dirinya pada hal-hal duniawi dan fana pada godaan pertama. Sebagiannya lagi tidak bisa menyadari rencana-rencana besar setan, lalu disebabkan tidak adanya strategi khusus untuk menghadapi cacian dan makian yang mengusik titik terlemah itu akhirnya ia masuk ke dalam pembuluh darahnya; Ia pun terjebak dalam kemarahan dan akhirnya menunjukkan tindak-tanduk yang keliru. Harusnya mereka berada dalam kebenaran, tetapi mereka jatuh dalam kesalahan dan akhirnya dihabisi disitu. Ustaz dan pengabdiannya pada agama yang menjadi pantulan dari nama-nama Allah yaitu Rahim dan Hakim, bergerak dengan prinsip kasih sayang, cinta, dan hikmah; dengan penuh kesabaran mereka mengobrak-abrik semua rencana orang-orang munafik dan pengkhianat. Ustaz hanya menunjukkan kemarahannya kepada mereka yang keterlaluan, dan dengan izin Allah berhasil membuat jera orang-orang yang demikian.

Diterjemahkan dari buku Seputar Panduan Berkhidmah, oleh Bediuzzaman Said Nursi.

 

Pemilihan artikel dan penjelasan oleh Abdullah Aymaz.

Sumber: Aymaz, Abdullah, 2010, Hizmet Rehberi Uzerine, Istanbul: Sahdamar Yayinlari, hlm. 12

screen

Kedalaman Makna dalam Tahiyat

“Kedalaman Makna dalam Tahiyat”

Jamaah Muslim yang terhormat! Dengan menunaikan salat secara istikamah, seorang mukmin akan meraih posisi yang harusnya ia raih, yaitu di belakang Rasulullah. Persis seperti derajat beliau SAW yang naik di mikraj berkat penghambaannya. Salat menjadi momen tanya jawab, dimana Rasul bercengkerama dengan Allah SWT secara langsung. Ketika seorang mukmin menunaikan salatnya dengan istikamah demi meraih derajat yang tinggi untuk meraih kedekatan dengan Allah, maka ia harus menunaikan salat, menemui Sang Ilahi dengan penuh gairah.

Seorang mukmin hadir ke hadapan Allah dan menunaikan salat dengan hasrat untuk dapat menyaksikan JamaliyahNya. Mukmin demi meraih janji-janji Allah, ia laksanakan perintah & kewajiban kepada Rabbnya. Mukmin itu akan mendengar dan pasti mendengar kelezatan abadi dari manisnya rukun salat karena di balik itu ada pertemuan dengan Allah. Setelah itu terdapat penyaksian Jamaliyah Allah, dan ketika menunaikan tugas agung ini, ada Baginda Nabi Muhammad SAW di saf terdepan.

Barang siapa memiliki hasrat dan keinginan yang sangat besar untuk menemui Allah, Allah SWT menyukai pertemuan dengannya, Allah SWT senang untuk menyambutnya. Allah SWT amat sudi untuk menjamu dan memuliakannya. Allah SWT cinta untuk mengagungkan si mukmin dengan jalan merangkulnya. Akan Anda saksikan anugerah Ilahi turun sesuai jumlah langkahmu, bahkan lebih banyak berkali lipat. Anda akan saksikan rahmat Allah menghampirimu dalam salat.

Salat adalah bangkit dan duduknya hamba hingga tahiyat. Sebuah usaha dan kerja keras untuk meraih kenaikan derajat. Ungkapan dari habisnya energi diri untuk menghamba. Ada berapa jumlah energi dalam tubuhmu? Ada berapa kadar sensitivitas dalam dadamu? Ada berapa kadar kegembiraan dan kehebohan dalam jiwamu? Seberapa sadar naluri indramu? Semua itu akan digunakan untuk menuju Rabbmu, dan kemudian kamu akan duduk dalam tahiyat.

Apalagi peristiwa mikraj diabadikan dalam tahiyat. Buah perjalanan penghambaan Baginda Nabi diabadikan disana. Saat manusia memalingkan muka, langit justru tersenyum kepada Baginda Nabi. Terbukanya pintu mikraj dan penyambutanNya “Datanglah!” juga diabadikan di sana. Di tahiyat, Nabi memberikan salam kepada Allah dengan salam yang layak dengan keagunganNya. Setiap mukmin sesuai keluasan hati dan kemampuannya. Sesuai sensitivitas nalurinya, sesuai kepekaan indranya.

Setelah menunaikan salat dengan segala tanjakan dan turunannya, baik ia duduk tak bisa bangkit disebabkan membayangkan beratnya perhitungan amal, maupun duduk tenteram bebas dari apapun dalam atmosfer berhasil meraih segala macam nikmat. Biarlah ia duduk seperti yang dijelaskan oleh Kesucian Hukum dan FirmanNya. Yaitu, biarlah ia duduk di atas sofa-sofa surga,

مُّتَّكِ‍ِٔينَ فِيهَا عَلَى ٱلۡأَرَآئِكِۚ

”…sedang mereka duduk sambil bersandar di atas dipan-dipan yang indah,”(QS: Al-Kahfi 31)

Dan seperti dijelaskan oleh Surat al Isra:

سُبۡحَٰنَ ٱلَّذِيٓ أَسۡرَىٰ بِعَبۡدِهِۦ لَيۡلٗا مِّنَ ٱلۡمَسۡجِدِ ٱلۡحَرَامِ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al Masjidil Haram…”(QS: Al-Isra’ 1).

Ia meraih tempat  dan posisi di hadapan Rabb. Biarlah ia duduk di kursi agung, berdiskusi dengan Rabbnya secara langsung,  sesuai keluasan kalbunya, sesuai kepekaan nalurinya. Dengan tanjakan dan turunannya, belokan dan tikungannya, dengan beban serta beratnya materi, barangkali setelah menunaikannya dalam kelapangan jiwa, akan dibacakan epos mikraj.

Tahiyat menjelaskan peristiwa mikraj. Dipahami bahwa pintu untuk hadir ke hadapan Allah SWT terkunci dan tertutup jika kita usaha sendiri. Dipahami juga, walaupun kita banyak beribadah, tanpa perantara Nabi SAW yang lebih dulu tiba, meninggalkan jejak, membuka jalan besar untuk kita, tanpa memberi salam kepadanya SAW, tanpa perantaraannya SAW, Tidak mungkin kita bisa meraih mikraj ke hadapan Allah SWT. Untuk itu, setelah mempersembahkan tahiyat, Ibadah materi dan badani, serta menghidangkan segala sesuatu khusus untukNya, lalu kita berikan salam kepada Nabi Kita SAW.

Gambaran makna dari penjelasan ini sebagai berikut.

Kita berangkat ke hadapan Ilahi dengan segala dosa, kekurangan, kesalahan, serta kealpaan kita. Masuk ke saf Baginda Nabi Muhammad SAW, fokus menyimak sabda mulianya sambil menahan lisan kita, dan berbicara manis di pertemuan manis ini, fokus pada pembahasan di dalamnya, dan berusaha memahami sabda-sabdanya. Rasulullah SAW melakukan mikraj, Salat adalah buah mikraj. Di mikraj, salat adalah hadiah Allah SWT untuk umatnya Nabi Muhammad SAW.

Di serah terima hadiah salat terjadi transaksi jual beli. Rasulullah mengirimkan salam kepada Allah SWT, Allah SWT menerima salam Baginda Nabi. Peristiwa tersebut terjadi di tempat dan kedudukan yang tak bisa dicerna dan dibayangkan oleh akal. Dan ketika peristiwa itu terjadi, sambil berlindung dan berseru untuk meminta perlindungan Nabi, Kita berusaha untuk memfokuskan diri pada suara dan kata-kata ini.

Rasulullah memberi salam kepada Allah, Allah SWT membalas salam Baginda Nabi

Ibadah yang kami lakukan dengan segenap tubuh dan sel-selnya kami persembahkan untukMu!

Segala yang kami habiskan dari harta yang kami kumpulkan semuanya untukMu, demi keridaanMU!

Semua ibadah badani dan materi kami peruntukkan untukMu, Ya Allah!

Segala sesuatu yang kulakukan dengan segala pemberianMu, dijalanMu, kulakukan untukMu!

Untuk bisa menunjukkan kesetiaan pada janjiku, aku mengirim salam di hadapanMu

Allah membalas salam tersebut:

“Duhai Nabi yang Agung! Salam juga untukmu!”

السَّلاَمُ عَلَيْكَ اَيُّهَا النَّبِيُّ وَرَحْمَةُ اللهِ وَبَرَكَاتُهُ

Salam dijawab dengan salam, sebagaimana salam ‘assalamualaikum’ dari seseorang dijawab ‘wa’alaikumsalam’ oleh kawannya. Zat Uluhiyat dengan kesempurnaan hikmahNya membalas salam Nabi Muhammad SAW:

Semoga salam, rahmat, berkah, salam, dan penjagaan Allah keselamatan dari kesusahan dan kesulitan di dunia dan akhirat ketenteraman dan kebahagiaan tercurah untukmu”

Kita dan para malaikat menyaksikan dan berusaha menyimak perbincangan ini, para malaikat menambahkan suatu harmoni ke dalam simfoni manis ini. Semua permukaan langit dan bumi seakan berdering gemerincing berseru:

أَشْهَدُ اَنْ لآ إِلَهَ إِلاَّاللهُ

Kami bersaksi bahwasanya satu-satunya Zat yang layak dan mutlak disembah hanya Engkau, Ya Allah!

Engkaulah Sesembahan di langit dan di bumi, Ya Allah!

Engkaulah Pencipta dan Pemberi Makna, Ya Allah!

Engkaulah Yang Mahamelihat dan Mahamendengar, Ya Allah!

Engkaulah ahsanul khaliqin!

Kami bersaksi dengan penuh kesadaran bahwa Engkaulah Zat yang mutlak layak disembah!

وَاَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُوْلُ اللهُ

Dan kembali kami bersaksi, bahwasanya Nabi Muhammad SAW adalah utusanMu yang agung!

Beliau telah memenuhi hak dari tugasnya, Beliau meraih kedudukan sebagai imamnya umat manusia dan juga dengan mikraj salat, membawa mereka ke hadapan Allah. Semoga Allah SWT yang Mahasuci berkenan menganugerahi kita salat dengan kesadaran ini di duduk tahiyat.

Tahiyat berasal dari impian dan harapan akhir dari Mikraj. Tahiyat ibarat pengabadian kenaikan kedudukan hamba karena penghambaanya kepada Allah. Kalbu dengan semangat ini, dengan kepekaan dari semua indra, manusia seakan fokus padanya dengan segala atributnya. Meninggalkan jasmani, berpisah dengan badani, hingga hanya tersisa ruh dan kalbunya saja ketika menunaikan penghambaan yang layak dengan keagungan Rabbnya yang Mahabesar. Semoga Allah menganugerahi kita penunaian salat dengan hawa dan atmosfer seperti ini.

alvaro-reyes-507651-unsplash

HARMONISASI PEMIKIRAN DAN AKSI

Harmonisasi Pemikiran dan Aksi

(Diterjemahkan dari artikel yang berjudul ‘Düşünce-Aksiyon İçİçeliği’, Dari buku Kırık Testi 11: Yaşatma Ideali)

Tanya: Rencana kegiatan yang baik disebut sebagai salah satu disiplin yang mempengaruhi kesuksesan sebuah program. Di sisi lain, dikatakan bahwasanya sebuah aksi berawal dari keberadaan pemikiran.  Bagaimana kita harus memahami dan mempraktikkan kedua hal tersebut?

Jawab: Setiap individu yang berkeinginan untuk memberikan manfaat duniawi dan ukhrawi pada umat manusia, agar manfaat yang diberikan bisa berumur panjang, maka semua kegiatan dan pekerjaan yang akan diimplementasikan harus didasarkan pada rencana program yang baik dan  memiliki tolok ukur yang jelas. Bagi orang beriman sudah jelas, tolak ukur mereka adalah adilla-i arbaah[1], yaitu Al Quran, sunnah, ijma umat, serta qiyas fukaha. Selain itu, juga terdapat adilla-i ta’liyah atau adilla-i zamaniyah yang terdiri dari maslahat, istihsan, dan urf. Keputusan yang didasarkan padanya disebut ijtihad dan istinbat[2]. Akan tetapi, perlu diketahui bahwasanya ijtihad dan istinbat hanya dapat dihasilkan dari evaluasi secara mendalam atas poin-poin kriteria yang terdapat dalam sumber-sumber rujukan. Para mujtahid kiram yang mulia tidaklah menetapkan hukum dari kepala mereka sendiri, tidak“min indi anfusihim”[3]. Istilahnya dalam kaidah ushul fikih[4], para mujtahid dengan bersandar kepada maqisun alaih[5]lalu melakukan qiyas atau ijtihad atasnya. Harus kita katakan bahwa  sosok-sosok agung tersebut telah menyelesaikan pekerjaan besar yang amat sulit dengan penuh ketelitian dan kepekaan.

Rencana Ringkas

Kita kembali pada topik awal. Ya, di awal kita harus membuat rencana yang mengikuti tolak ukur tertentu. Akan tetapi, al fakir[6] selalu melihat rencana tersebut sebagai sebuah rencana ringkas. Sebagaimana manusia ketika pertama kali beriman, awalnya ia masuk ke wilayah iman dengan pengetahuan yang ringkas. Maksudnya, di awal dengan pengetahuan yang ringkas: “Allah itu hak keberadaannya. Dialah Sang Khaliq A’zham[7] dan Khaliq Aalam[8]” lalu seseorang menerima iman. Seiring berjalannya waktu dan bertambahnya usia, kematangan, serta pengetahuan, seseorang akan mampu menjelaskan iman dengan berbagai argumentasinya; dengannya ia akan menemukan kedalaman dalam beriman.

            Baik, lalu apa sebenarnya rencana ringkas yang Anda maksud? Dalam diri seorang mukmin, terdapat nilai-nilai dasar yang diyakini dan dipahaminya. Seorang mukmin berkeinginan agar nilai-nilai dan keindahan-keindahan iman yang diyakininya diketahui orang lain. Ia seakan senantiasa bersyair: ‘Seandainya masyarakat dunia mencintai apa yang kucintai / Seandainya semua kata dan kalimat hanya membahas kekasihku..!’(Taslicali Yahya). Syair tersebut menunjukkan ringkasan pemikiran dan keinginan seorang mukmin untuk mengenalkan nilai dan keindahan dari apa yang diimaninya kepada seluruh umat manusia, kepada seluruh kalbu yang berada di muka bumi. Akan tetapi, setiap wilayah geografi memiliki kriteria, lingkungan budaya, serta adat istiadat yang unik. Dengan mempertimbangkan faktor-faktor tersebut lalu bagaimana caranya agar kita berhasil merangkul masyarakatnya akan bergantung pada pemikiran yang detail serta rencana dan program yang mendetail. Inilah yang kami maksud dengan ‘pemikiran yang mendahului aksi’. Maksudnya, informasi ringkas yang dimiliki harus dikonversi menjadi pelaksanaan dari apa yang sudah direncanakan dan diprogramkan, yaitu menjadi gerakan dan aksi nyata. Walhasil, melakukan bimbingan dan pendampingan atas rencana dan pemikiran yang detail ada di posisi awal sebelum akhirnya gerakan dan aksi nyata dilakukan.

Mereka adalah Para Pewaris Rasullallah

Mari kita buka pembahasan ini lebih detail lagi. Katakanlah Anda pada hari ini meyakini sepenuh hati sistem nilai dari langit yang dihadiahkan kepada umat manusia ini. Anda benar-benar merasakannya meresap secara mendalam. Sebagai hasil dari iman yang meresap semakin dalam pada diri Anda, bagaikan orang yang cinta buta, Anda berkeinginan untuk memperdengarkannya kepada seluruh dunia. Dalam melakukannya, propaganda, misioner, memaksakan agama Anda untuk diyakini orang lain, dan tidak memiliki bagian dalam tujuan Anda. Namun, saat Anda tidak mampu mewakili agama yang Anda yakini dalam setiap sikap dan tingkah laku Anda, maka Anda tidak akan mampu menuai hasil kecuali menipu diri. Oleh karena itu, dikatakan: “Tinggalkan semua penjelasan-penjelasan Anda. Cukup penjelasan tersebut diwakili oleh tingkah laku Anda. Biarkan kesempurnaan serta kematangan yang terpancar dari sikap dan tingkah laku Anda mempengaruhi nurani lawan bicara Anda. Jadikan mereka yang melihat dan memperhatikan Anda, lewat perilaku, gerak-gerik, cara pandang serta cara berbicara Anda, kemudian mengingat Allah, dan selalu menyebut namaNya”; sehingga penilaian seperti:”Apa yang disampaikan orang ini bukan omong kosong. Setiap langkah mereka tidak ada yang sia-sia”  akan terfermentasi  di setiap hati orang-orang yang menyaksikan Anda. Mereka yang berdiri di atas kaidah-kaidah kokoh dan diamanahkan kepada sandaran yang tangguh, walaupun terjadi gempa sebesar 10 skala Richter sekalipun, mereka tidak akan ambruk karenanya. Teknik kata-kata sesempurna dan sepenuh sastra sekalipun tanpa didalami oleh representasi dari kata-kata yang disampaikannya akan luluh lantak diguncang gempa walau hanya berkekuatan 3 skala Richter. Oleh karena itu, dapat dikatakan jika kata tidaklah terlalu penting. Kata, selama menjadi ungkapan dari sifat dan tingkah laku pengucapnya, maka ia memiliki nilai yang mulia. Ketika ia telah menjadi tabiat dari seseorang, atau saat seseorang telah mampu menjadi representasi dari kedalaman tabiat dan budi pekerti yang luhur, maka ia akan membangkitkan rasa penasaran lawan bicaranya, ia pun akan mampu mempengaruhi orang di sekitarnya. Misalnya, Anda tidak membiarkan hal haram walau sebesar biji wijen terusap di atas tangan Anda. Meskipun Anda berada dalam keadaan amat terdesak sekalipun, Anda tetap berpegang teguh pada prinsip Anda. Anda lakukan sekali, dua kali, tiga kali, hingga akhirnya keadaan Anda tersebut mendapat perhatian dari orang lain. Bukankah ketika Bediuzzaman Said Nursi sedang menyebrangi selat Golder Horn di Istanbul bersama Sayyid Taha dan Haji Ilyas, beliau senantiasa menundukkan dan menahan pandangannya. Ketika Sayyid Taha dan Haji Ilyas menyampaikan ketakjubannya, Bediuzzaman menanggapinya dengan jawaban:”Aku tidak menginginkan penderitaan dan penyesalan akibat kelezatan sementara yang tidak terlalu penting namun diliputi dosa”[9].

            Menampilkan budi pekerti yang demikian sepanjang umur kehidupan amatlah penting. Ya, setelah 40 tahun mereka mengamati gerak-gerik Anda, mereka akan memberikan kesaksian:’Luar biasa! Orang-orang ini benar-benar layak menjadi pewaris Nabi! Mereka memiliki sifat-sifat Baginda Nabi seperti ismah[10], sidik, amanah, tablig, dan fatanah. Oleh karena tidak ada Nabi setelah Baginda Nabi Muhammad SAW, maka mereka pastilah pewarisnya!’

Apalagi di masa di mana wajah cemerlang Islam berusaha diburamkan, maka Anda harus mengerahkan segala daya dan upaya untuk mampu menjadi representasi sejati dari nilai-nilai agama yang Anda sandang demi memperbaiki kesalahpahaman orang awam terhadap agama kita. Misalnya, Anda harus menjelaskan bahwasanya perbuatan seperti bom bunuh diri, mengumumkan perang sembari menyembelih kepala sandera, melontarkan satu dua roket ke sasaran yang terdiri dari orang-orang tak bersalah padahal ia idak memiliki kekuatan yang mumpuni,  tidaklah sesuai dengan identitas seorang muslim. Islam tidak meninggalkan tempat kosong dalam setiap bidang kehidupan. Islam telah menjelaskan dengan sangat jelas bagaimana berjuang melawan kezaliman dan ketidakadilan lewat jalan yang legal dan benar. Misalnya, dalam Perjuangan Kemerdekaan Turki (Istiklal Mucadele), pemerintah membentuk suatu komisi dan mereka memutuskan untuk mengumumkan perang. Setiap individu pun sebagai anggota masyarakat mentaati dan memenuhi panggilan untuk berjuang ini. Semua warga negara dari segala penjuru bangkit memenuhi panggilan ini. Mereka pun berjuang dengan legal.

            Demikianlah. Anda harus memiliki rencana menyeluruh untuk menunjukkan kepada dunia betapa cemerlangnya wajah Islam yang dikotori oleh pihak-pihak tertentu ini. Ketika kita mengatakan menyeluruh, maka yang dimaksud darinya adalah lewat usaha kita dalam merepresentasikan Islam dengan sebaik-baiknya, kita berkewajiban untuk membuat masyarakat nantinya berkata:’Ternyata muslim-muslim yang hakiki masih tersisa!’. Tentu jika kita mengharapkan pujian ini ditujukan kepada kita, maka itu adalah perbuatan riya. Namun jika pujian itu memiliki tujuan yang ditujukan kepada kemuslimannya, maka ia adalah kewajiban. Ya, menampilkan identitas kemusliman asli  dan hakiki ke seluruh penjuru dunia merupakan hutang budi kita kepada Manusia Kebanggaan Alam shallallahu alayhi wasallam serta para Khulafaur Rasyidin radhiyallahu anhuma. Wajah Islam yang berkabut, tertutup asap hitam, dan berkarat harus dihapus. Singkatnya, kita harus menampilkan kemuslimanan sejati  yang cemerlang dan gemilang. Itulah hakikat dari kewajiban yang digantungkan di leher kita sebagai seorang muslim.

            Misalnya lewat aktivitas membuka sekolah dan pusat kebudayaan di berbagai tempat di seluruh dunia, sambil membangun jembatan dan sarana untuk mendidik siswa-siswa, serta mengirimkan siswa-siswa untuk mengunjungi keluarga para wali murid secara silang; atau misalnya lagi dengan memanfaatkan momen spesial seperti membuat bubur asyura, borek, kunefe di hari asyura dan membagikannya ke tetangga-tetangga kita, dengan menjelaskan bahwa ini semua adalah bagian dari budaya orang Turki kita berusaha menutup lubang antara kita dengan lawan bicara kita yang muncul  akibat terjadinya salah pengertian. Lewat aktivitas tersebut kita akan mampu mendekatkan jarak serta membangun jembatan antara kita dengan lawan bicara yang mungkin berasal dari budaya dan agama yang berbeda.  Dengan jalan tersebut, yaitu dengan membangun jembatan yang menyambungkan daratan yang dipisahkan oleh sungai-sungai; dengan membangun terowongan yang menembus gunung-gunung; sekali lagi kita bersiaga untuk merengkuh kalbu umat manusia serta memperkenalkan mereka kepada Penciptanya, Allah Subhanahu wa ta’ala, lewat jalan yang lebih fitri sembari menyingkirkan hal-hal yang menghalangi kalbu untuk mengenalNya.

Gagasan Alternatif serta Berbagai Proyek Kemanusiaan

Ya, orang-orang di daerah dimana Anda pergi ke sana, disadari atau tidak, akan mengamati setiap gerak-gerik serta detak jantung Anda. Misalnya, beberapa orang yang berniat buruk datang ke negara-negara tempat Anda mengabdi untuk kemudian menemui masyarakat di negara itu dan mulai menjelek-jelekkan Anda. Saat itu, masyarakat negara tersebut akan menjawab:’Kami mengamati orang-orang ini selama sepuluh tahun. Kami tidak menemukan sedikitpun dari apa yang kalian sampaikan terdapat pada diri mereka. Kami tidak menemukan aritmea[11] pada diri mereka. Detak jantung meraka selalu sama.’ Sebagaimana disaksikan bersama lewat respon tersebut, mereka seakan sedang melindungi Anda. Seandainya di beberapa tempat terdapat kebuntuan, sebabnya adalah ketidakmampuan dalam menjelaskan jati diri kita, atau ketidaksempurnaan kita dalam menggambarkan jati diri kita. Di sini kita perlu memperhatikan satu hal: Setiap saat kita harus memiliki rencana dan program alternatif yang dapat membalik hasil negatif yang tadinya tidak kita perkirakan menjadi hasil yang positif.

             Ya, mengevaluasi kembali kondisi terkini pada saat faktor-faktor penentu berubah untuk kemudian membuat rencana dan proyek alternatif berdasarkan faktor-faktor penentu terkini itu kita sebut sebagai perencanaan menyeluruh. Di waktu yang sama, ia juga dapat disebut sebagai pemikiran yang berdasarkan pada aksi. Ya, di satu sisi rencana menyeluruh, di sisi lain Anda harus memiliki informasi utama yang mana gerakan dan kegiatan Anda dibangun atasnya. Di sisi lain,  Anda juga harus meninggalkan ujung yang terbuka pada perubahan zaman. Anda juga harus memiliki rencana dan proyek alternatif yang nantinya dipraktikkan sesuai perubahan kondisi dan faktor terkini. Dengan mempertimbangkan ragam kebudayaan, bahasa, agama, pemahaman, serta respon masyarakat atas setiap peristiwa, setelah Anda mengenal masyarakatnya, sembari beraksi Anda harus dapat mengatakan:”di sini program A bisa dibuat, di sana lebih cocok untuk membuat program B.” Anda harus dapat merancang berbagai program alternatif sesuai kondisi negara atau wilayah Anda dimana Anda mengabdi, dan atas izin serta inayah dari Allah, Anda harus mampu mengembangkan sistem berpikir baru yang sesuai dengan kondisi masyarakat di sana.

            Kesimpulannya, orang yang biasanya berpikir sederhana dan dangkal akan berpikir sangat luas dan dalam. Meminjam istilah Ziya Gokalp ketika mengekspresikan kebodohan, mereka yang di awal berpikir dangkal dan sederhana, saat menuju akhir, mereka mulai berpikir lebih menyeluruh – Anda bisa menambahkan dengan istilah lain juga – dan akhirnya setelah ini mereka akan berpikir lebih matang lagi. Maksudnya, saat berpikir dan menganalisis suatu masalah, kalian akan memiliki keluasan ufuk dengan mempertimbangkan berbagai alternatif sembari berkata:”seperti ini juga bisa, dibuat seperti itu juga bagus, tapi seperti yang lain pun juga bisa.” Semua ini adalah faktor-faktor yang perlu ditelaah terkait pembahasan rencana dan proyek menyeluruh.

[1] Adilla-i arba’ah adalah dalil-dalil yang djadikan rujukan dalam ilmu fikih. (Penerj.)

[2] Istinbat adalah pengungkapanmakna tersembunyi dari sebuah permasalahan yang dilakukan oleh mujtahid atau alim besar melalui tatqiq sumber-sumber yang ada secara mendalam. (Penerj.)

[3] Dari pendapatmereka sendiri. (Penerj.)

[4] Metodologi fikih. (Penerj.)

[5] Sesuatu yang asli, yang atasnya dilakukan qiyas. (Penerj.)

[6] Maksudnya al fakir di sini adalah penulis, yaitu M. Fethullah Gulen. (Penerj.)

[7] Pencipta Yang Maha Besar. (Penerj.)

[8] Pencipta Alam Semesta. (Penerj.)

[9] Biografi Bediuzzaman Said Nursi, Bab Kehidupan Emirdag

[10] Terjaga dari dosa

[11]Cardiac arrhythmia, istilah yang digunakan untuk merujuk pada perubahan sekuens normal dari detak jantung manusia, dapat dipahami juga sebagai ritme detak jantung yang tidak normal. Dalam tulisan ini mungkin ditujukan pada detak jantung tidak normal orang-orang yang berbohong atau berpura-pura yang bisa tertangkap oleh lie detector.

tanah

Prinsip ke-2 : Berlaku Tawaduk

“Prinsip ke-2 : Berlaku Tawaduk”

Said, layaknya tanah ia wajib memiliki sifat seperti kerendahan hati, meninggalkan akuisme, dan ketawadukan mutlak; Jangan sampai kekurangannya mencemari Risalah Nur dan meremukkan pengaruhnya.

Lampiran Kastamonu, halaman 13

Penjelasan:

Al Quranul Karim dengan maknanya yang menyeluruh bersuara kepada segala masa dan kepada setiap manusia dari beragam derajat dan kedudukan yang hidup di setiap masa tersebut; di dalam makna-makna isyaratnya yang menyeluruh dengan makna parsialnya, ayat tentang tayamum[1] “فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدٗا” juga memberikan perhatiannya kepada masa dan pengabdian kita. Kata “ صَعِيدٗا /Sha’idan” disini (dengan huruf shad) yang bermakna tanah mengisyaratkan Said (dengan huruf sin). Kata yang mengisyaratkan penggunaan huruf ‘sin’ di dalam Al Quran juga terdapat pada kata “بَصۜۡطَةٗۖ/bashthatan” di Surat al A’raf ayat ke-69.

Demikianlah, kata “صَعِيدٗا /Sha’idan” yang memiliki makna ‘tanah’, seakan memberi pesan isyarat kepada Ustaz:’Said, milikilah kerendahan hati layaknya tanah; tinggalkanlah akuisme; berlakulah tawaduk secara mutlak. Karena risalah nur merupakan ungkapan indah lagi bersih  yang terperas dan tertapis dari Al Quran, ia bagaikan telaga kautsar dari samudera Al Quran. Agar telaga tersebut tidak tercemari dan pengaruhnya tidak terkurangi, maka ia harus hidup dengan kekhususan-kekhususan tersebut. Sesungguhnya Ustaz sendiri telah menampakkan keindahan dari karakter-karakter ini setiap saat sebagai sesuatu yang diperlukan oleh fitrahnya.

Diterjemahkan dari buku Seputar Panduan Berkhidmah, oleh Bediuzzaman Said Nursi.

Pemilihan artikel dan penjelasan oleh Abdullah Aymaz.

Sumber: Aymaz, Abdullah, 2010, Hizmet Rehberi Uzerine, Istanbul: Sahdamar Yayinlari, hlm. 12

[1] QS Al Maidah 5:6 maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci)

Desain tanpa judul

Waktunya Mendengarkan Ruh Kita: Tiga Bulan Suci (Rajab, Sya’ban, Ramadhan)

“Waktunya Mendengarkan Ruh Kita: Tiga Bulan Suci (Rajab, Syaban, Ramadhan)”

Tanya: Untuk bisa mendengarkan gairah tiga bulan suci di dalam jiwa kita, serta agar kita dapat memanfaatkan secara maksimal amosfer maknawi dan rohani tiga bulan suci tersebut, apa saja nasihat dari Anda?

Jawab: Sebelum sampai pada jawaban pertanyaan, perlu saya sampaikan kembali bahwasanya pada tiga bulan suci ini manusia memiliki kesempatan terbaik untuk bisa lebih dekat kepada Allah SWT, meraih rahmatNya yang luas, melepaskan diri dari cengkeraman dosa dan melakukan perjalanan ruh dan kalbu di dalamnya. Dalam usaha tazkiyatun nafs atau pembersihan jiwa, untuk mentarbiyah ruh dan membersihkan kalbunya, manusia memang pada dasarnya membutuhkan sebuah periode rehabilitasi samawi setiap tahunnya. Tiga bulan yang penuh berkah ini merupakan periode waktu paling penting dalam usaha rehabilitasi  tersebut.

Tidak ada keraguan bahwasanya manusia memerlukan tafakkur dan tazakkur yang amat serius agar dalam periode waktu yang penuh berkah ini mereka dapat meninggalkan beban jasmani dan nafsu syahwatnya sehingga mereka pun bisa berhasil naik ke ufuk yang lebih tinggi. Namun ketika melakukannya, mereka harus senantiasa membuka kalbu dan ruhnya ke sisi maknawi. Maksudnya, ia di satu sisi dengan akal dan pikirannya harus berusaha memahami topik-topik seputar iman dan Al Quran lewat aktivitas muzakarah; di sisi lainnya, ia juga harus berusaha meraih tetes demi tetes hujan maknawi yang sedang turun dengan derasnya dalam periode waktu yang penuh keberkahan tersebut.

Tawajjuh Ilahi Harus Dibalas dengan Tawajjuh Lagi

            Betapa banyak tokoh agama yang menggambarkan keutamaan periode waktu ini dengan berbagai penjelasannya yang indah. Betapa banyak ungkapan yang mereka gunakan untuk menarik hati kaum yang beriman agar bersemangat meraih banyak keutamaan dalam tiap siang dan malam yang mengiringinya. Agar mampu mendengar serta memahami keberadaan dan keutamaan dari tiga bulan yang penuh berkah ini, adalah sangat penting bagi kita meluangkan waktu  untuk menganalisis karya-karya para ulama besar yang mengulas keutamaan bulan-bulan ini, lalu mencerna setiap kata yang digunakan di dalamnya dengan metode muzakarah. Ya, agar kita mampu mengambil manfaat secara maksimal dari karya-karya tersebut, kita harus menjauhi cara membaca biasa yang hanya menampakkan permukaannya saja; kita harus mengetahui cara membuka kedalaman setiap topik yang dibahas di dalamnya. Jika jiwa dan pikiran kita tidak dipersiapkan,  tidak mungkin kita dapat meraih manfaat maksimal dari setiap pembahasan yang kita baca dan dengarkan seputar kemuliaan tiga bulan ini.

            Selain itu, untuk dapat merasakan kelezatan dan keindahan khusus yang dimiliki periode waktu ini secara sempurna di dalam hati kita, di awal kita harus  mengetahui dan menyadari bahwa tiga bulan mulia ini adalah “bulan-bulan ghanimah”, lalu diikuti dengan tekad untuk tidak menyia-yiakan setiap detik yang berlalu dalam siang dan malamnya. Misalnya, bagi mereka yang tidak bertekad untuk menemui Tuhannya di waktu sepertiga malam terakhir serta bagi mereka yang tidak meneguk kesadaran untuk memuliakan waktu malamnya; tidak mungkin mereka dapat merasakan dan menikmati keindahan mendalam yang mengiringi tiga bulan mulia ini. Ya, jika mereka memasuki bulan-bulan mulia ini dengan tegangan metafisik yang tinggi; tidak menyerahkan dirinya dalam suatu penghambaan yang serius; dan tidak menyeburkan diri ke dalamnya; walaupun keutamaan yang dibawa oleh bulan mulia ini ditumpahkan seperti gelas penuh berisi air yang dibalik, mereka tidak akan mampu mendengar dan merasakannya. Bahkan mereka bisa menganggap orang-orang yang sibuk mengumpulkan dan meraih keutamaan bulan mulia ini sebagai fantasi belaka.

            Ya, kemampuan mendengar ilham yang mengalir dengan derasnya di hari-hari yang penuh berkah tersebut sangat berkaita dengan sejauh mana kita meyakini dan bertawajjuh kepadanya. Karena tawajjuh harus dibalas dengan tawajjuh lagi. Jika Anda tidak bertawajjuh atau mengalihkan pandangan kita kepada ruh dan makna dari bulan-bulan yang istimewa ini, mereka pun tidak akan membukakan pintunya kepada Anda. Bahkan ungkapan dan penjelasan terbaik seputar keutamaan tiga bulan mulia ini pun bisa jadi hanya bernilai seperti seonggok jasad tak bernyawa nan redup tak bercahaya di mata Anda. Penjelasan Ibnu Rajal al Hanbali yang menyentuh dawai hati ataupun penggambaran Imam Ghazali yang mengguncang kalbu pun akan memberi efek kebalikan di hati Anda. Mungkin Anda akan mengatakan:”Ngomong apa sih mereka?!” lalu pergi dan mengabaikannya. Karena kekuatan pengaruh dalam setiap kata, selain bergantung pada nilai yang dibawa oleh pilihan katanya, juga dipengaruhi oleh perspektif, niat, sera keterbukaan pikiran dan perasaan pendengarnya terhadap masalah yang dibahas.

            Dengan demikian, umat manusia harus menyadari pentingnya tiga bulan tersebut, sampai-sampai mereka pun berubah menjadi bulan rajab, syaban, dan ramadhan itu sendiri. Demikian sempurnanya mereka melebur di dalamnya, sehingga mereka pun mampu mendengar apa yang dibisikkan bulan suci ini kepada jiwa manusia. Jika tidak maka Anda tetap menjadi Anda yang tidak berkembang, tidak mampu melepaskan diri dari superfisial; kata penjelasan dan pembahasan terbaik seputar keutamaan bulan mulia nan agung ini pun hanya akan masuk ke telinga kanan, dan keluar lewat telinga kiri Anda. Mereka yang tidak menghormati bulan ini; mereka yang tidak memiliki semangat dan tekad untuk memperbaharui diri mereka di musim ghanimah ini; mereka yang tidak mampu menangkap keseriusan dalam setiap sikap dan perilakunya; mereka yang demikian akan sulit mendapat manfaat dan kemuliaan dari bulan-bulan yang mulia ini.

Program-Program yang Cocok diadakan di Waktu Mulia ini

            Terkait topik ini, terdapat sisi dimana ia diterima oleh pandangan masyarakat secara umum. Adalah sebuah fakta bahwasanya kedalaman dan keluasan makna dari bulan-bulan mulia ini hanya bisa didengar serta dirasakan oleh ufuk ruh dan kalbu yang secara istimewa dimiliki pribadi-pribadi tertentu. Namun, juga merupakan sebuah kenyataan bahwasanya masyarakat secara umum juga menyambut serta mengagungkan berkah dan nilai dari bulan-bulan mulia ini, dimana mereka berbondong-bondong ke masjid dan mengarahkan diri mereka kepada Allah subhanahu wa ta’ala untuk menyambut kedatangannya.  Dengan mempertimbangkan keadaan tersebut, penyelenggaraan berbagai program dan aktivitas di bulan-bulan mulia ini dapat dijadikan sebagai sarana penting dalam usaha menyampaikan pesan Ilahi  ke dalam hati manusia. Program dan kegiatan yang sesuai dengan nafas agama dapat diselenggarakan untuk mengisi malam-malam mulia seperti Ragaib, Isra Mikraj, Nisfu Syaban, Nuzulul Quran, dan Lailatul Qadar. Lewat jalan tersebut, kita bisa memaksimalkan malam-malam tersebut sebagai sarana untuk memperdengarkan hakikat agama ke setiap kalbu dan mendekatkan umat manusia kepada Penciptanya, yaitu Allah subhanahu wa ta’ala. Sebagaimana hakikat ini bisa disampaikan kepada hati manusia lewat beragam program yang diselenggarakan di masjid, ia pun bisa disampaikan dengan berkumpul dan menyelenggarakan berbagai majelis sohbet dan muzakarah di tempat-tempat lainnya. Dengan jalan demikian, tawajjuh serta harapan orang-orang beriman untuk bisa meraih keberkahan dan keutamaan di bulan-bulan mulia ini bisa difasilitasi dengan tepat.

            Sebelumnya, jika diperkenankan, saya ingin menarik perhatian Anda terkait satu hal yang saya pandang penting terkait dengan penyelenggaraan program di waktu-waktu mulia tersebut. Visi dari setiap program yang kita fasilitasi haruslah bertujuan untuk membuat pikiran dan perasaan manusia selangkah lebih dekat kepada Penciptanya. Jika program-program yang mana kita disibukkan dengannya tersebut tidak menjadikan kita sebagai pemandu bagi tercapainya tujuan tersebut, artinya kita sedang sibuk dengan hal-hal hampa dan tak berarti. Ya, jika program-program yang kita selenggarakan tidak menyampaikan hakikat dari Sang Pencipta, jika ia tidak membuat orang-orang selangkah lebih dekat dengan Junjungannya shallallahu alayhi wasallam; bahkan jika ia hanya dirancang untuk memuaskan nafsu manusia belaka supaya dikatakan: “betapa indahnya waktu yang kita habiskan disini,” bisa jadi kita telah menyia-nyiakan waktu, bisa jadi kita berdosa karenanya. Semua jalan yang tidak mengantarkan pejalannya menuju Allah subhanahu wa ta’ala da dan  Junjungan kita shallallahu alayhi wasallam adalah ‘penipuan.’ Dan memang tugas dan pekerjaan dari mereka yang kalbunya beriman bukanlah untuk menghibur orang-orang dengan festival belaka.

Sebagai tambahan, perlu untuk disadari bahwa orang-orang di zaman modern ini mempunyai gaya hidup yang condong pada program yang bersifat hiburan. Untuk alasan ini, respon positif mereka bisa jadi menipu. Dengan melihat respon positif mereka, bisa jadi Anda berpikir telah melakukan pekerjaan yang baik. Padahal kriteria utama kita bukan sekadar pada bagaimana membuat mereka senang, melainkan apakah yang kita lakukan tersebut sudah sesuai dengan kriteria Al Quran dan sunnah atau belum. Berkenaan dengan hal ini, meskipun acara-acara tersebut nantinya tidak didatangi banyak orang, Anda harus selalu mengejar kebenaran. Dengan kata lain, hal yang paling penting tidak terletak pada pujian dan tepuk tangan orang-orang. Melainkan apakah program tersebut berisi hal-hal yang berarti bagi perkembangan kehidupan spiritual kita atau tidak.

Pada waktu yang penuh berkah ini, ketika langit dipenuhi anugerah dan di bumi terhampar hidangan-hidangan langit, kita haruslah terus menunjukkan kepada orang-orang jalan untuk memperdalam dan meningkatkan kualitas kehidupan spiritual mereka; kita harus mengejar tujuan ini di setiap hal dan program yang kita selenggarakan. Kita harus mampu menyampaikan arti dan semangat baru pada orang-orang setiap saat. Dengannya kita membantu mereka mengibarkan layar perahunya untuk mengarungi cakrawala maknawi tanpa batas.

Untuk mewujudkannya, barangkali nasyid, syair, kasidah, dan puji-pujian kepada Allah dan RasulNya bisa disenandungkan. Komposisi dan melodi baru pun bisa diciptakan. Apapun itu, yang terpenting kita harus selalu memicu kerinduan akan kehidupan abadi yang bahagia pada semua peserta yang hadir ke program-program kita. Tak cukup dengan itu, kita juga harus menghembuskan rasa khawatir akan kehilangan kebahagiaan abadi tersebut. Pada kesimpulannya, kita harus senantiasa memberi pengingatan dan peringatan pada ruh spiritual setiap insan yang menjadi lawan bicara kita.

Akhirnya, masjid-masjid, jamaah-jamaah, hari-hari jumat, malam-malam di bulan rajab, syaban, dan ramadhan, malam ragaib, isra mikraj, nisfu syaban, nuzulul quran, dan lailatul qadar harus menjadi sarana bagi kita untuk mengarahkan umat manusia bertawajjuh kepada Allah  subhanahu wa ta’ala. Semua kegiatan yang disusun di waktu-waktu yang suci ini, harus diarahkan untuk mewujudkan tujuan mulia dan agung tersebut.

(Diterjemahkan dari ‘Ruhumuzu Dinleme Zamani:

Uc Aylar’ dari buku Kirik Testi 13: Mefkure Yolculugu)