ilustrasi-potret-said-nursi-_mengembangkan_diri

Teladan Kehidupan: Sang Badiuzzaman

Kaitannya dengan pengabdian agama, Bediuzzaman adalah salah satu tokoh utama yang patut dijadikan sebagai teladan umat. Beliau berpendirian bahwa mengabdi kepada agama Allah harus menjadi tujuan utama setiap manusia. Beliau tetap bersiteguh dengan keyakinan ini dan tidak pernah menyimpang sedikit pun.

Satu contoh ringan misalnya, tatkala berada di pengadilan Eskişehir, seorang hakim bertanya kepada semua hadirin tentang pekerjaan, dan saat giliran beliau tiba,

Beliau lantas berdiri dan dengan lantang berkata, “Pekerjaanku adalah mengabdi kepada agama Allah.”

Bediuzzaman adalah sosok terhormat yang dengan tulus mengorbankan kehormatan, kebanggaan, jiwa, raga, dan kehidupannya untuk mengabdi kepada Alquran. Meskipun beliau telah menerima segala bentuk pelecehan dan penyiksaan, beliau tidak pernah mengambil langkah mundur dalam menjalankan tugas suci ini.

Bediuzzaman meninggalkan segala kenikmatan duniawi demi berkhidmat di jalan agama, menjauhkan diri dari mengumpulkan harta sebab beliau hidup dalam lingkaran rasa syukur, rasa takut kepada Tuhan, dan juga kesalehan. Beliau menghabiskan setiap menit cahaya kehidupannya dalam cengkeraman masalah dan rintangan lantaran mengamalkan Alquran. Hatinya akan terbakar disebabkan melihat kehancuran umat di tangan kekufuran dan ketidakpedulian.

Beliau selalu terlibat dalam setiap kegiatan yang tujuan utamanya berkutat pada: “mengabdi kepada agama”, menyelamatkan umat Muhammad SAW dan memenuhi kalbu masyarakat dengan rasa syukur.

Di saat begitu banyak orang yang berusaha memenuhi kepentingan pribadinya dan mencari kedudukan dunia yang tinggi, beliau justru mendedikasikan jiwanya untuk menyelamatkan umat dan menganggap hal ini sebagai misi terbesar di jagat raya. Karena sebab mulia inilah, beliau berhasil mempublikasikan buku, meskipun ditulis saat berada dalam kondisi tersulit dalam kehidupan beliau. Melalui Risalah Nur, beliau secara ilmiah mengawali penentangan terhadap materialisme, suatu paham yang menjadi musuh agama Islam. Beliau mampu menyesuaikan gagasan persatuan, kebangkitan umat, risalah kenabian, keadilan, takdir, dan analisis agama yang notabenenya berada dalam ujung kehancuran.

Bediuzzaman adalah seseorang yang tekun dalam memberikan aksi nyata, beliau begitu menderita melihat problematika yang dihadapi dunia Islam dan kemanusiaan. Beliau adalah seorang pahlawan pengabdian yang mengorbankan dirinya kepada nilai-nilai yang selama ini beliau percaya. Beliau tidak pernah gentar untuk menyatakan dengan lantang bahwa keyakinan yang dianutnya adalah suatu kebenaran. Beliau adalah seseorang yang sudah pernah diracun berulang kali, hampir dieksekusi mati, pernah dihadapkan pada segala bentuk pelecehan dalam suramnya penjara, serta dikirim menuju pengadilan militer dalam kondisi sangat dingin meskipun sudah berusia tua renta, tetapi beliau tidak pernah sedikitpun lengah atau meringankan apapun dari keyakinannya itu.

Rasa sakit dan penderitaan, dua saksi bisu yang senantiasa menjadi teman bagi siapa saja yang mengabdi kepada agama.

Beliau pernah berkata, “Dalam 80 tahun hidupku, diriku tidak ingat pernah merasakan nikmatnya dunia. Hidupku habis dalam medan perang, penjara bawah tanah, pengadilan, dan bui. Di pengadilan militer, diriku diperlakukan layaknya seorang pembunuh bengis dan dikirim ke pengasingan layaknya seorang gelandangan.”

Uraian kalimat ini sangat sempurna menggambarkan kehidupannya yang penuh dengan ujian.

Seringkali beliau menggambarkan ujian tanpa henti yang mencabik jiwanya dengan ungkapan, “Ada kalanya diri ini sudah lelah dengan kehidupan. Jika agamaku memperbolehkan diriku untuk bunuh diri, Said pasti sudah tiada sekarang.”

Dengan ungkapan ini, Bediuzzaman membuktikan bahwa dirinya selalu melindungi kehormatannya dengan bersabar dan bertahan menghadapi segala bentuk penyiksaan. Beliau seperti sudah mengemas kehidupan duniawi beliau kedalam sebuah keranjang rotan yang selalu beliau bawa dengan tangan.  Bagi beliau seperti itulah nilai dari seluruh kehidupan dunia.

Selama 28 tahun kehidupannya di penjara dan pengasingan, beliau senantiasa mengajarkan kepada muridnya arti penting menjaga dan menegakkan hukum. Beliau tidak pernah tunduk kepada peraturan pemerintah yang menindas. Kendati demikian, beliau tidak melawannya dengan kekerasan. Sebaliknya, beliau menggunakan pena untuk mengkritik dan melawan mereka. Kecerdasan dan bersikeras dalam sikap positif itulah yang telah menempatkan beliau di kedudukan yang istimewa dalam sejarah.

Dalam ceramahnya, beliau senantiasa menekankan pentingnya keikhlasan, ukhuwah, keimanan, dan pengabdian kepada Alquran. Di samping itu, beliau juga memperingatkan muridnya akan bahaya kesombongan dan egoisme.

Suatu ketika Zübeyr Gündüzalp mengadu kepada beliau, “Guru, diriku sungguh takut akan kesombongan.”

Mendengar hal itu, beliau menimpali, “Takutlah akan hal itu.”

Berkaitan dengan hal tersebut, beliau menasihati muridnya,

“Saudaraku, tugas kita adalah mengabdi kepada Alquran dan agama dengan penuh keikhlasan. Namun, kesuksesan kita, penerimaan masyarakat, dan kemenangan atas penindasan adalah tugas-Tuhan. Kita tidak boleh ikut campur dalam urusan ini. Bahkan ketika kita kalah pun, kita tidak akan kehilangan semangat dalam menyembah-Nya. Dalam hal ini, kita hanya perlu bertawakal. Seseorang pernah berkata kepada Jalaladdin Kharzamshah, komandan hebat Islam, “Anda akan memenangkan pertempuran melawan Genghis.” Beliau menjawab, “Tugasku adalah berjuang di jalan Allah. Kemenangan hanyalah milik-Nya. Diriku hanya akan melakukan tugasku dan tidak mencampuri urusan-Nya.”

Bediuzzaman seakan-akan sudah ditakdirkan untuk menghadapi segala bentuk cobaan dan kesulitan untuk menegakkan Alquran, keikhlasan, dan ukhuwah. Karakter beliau memberikan kekuatan yang luar biasa besar baginya untuk terus bersabar. Beberapa kejadian yang mereka tujukan kepada beliau sudah melampaui batas.

Beliau berulang kali dipanggil untuk datang ke kantor polisi dan pengadilan pada tengah malam. Menginterogasi beliau tentang kunjungan murid-murid beliau sudah menjadi penghinaan yang lumrah baginya.

Tidak hanya dirinya, orang yang berhubungan dengannya juga diperlakukan buruk.  Sebagai contoh, setiap orang yang mengunjunginya atau mencium tangannya akan segera ditangkap dan diinterogasi tanpa alasan yang jelas.

Mereka akan ditanyai, “Mengapa kamu menyalaminya?” “Mengapa kamu menatapnya?” Orang tidak berdosa pun akan mendapat perlakuan buruk hanya karena berinteraksi dengan beliau. Menghadapi kondisi demikian, sosok ideal ini justru lebih menunjukan kekokohan sikap sabarannya, atas nama ukhuwah demi menjaga keikhlasan dalam lubuk hatinya.

Permasalahan umat yang beliau beri perhatian ialah sikap mendahulukan kehidupan akhirat di atas dunia dan mengabdi kepada agama tanpa mengharap imbalan apapun. Meninggalkan tugas mengabdi kepada iman atau menunjukan kelesuan dalam menjalankannya adalah sesuatu yang tidak dapat beliau diterima.

mengembangkan_diri-heart-shape

Tauhid 9 – Cinta Allah dan Ujian

Tujuan penciptaan alam semesta adalah beriman kepada Allah.

Seorang hamba, jika ia bisa istiqamah dalam tujuan ini, maka ia akan damai di dunia dan lebih bahagia di akhirat. Orang yang malas berjalan ke arah tujuan penciptaan, yang berjalan dengan berat dan yang tidak menunjukkan upaya apapun ke arah itu, maka ia akan menjadi malang, tidak bahagia, gelisah di dunia ini, dan menjadi sasaran murka Allah di akhirat.

Menghormati Allah, tergantung pada mengenal-Nya dengan sangat baik. Merasa terhubung dengan-Nya dengan sangat baik pun bergantung pada mengenal-Nya juga. Tidak terguncang, terkejut atau tersentak dari hal-hal yang datang dari-Nya, itu juga tergantung pada mengenal Allah dengan sangat baik.

Siapapun yang telah meninggalkan keislaman, di satu sisi dia juga meninggalkan al-Quran, merekalah yang tidak mengenal Allah dengan baik. Mereka tidak mengenal Al-Quran, oleh sebab itu ketika merasa sulit mereka pergi meninggalkan Al-Quran. Ketika Allah menguji mereka, mereka pun gagal dalam ujian tersebut.

Namun, jika seseorang yang benar-benar mengenal Allah, bahkan jika dia tidak menemukan satu tumbuhan dan langit tidak memberikan setetes air pun, jika ia memiliki iman kepada Allah, ia selalu akan melihat tanda-tanda Nya pada segala hal, dan mengikatkan diri kepada-Nya dengan jiwa dan hatinya maka dia tidak akan menyimpang dari-Nya.

Orang yang memiliki pemahaman dan berwawasan, hanya berpaling sekali dalam hidupnya. Itu pun dia akan kembali ke fitrahnya, dia kembali ke arah tujuan penciptaannya, yaitu kepada Allah dan Al-Quran, orang itu tidak akan pernah memikirkan untuk meninggalkan-Nya. Apapun bala musibah menimpa dirinya, walaupun alam semesta melawan dan menimpa dirinya, setelah dia kembali kepada Allah, dia tidak akan lagi meninggalkan-Nya dan berpaling kepada sesuatu yang lain.

Di balik pengabaian kita terhadap apa yang telah kita miliki sekarang adalah karena ada ketidakmampuan dalam iman (lemah iman). Dalam menghadapi peristiwa-peritiwa yang kecil lengan kita kendur, karena iman kita tidak produktif. Itu karena ada ketidakmampuan untuk percaya kepada Allah seutuhnya. Karena ada ketidakmampuan untuk mengenal-Nya sesuai dengan kebesaran-Nya. Jika kita memiliki semua itu dalam arti yang sebenarnya, kita akan terikat dengan iman yang sempurna kepada Allah yang Maha Sempurna, dan kita akan melakukan apapun yang diperlukan untuk menjaga ikatan ini dengan-Nya. Semoga Allah yang Maha Esa menganugerahkan iman yang sempurna kepada semua orang. Izinkan saya uraikan kepada anda semua beberapa contoh untuk menjelaskan masalah ini.

Seorang muslim sejati, Ketika merasa semua cahaya padam dalam dirinya bahkan ketika kemampuan alami otaknya berhenti, dia segera kembali kepada Allah yang Maha Kuasa.

“Ada sesuatu yang aneh dalam diriku. Ada sesuatu yang membuatku kewalahan dan mencekik, saya kewalahan. Oleh karena itu, “saya meninggalkan agama!” ini adalah perkataan orang kafir.

Saya telah kewalahan, jantungku telah berhenti berdetak, semua kemampuan alami di kepala saya telah berhenti, oleh karena itu saya kembali kepada Pemilik mutlak yaitu hanyalah Allah!” Ini adalah perkataan orang yang beriman.

Seorang muslim akan kembali bersama Allah bahkan Ketika semuanya berakhir, semuanya terkuras habis dan habis.

Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertakwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan.” (An-Nahl: 128).

Mereka yang berlindung kepada-Nya, mereka yang mengharapkan bantuan dari-Nya, jangan lupa bahwa Allah menyertai mereka. Mereka akan terguncang, akan merasakan musibah, akan ditempa ujian demi ujian entah berapa kali dan jika mereka bertahan dan tidak menyimpang, maka mereka akan melihat rahmat Allah yang luar biasa, dan mereka akan mendengarnya dengan jiwa mereka, mengalaminya dengan perasaan mereka, dan mereka akan mampu menjalani kehidupan seperti surga bahkan ketika masih di dunia ini.

Izinkan penulis mempersembahkan sesuatu, percayalah dengan keyakinan mutlak. Rasulullah Saw telah mengungkapkan hal itu, bisa kita ketahui siapa yang paling besar ujiannya melalui hadits berikut; Allah mengirimkan ujian terbesar kepada hamba-hamba Nya yang terkasih, dengan kata lain, kepada nabi-nabi Nya. Kemudian kepada para ulama atau wali-wali Nya. Setiap orang mendapat ujian ini sesuai dengan derajat keimanan mereka masing-masing.

Yang imannya paling kuat, maka momoknya paling berat dan paling keras. Yang imannya lemah maka ujian-ujiannya lebih sedikit.

Banyak ujian yang menimpa Rasulullah. Rumah beliau telah berubah menjadi rumah di mana masalah datang dan berlalu. Setiap hari, satu masalah menggantikan yang lain. Setiap hari masalah baru bertengger di satu sisi rumah. Setiap hari, Rasulullah menghadapi kesulitan. Ia menanggung penderitaan, menderita di sini untuk membawa kebahagiaan sejati dan damai untuk orang-orang yang menderita. Ia bukan satu-satunya yang mengalami musibah tersebut, bahkan anggota keluarganya, istri-istrinya juga mendapatkan bagiannya.

Siti Aisyah adalah mahkota dunia wanita. Saya akan menggosok wajah saya dengan tanah yang dia injak dan seandainya kuambil tanah itu, dan kucium aroma terbaik itu, saya berharap dari belas kasihan Rabbku. Allah tidak akan membuat hidungku yang telah mencium bau tanah terinjak oleh siti Aisyah mencium aroma neraka. Jika aku tidak mencintainya lebih dari ibuku, jika aku tidak memberinya tahta/tempat yang mulia di hatiku, maka saya akan memiliki kesimpulan bahwa saya tidak menghormatinya. Hanya saya yang tahu betapa senangnya saya saat mengucapkan “ibuku”. Jika saya adalah orang Muslim yang paling rendah derajatnya, maka kedudukan siti Aisyah di hati semua Muslim sangatlah agung, dan sangat tinggi. Tapi tolong perhatikan bahwa karena dia adalah anggota rumah tangga Rasulullah, dia juga tidak bisa terhindar dari ujian itu.

Hidup mereka penuh dengan ujian. Begitu dia selesai dengan satu ujian, maka ujian yang lain akan menangkapnya. Beliau waktu itu masih muda, masih masa berbunga, dan beliau telah mengabdikan dirinya kepada Allah dan Rasul-Nya dengan semua indranya. Beliau mengabdikan diri sedemikian rupa sehingga ketika beliau dan istri Rasulullah lainnya telah diberi kesempatan untuk memilih salah satu dari dua pilihan,

Rasulullah memanggil dan berkata kepadanya: “Aku akan menyampaikan sesutu kepadamu. Tapi jangan memutuskan itu tanpa berkonsultasi dengan ayah dan ibumu!”

“Apa itu wahai Rasulullah?”

“Intinya adalah bahwa Allah memerintahkan saya untuk meninggalkan kalian jika kalian mau, tetapi jika kalian tidak mau, kalian boleh tinggal dengan saya. Apakah kamu lebih memilih Allah dan Rasulullah atau dunia?” kata Rasulullah kepada istri-istrinya.

“Apakah ini yang saya tanyakan kepada ayah saya?” tanya Siti Aisyah.

“Demi Allah, aku lebih memilih Allah dan Rasul-Nya” katanya.

“Tiga bulan dapur di rumah kami tidak menyala, kami tidak menemukan seteguk air untuk diminum.” Siti Aisyah lebih memilih Rasulullah terlepas dari semua hal itu.

Tapi ujian musibah datang bersamanya, karena dia adalah orang yang hebat, dan dia memiliki tempat yang ditinggikan setelah Rasulullah.

Ketika Al-Quran bebicara kepada Rasulullah, itu memerintahkan bahwa Nabi lebih disukai daripada dirimu sendiri dan istrinya lebih berharga daripada ibumu sendiri. Siti Aisyah, wanita yang lebih berharga dari semua ibu Muslim. Dia ikut pergi bersama Rasulullah untuk Perang Bani Mustaliq, dia kehilangan kalungnya dalam perjalanan itu. Saat dia mencarinya, tentara sudah bergerak ke tujuan lain. Jadi dia memutuskan untuk menuju tempat peristirahatan semula. Ketika siti Aisyah kembali bersama tantara bagian belakang pemeriksa yang bernama Safwan, orang-orang munafik mengamuk, menghina dan memfitnahnya. Mereka juga tahu bahwa siti Aisyah lebih bersih dan lebih cerah dari matahari langit.

Mereka juga tahu kepantasannya menjadi istri Rasulullah, tetapi mereka tetap mengolok dan menghinanya. “Lemparlah lumpur, meskipun sedikit pasti ada yang menempel!”

Sampai Allah membebaskan siti Aisyah dari tuduhan, situasi ini menyebabkan tekanan batin di hati Rasulullah, dan gelombang penderitaan di hati siti Aisyah dan di rumah Abu Bakar.

Hari-hari telah berlalu, dan siti Aisyah tidak menyadari apapun.

Saat berjalan dengan ibu dari salah satu kerabatnya, salah satu dari mereka yang telah mencaci dirinya. Siti Aisyah mendengar klaim itu darinya dan darah di pembuluh darahnya membeku. Dia datang ke rumah Rasulullah dan dia merasa tidak dapat pujian seperti sebelumnya. Ketika Rasulullah masuk ke biliknya, dia meminta izin kepada Rasulullah, untuk mengunjungi rumah orang tuanya.

Penafsir hebat hukum Islam yang akan menerangi umat manusia di bidang Hadits dan hukum Islam ini melebur seperti lilin. Rasulullah SAW telah berkonsultasi dengan banyak orang. Sayyidina Ali mengusulkan kepadanya untuk berkonsultasi dengan seorang wanita yang bisa mengatakan sesuatu yang paling benar.

“Ya Rasulullah, bicaralah dengan wanita itu. Dia akan mengatakan kebenarannya, membebaskan siti Aisyah” katanya. Dan Zaynab binti Jahsh membebaskan siti Aisyah dari tuduhan tersebut.

Sayyidina Umar menunjukkan kepintarannya, dengan mengatakan kebenaran yang paling indah: “Waktu itu kita sedang salat, Ya Rasulullah! Saat melaksanakan salat, Anda melepas sepatu Anda sebelum melakukan ruku’, dan para sahabat di barisan belakang juga melepas sepatu mereka. Kami bertanya setelah salat. Anda mengatakan: “Jibril telah memerintahkan dan karena itu saya melepaskannya”. Anda telah mengetahuinya dari Jibril dan memberi tahu kami. Ada sedikit kotoran di sepatumu dan Jibril telah memberitahumu agar itu tidak membatalkan salat, hingga Anda melepaskannya. Bukankah Allah telah memberi tahu Anda tentang kotoran kecil yang mengotori sepatu anda. Apa mungkin Allah Swt tidak memberitahu Anda tentang pencemaran nama baik yang dilemparkan pada keluarga Anda? Kata yang sangat menusuk, analisis yang sangat bagus walaupun sanadnya lemah. Perkataan ini membuat Rasulullah, menjadi sedikit lebih tenang.

Rasulullah berkata kepada para sahabatnya di masjid: “Apakah tidak ada orang yang bisa menghapus fitnah ini dari keluargaku?”.

Para sahabat sudah siap. Sahabat agung Saad bin Muadz mengaum seperti singa: “Perintahkan, akan kupenggal siapapun yang menfitnahmu”.

Namun semua itu tidak cukup untuk meringankan luka ini sampai wahyu Allah datang. Nabi yang terluka, Nabi yang berduka pergi ke rumah yang penuh duka itu. Abu Bakar membaca Al-Quran tanpa henti dan bertawajuh kepada Allah. Ummi Ruman, ibu dari siti Aisyah merasa seolah-olah ada api di dalam dirinya. Istri Rasulullah difitnah -hasya wa kalla-

Siti Aisyah berada di Kasur seolah-olah dia sedang menunggu kematiannya. Rasulullah menghormati rumah suci itu dan membawa kebahagian padanya. Ketika siti Aisyah menyampaikan peristiwa tersebut kepada kami.

Rasulullah datang dan berkata kepada saya: “Ya Aisyah, saya tahu bahwa anda baik dan suci, tetapi jika seseorang membuat kesalahan dan kemudian kembali kepada Allah, Allah akan mengampuninya.”

Ketika saya mendengar kata ini dari Rasulullah, saya mengerti bahwa ada sesuatu yang melawan saya. Kedengarannya seperti ada keraguan. Wallahi, aku berkata aku hanyalah seorang perempuan belia: Saya tidak tahu banyak tentang Al-Quran. Saya tidak tahu harus berkata apa.

Saya menoleh ke ibu saya dan berkata: “Jawablah kepada Rasulullah!”

Dia berkata: “Saya tidak tahu harus berkata apa kepada Rasulullah”.

Saya menoleh ke ayah saya dan meminta hal yang sama. Dia juga tidak menjawab. Saya sudah sangat binggung. Sehingga saya ingin melafalkan surat Yusuf, saya lupa nama Nabi Yakub juga dan kemudian saya teringat nama anaknya Yusuf, lalu saya berkata: “Wallahi, cerita kita sama seperti cerita Yusuf dan ayahnya. Ketika dia melepaskan diri dari asbab, dia berkata: “Jadi jalan yang tepat bagi saya adalah, menjadi kesabaran yang bertahan tanpa keluhan. Allah lah yang dimintai pertolongan seperti yang telah kamu gambarkan.” (Q.S Yusuf – 18).

Saya pun mebacakan ayat ini atas nama dunia Islam:

فَصَبْرٌ جَم۪يلٌۜ وَاللّٰهُ الْمُسْتَعَانُ عَلٰى مَا تَصِفُونَ

Tapi di mana semuanya berakhir, ada yang mengawasi segalanya. Ada Allah yang Maha Mendengar dan Melihat. “Darahku membeku, air mataku telah mengering, aku kembali ke kamar, punggungku menghadap kiblat, dan berbaring di pembaringan lalu aku bertawajuh kepada Allah.

Saat berada di posisi itu, tiba-tiba terjadi badai petir, sepertinya Jibril berlari untuk membantuku. Akhirnya, Allah menurunkan wahyu kepada Nabi Saw. Tubuh beliau bergetar. Begitulah keadaan beliau ketika menerima wahyu.

Setelah selesai (menerima wahyu), ayat-ayat berikut dicurahkan dari bibirnya yang diberkati: “Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik bagi kamu.” (Q.S. Nur – 11).

Duhai kekasihku, Ya Rasulallah! Mereka memfitnah keluargamu. Mereka mengatakan kebohongan tentang keluargamu. Mereka lempar lumpur kepada keluargamu yang suci. Janganlah kamu kira bahwa semua itu buruk bagimu bahkan ia adalah baik bagi kamu. Dengan ujian berat ini kalangan munafik, orang tidak berkarakter dan berkepribadian lemah sudah ketahuan. Dengan ujian ini Allah mengangkat derajat keluarga Sayyidina Abu Bakar.

Nabi Muhammad Saw dengan ujian ini akan diangkat oleh Allah ke tempat dan kedudukan yang dipuji (Maqam Mahmudah) Siti Aisyah dengan suka cita kembali ke rumah Nabi di mana merupakan tempat kebahagian. Abu Bakar juga senang, dan Ummi Ruman juga senang.

Siti Aisyah, -yang menjalani kehidupan seperti surga di dunia dan di akhirat- juga bahagia, Rasulullah juga sangat bahagia. Bahkan ketika semuanya sudah berakhir, orang yang beriman selalu bertawajuh kepada Allah, dan mereka tidak tersinggung, patah hati karena Allah tidak memberikan apa yang mereka minta.

Sebaliknya, mereka kembali kepada Allah sesuai dengan hadits; “Aku bersama mereka yang hatinya hancur”.

Menurut hadits qudsi, saat mereka merasa patah hati, mereka akan bertawajuh kepada Allah. Allah menyertai mereka.

Allah akan memegang tangan mereka dengan keselamatan. “Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang ihsan (berbuat kebaikan) ” (Q.S. an Nahl – 128)

Walaupun mereka tidak dapat melihat-Nya, tetapi mereka hidup seolah-olah mereka melihat-Nya.

big-heap-columns-different-coins (1)

Tidak Mengharapkan Upah dari Melayani

Seseorang yang beriman sebaiknya tidak mengharapkan hal duniawi maupun ukhrawi saat melayani agamanya. Dalam salah satu dialognya, Ustad Fethullah Gülen menjabarkan tentang penjelasan ini dalam beberapa uraian berikut:

“Bagian kita adalah melayani tanpa mengahrapkan apapun. Entah itu ditempat yang sekarang atau dimanapun nanti, seorang yang melayani tidak boleh mengharapkan hal-hal duniawi. Saya selalu sampaikan kepada siswa-siswa terkasih saya, “Menyebarlah ke seluruh dunia. Jangan harapkan upah ataupun beasiswa. Jadilah buruh, pencuci piring atau tukang sapu dan hidupilah diri anda, namun tetap layani masyarakat sekitar dan agama anda. Jika anda punya bakat atau keahlian, tulislah sesuatu, terbitkan buku. Jika tidak ada pilihan lain, jadilah pengangkut sampah, tapi jangan pernah mengharapkan apapun sebagai upahmu. Jika tidak seperti itu, anda akan melewatkan hari-hari yang diimpikan di masa depan.”

Dalam hal melayani, seorang yang beriman harusnya ada di baris terdepan, namun saat tiba waktu pembagian upah, dia ada di baris paling belakang tak mengharap imbalan apapun. Seseorang dengan jiwa melayani hanya mengharapkan upah balasan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Dia tidak boleh berharap apapun dari orang lain. Orang-orang dengan jiwa melayani, yang tidak memiliki impian kecuali Ridha dari Allah SWT, harusnya selalu sensitif terhadap kedudukan dunia yang hanya sebagai tempat sementara bukan tempat untuk mencari pamrih. Mereka harus memiliki pemahaman bahwa “Upah dari pelayanan kami adalah nanti di Akhirat”; karenanya mereka akan terus berusaha tanpa lelah, tanpa mengharapkan sekepingpun koin sebagai imbalan.

Sebagai contoh, salah satu harapan yang paling penting adalah untuk mendidik generasi emas. Investasi terbaik adalah investasi yang disalurkan untuk mendidik seorang manusia, khususnya adalah anak muda. Pemuda hari ini akan menjadi pelayan bagi bangsa dan masyarakat di masa depan sebagai sosok dewasa masa depan.

Suatu hari, berkumpulah sekumpulan prajurit dalam suatu musyawarah. Umar bin Khattab bertanya kepada mereka satu per satu: “Anda memiliki impian untuk melayani Islam. Jika saja Tuhan menerima doamu, apa yang akan Anda minta dari-Nya atasnama untuk melayani Islam?”

Seorang dari mereka membalas: “Jika doa saya dikabulkan, saya akan meminta sebuah peti emas. Saya akan gunakan itu semua untuk mengabdi kepada Islam.”

Umar bertanya pertanyaan yang sama kepada seorang yang lain yang ada di sebelahnya, dia menjawab: “Saya juga akan meminta sepeti penuh harta dan saya akan gunakan semua koin peraknya untuk mengabdi kepada Islam.”

Seorang yang lain menyaut: “Kalau saya akan meminta dari Allah SWT sekawanan domba yang sangat besar, hingga memenuhi padang pasir. Saya akan menyalurkan hasil susu dan daging dari hewan ternak tersebut untuk para muslim dan untuk melayani Islam.”

Diakhir, pasukan tersebut bertanya ke Sayidina Umar, apa yang akan dia doakan. Umar menjawab: “Jikalau Tuhan mengabulkan apa yang saya minta, saya tidak akan meminta perak, emas, domba ataupun unta. Saya akan memohon seorang kawan yang setia. Kawan seperti Abu Ubayda, Abu Dharr dan Muaz bin Jabal.”

Memang, membesarkan generasi yang dirahmati adalah hal yang paling penting.

beautiful-rare-black-dragon-hybrid-rose-red-white

Berdedikasi dalam Tugas

Bagaimana Menjadi Seorang yang Berdedikasi dalam Berkhidmah?

Zubeyr Gundüzalp, seorang murid langsung Ustaz Badiuzzaman menulis surat kepada Nazim Gokcek yang tinggal di Gaziantep, yang juga seorang murid Risale-i Nur (“Risalah Cahaya,” berisi komentar Bediuzzaman Said Nursi tentang Al-Qur’an setebal 6000 halaman) menjelaskan kualitas seseorang yang telah mengabdikan dirinya untuk melayani Al-Qur’an:

Karena Anda sudah menyampaikan kepada kami bahwa Anda siap menerima semua cobaan dan kesulitan atas nama Allah, Anda telah memberi kami dorongan dan semangat, oleh karena itu bacalah baik-baik.

  • Tugas Anda adalah memetik mawar di antara duri-duri. Walaupun kaki Anda tergores dan tertusuk, tangan Andapun akan kemasukan duri. Namun, hal ini tetap akan membuat Anda senang.
  • Anda akan memasukkan orang-orang seperti Nabi Musa ke dalam barisan Anda, orang-orang yang dibesarkan di istana para firaun. Karena hal ini Anda akan dipukuli. Mereka akan memenjarakan Anda karena berbicara, tetapi ini akan membuat Anda senang.
  • Jika mereka melemparkan Anda ke ruang bawah tanah yang gelap, Anda akan mengeluarkan cahaya; jika Anda menemukan jiwa yang berkarat, Anda akan melumasinya; jika Anda melihat hati yang tidak beriman, Anda akan memberikan cahaya Ilahi kepada mereka. Apa yang Anda berikan akan dianggap melanggar hukum, Anda akan dihukum karena pemikiran dan ucapan Anda yang akan mengirim ke penjara, namun Anda akan berterima kasih kepada Allah untuk ini.
  • Anda akan terpisah dari ibu, keluarga, dan orang-orang terkasih Anda. Namun Anda akan memegang teguh Al-Qur’an dengan hati Anda. Dari setetes air, Anda akan menjadi lautan dan dari hembusan udara Anda akan menjadi angin topan.
  • Jika Anda terjebak dalam badai kebohongan, berita jahat dan fitnah, Anda tidak akan menanggapinya dengan emosi. Jika mereka membangun penghalang baja di depan Anda, maka Anda akan mengunyahnya dengan gigi Anda. Jika Anda harus melewati gunung, Anda akan menggalinya bahkan dengan jarum.

Tidak ada Kewajiban yang Lebih Besar dari Melayani Agama

Di dunia ini tidak ada tugas yang lebih besar dari melayani agama Allah. Karena jika ada kewajiban seperti itu, maka Allah akan menganugerahkannya kepada para Nabi-Nya. Misi mengajak kepada hidayah adalah kehormatan terbesar yang diberikan kepada para Nabi dan tugas yang paling dihargai di sisi Allah. Kehormatan itu seperti matahari terbit untuk menyampaikan pesan Allah kepada orang-orang agar mereka dapat menyucikan diri dan kembali ke intisari mereka. Sejak zaman Nabi Adam, setiap manusia yang telah menerima undangan ini dan memiliki tanggung jawab, dalam arti tertentu dapat dianggap sebagai mereka yang duduk di meja yang sama dengan para Nabi.

Untuk itu, seorang mukmin harus mengabdi pada agamanya dengan rasa tanggung jawab dan penuh kepercayaan. Berkenaan dengan masalah ini, mari kita simak kisah berikut yang terjadi pada masa kekhalifahan Utsmaniyah. Suatu hari, Hüsrev Efendi, salah seorang ulama Utsmaniyah, sedang menjelaskan suatu topik kepada murid-muridnya. Murid-muridnya memperhatikan rasa keengganan dalam sikap cendekiawan itu. Mereka bertanya: “Guru, Anda tampak agak tidak bersemangat hari ini.”

Hüsrev Efendi menjawab: “Maafkan saya, sebenarnya saya tidak ingin menunjukkan sikap ini, tetapi hari ini sebelum saya meninggalkan rumah, putri saya meninggal. Saat aku memikirkan pengaturan pemakaman, aku ingat bahwa aku ada kelas hari ini. Kemudian saya berkata pada diri sendiri, “Apa yang akan Allah katakan kepada saya jika saya mengabaikan murid-murid saya? Di sisi lain, tubuh putri saya terbaring di rumah. Karena itulah pikiranku terus berbolak-balik.”

Ini adalah potret guru yang mewakili kafilah keabadian dan jika kehidupan dibentuk di tangan para guru seperti itu, umat manusia akan bersatu kembali dengan kecukupan.

Mari kita juga berikan contoh dari waktu sekarang: Suatu hari, kepala sekolah melihat seorang anak jatuh dari jendela yang terbuka. Siswa itu jatuh dari lantai tinggi di sekolah tersebut. Dalam kepanikan, kepala sekolah bergegas keluar dari kantornya dan berlari menuruni tangga. Saat dia berlari ke arah anak itu, dia terus berpikir, “Apa yang akan saya katakan kepada keluarganya? Bagaimana jika insiden ini memengaruhi layanan kami dan orang-orang akan menarik anak-anak mereka dari kami? Ya Allah! Kejadian ini tentu akan merugikan layanan pendidikan kita!”

Saat kepala sekolah mendekati anak yang terbaring di tanah, dia mengucapkan kata-kata, “Alhamdulillah; itu adalah anak saya. Tidak akan ada masalah yang datang untuk pelayanan kami.”1

Jelas tidak ada perbedaan antara Hüsrev Efendi dan kepala sekolah heroik muda ini. Orang-orang yang telah menangkap cakrawala kebajikan yang sama bersatu di jalur yang sama. Ini adalah indikasi penemuan kembali matahari yang pernah hilang.

Benarkah Kita Sudah Melakukan Tugas Kita?

Nabi kita yang mulia sadar akan tanggung jawabnya. Dia memiliki kemauan yang tak tergoyahkan dan sarafnya terbuat dari baja. Dia telah mengalami segala bentuk kesulitan di Mekah namun hal itu tidak membuatnya patah semangat sedikitpun. Istri dan pamannya telah meninggal satu demi satu namun dia tidak kehilangan harapan meskipun mereka adalah pendukung terbesarnya dalam hidup.

Ia diberi tugas menjadi pembimbing bagi umat manusia. Dia harus menjelaskan Allah kepada umatnya, satu per satu. Ini adalah tugas yang sulit namun Rasulullah telah melakukan ini tanpa ragu-ragu. Akibatnya, ia berhasil masuk ke dalam hati manusia.

Bahkan ketika dia masih kecil, dia akan mengulangi kata-kata, “Umatku … umatku!” Seolah-olah dia telah memprogram dirinya sendiri untuk tugas yang terbentang di depan. Penampilannya yang penuh perhatian pada Hari Pembalasan, berdiri di dua sisi, adalah perpanjangan dari tanggung jawab mulia ini. Bagaimanapun, siapa yang bisa memiliki daya tahan untuk mengambil tanggung jawab seperti itu selain dia? Seolah-olah dia telah mengambil tanggung jawab seluruh umat manusia dari manusia pertama hingga terakhir.

Dia menjalani hidupnya dengan cara yang sama, dengan kepekaan dan disiplin, dari hari dia memulai tugasnya sampai hari dia meninggal. Sikap yang dia miliki ketika mereka adalah kelompok kecil yang terdiri dari satu pria, satu wanita, satu anak dan seorang budak… adalah sikap yang sama ketika dia berbicara kepada kerumunan seratus ribu pengikut selama haji Wada/Haji terakhir Rasulullah.

Saat ia menyampaikan khotbah perpisahannya, umat Islam berkumpul untuk mendengarkannya. Suaranya yang suci menyebar dalam gelombang spiral yang bersinar, mencapai semua telinga dan akan terus bergema sampai Hari Penghakiman. Bagi mereka yang tidak hadir, dia akan berkata, “Bagi Anda yang di sini, sampaikan ini kepada mereka yang tidak hadir.” Nabi yang mulia bersiap untuk pergi maka dia mengucapkan kata-kata terakhirnya:

“Wahai orang-orang! Aku datang kepadamu dengan sebuah misi. Aku telah menjelaskan beberapa hal kepada Anda. Besok, di hadapan yang agung, mereka akan bertanya kepada Anda apakah saya telah menyelesaikan misi saya atau belum. Bagaimana Anda akan bersaksi tentang ini?”

Memang, dia adalah seorang Rasul yang telah menyelesaikan misinya. Dia adalah orang yang disucikan sehingga bagi Allah, bahkan pembagian seikat rambut di sisi wajahnya merupakan kejadian penting dibandingkan dengan peristiwa yang terjadi di alam semesta. Rasulullah berbeda. Dia diampuni untuk semua yang terjadi di masa lalu dan semua yang akan terjadi di masa depan. Namun, dia masih memiliki kekhawatiran. Meskipun, dia telah menyelesaikan misinya dengan sukses, akankah orang-orangnya setuju untuk bersaksi tentang ini? Tiba-tiba, Gunung Arafat dan Muzdalifa mulai bergetar dengan teriakan. Jeritan ini datang dari lubuk hati yang terdalam:

“Anda telah memenuhi misi Anda! Anda telah membimbing kami sebagai Rasul yang mulia! Anda meninggalkan kami sebagai orang yang telah menyelesaikan tugas!” Setelah mendengar ini, Nabi yang mulia mengangkat jari telunjuknya ke langit dan berseru: “Jadilah saksiku ya Allah! Jadilah saksiku ya Allah! Jadilah saksiku ya Allah!”2

Apa yang dimaksud Rasulullah dengan ini? Tergantung pada status dan pangkat mereka, setiap orang memiliki tanggung jawab dan tugas tertentu. Yang mulia telah menyelesaikan tugasnya dengan sukses besar. Bagaimana dengan kita? Apakah kita menjalankan tugas kita di zaman sekarang ini? Ini adalah pertanyaan yang masing-masing dan kita semua harus tanyakan pada diri kita sendiri. Kita tidak bisa menjadi pengamat di depan api yang berkobar ini. Kita semua harus mengambil ember dan bergegas untuk memadamkannya.

  1. Akar, Mehmet, Mesel Ufku, Istanbul: Timas, 2008, p.49
  2. Sunan ibn Majah, Manasik, 84; Sunan Abu Dawud, Manasik, 57

sushobhan-badhai-LrPKL7jOldI-unsplash

Ciri Generasi Muda yang Dinanti

Pertanyaan: Ustadz yang mulia, pada beberapa kesempatan anda berkata, “semoga jalan dakwah ini menjadi takdir hidup kalian.” Apa saja nasihat Anda agar kami bisa sampai ke puncak yang ideal dan tetap terikat dalam Hizmet ini?

Secara kebetulan sama seperti kemarin, saya telah menjelaskan sifat-sifat anak muda sebagai catatan awal. Sekarang akan saya bahas mengenai sifat-sifat ksatria muda sebagaimana yang diinginkan. Apa yang kita harapkan dari para pemuda? Ketika saya mendapatkan pertanyaan seperti ini, maka mereka bertanya lagi, bisakah Anda menjelaskan sifat generasi muda seperti yang dinanti-nanti. Juga dengan persoalan hari ini, dakwah ini harus menjadi takdir kalian.

Seseorang haruslah mencintai sesuatu yang mulia, dan tidak boleh terpengaruh oleh hal-hal yang murah, harga diri seseorang bukan bernilai dengan ijazahnya, jabatannya dan tempat dia bernaung. Harga diri seseorang bukanlah bernilai karena menjadi anggota dewan, perdana menteri maupun seorang presiden. Bila takdir membuatku jadi presiden hanya karena nilai diri, sungguh aku akan marah terhadap diri ini dan berkata: “Ya Allah kenapa Engkau menciptakanku tidak beruntung seperti ini.” Aku ke Hammam (pemandian air panas) pada musim panas, malah udara jadi dingin. Memangnya ada yang mau jadi presiden?

Yang aku inginkan dari Engkau adalah Engkau (Allah), yaitu menjelaskan tentang-Mu hingga nafasku terputus-putus. Aku ingin jadi lidah-Mu, kalau tidak maka biarkanlah lidahku yang putus. Aku ingin di mana-mana itu melihat-Mu, kalaupun tidak bisa, ambillah mataku ini supaya aku tidak akan melihat hal yang haram ketika masih muda. Aku ingin mendengar-Mu, bila tidak maka tulikanlah saja telingaku ini. Aku ingin bernafas di sisi-Mu, kalau tidak biarkanlah saja nafasku ini terhenti. Bisakah aku sampaikan ini dengan jelas?

Insan dakwah bukanlah orang yang sekedar makan minum dan tidur. Insan dakwah bukanlah orang yang hidup terikat dengan kebutuhannya saja. Insan dakwah adalah orang yang telah melupakan nikmat kehidupan dan gila memberikan kehidupan bagi yang lain. Insan dakwah itu seperti Majnun, tanpa mencari Laila ia tidak bermakna.

Dan juga seperti Farhat yang tiap hari melubangi gunung yang berbeda untuk mencari jalan bertemu Syirin. Seperti Emrah yang rela terbakar seperti serpihan api demi Aslı. Itulah insan dakwah.

Beberapa generasi sebelumnya menjadi harapan bagi kita untuk mencapai kualitas yang bagus dan menjadi teladan buat generasi yang kita tunggu. Saya berharap meraka menjadi contoh yang baik. Dan Insya Allah semoga kalian berada di jalan seperti itu. Saya rasa saya telah menjelaskan hal yang semestinya saya jelaskan. Apakah saya melakukan sebuah kesalahan bapak doktor? Kalau tidak, saya rasa saya sudah menyampaikan hal-hal yang mungkin saja belum saya sampaikan sebelumnya. Kalau ada penjelasan yang bertentangan, sungguh hanya Allah yang mengetahui semua yang nampak dan rahasia,  Semoga Allah juga mengampuni dosa-dosaku. Kumemohon padaMu ya Rabb, kuberharap padaMu ya Rabb, kabulkanlah, tidak ada yang kurang dariMu ketika Kau memberi.

Semoga Allah isikan hati kami ini dengan iman, dan kenyangkan kami dengan iman. Bangkitkanlah kami sekali lagi, hilangkanlah kehinaan, sehingga membuat kami mencapai mimpi kami yang ingin memiliki peran cukup besar di dunia. Kumemohon padaMu ya Rabb, kuberharap padaMu ya Rabb, kabulkanlah, tidak ada yang kurang dariMu ketika Kau memberi. Wahai Tuhanku, buatlah diri kami menjadi lupa terhadap nafsu kami, dan tingkatkanlah derajat hati dan jiwa kami, dan jadikanlah nafas kami seperti nafasnya para malaikat. Engkau memberikan kami semangat untuk berlari di Jalan-Mu ibarat Kuda. Jadikan kami tidak merasa kelelahan hingga jantung berhenti berdetak sekalipun. Kumemohon padaMu ya Rabb, kuberharap padaMu ya Rabb, kabulkanlah, tidak ada yang kurang dariMu ketika Kau memberi. Dan jika saja yang aku ucapkan ini merupakan ucapan yang berisi kesombongan maka ampunilah dosaku. Terimalah doa kami ini sebagaimana engkau menerima doa-doa sebelumnya.

Ini adalah generasi harapanku yang terakhir. Jika generasi ini tidak melakukan apa yang mesti dilakukan sekarang, maka kita pun harus menunggu setengah abad lagi yaitu 50 tahun. Maka umur saya dan sebagian besar kita tidak akan cukup untuk itu.

natasya-chen-86rFYHziFi4-unsplash

Untukmu, Jiwa-Jiwa yang Kami Nantikan!

Kami sudah sering mendengar, melihat, serta melalui berbagai macam peristiwa, namun entah mengapa kami tidak bisa menyingkirkan keresahan dan gagal menemukan hakikat kedamaian di dalam jiwa.  Kami tidak pernah merasa puas dalam mencari kedamaian hati; mengingat memang kebutuhan hati kami dan obat pelipur lara yang dunia tawarkan sungguh berbeda.

Kami sedang mengharap akan kehadiran seorang teman yang bersedia mengulurkan tangan kepada kami yang menyimpang dan bermaksiat, yang menangis bersama dengan hati yang remuk, yang gelisah gundah melihat kemungkaran. Kami mengharapkan seseorang teman dengan tutur katanya yang lemah lembut, semangatnya yang hidup, dan dakwahnya yang sungguh-sungguh.

Bertahun-tahun lamanya, kami menunggu seorang yang menawarkan obat pelipur lara atas penyakit yang kami derita. Kepadanya kami dapat menyampaikan isi lubuk hati terdalam dengan sejujurnya. Seseorang dengan iman dan kesuciannya bagaikan gunung yang kokoh menjulang. Dalam kelaparan, penyakit, dan ketakutan yang melanda kami terus-menerus, dalam penderitaan terpedih melahap jiwa dan mengikis impian kami, kami merasa setiap hembusan napas teman ini menghidupkan jiwa kami dengan harapan dan impiannya.

Seandainya saja kami dapat memahami petunjuk yang telah Tuhan sampaikan selama ini, seandainya kami percaya akan itu semua. Akan banyak kekosongan yang sudah terisi. Banyak masalah pasti sudah terselesaikan. Namun, ribuan kali kami berkumpul bersama, saling mengisi dengan harapan, menjejakkan langkah untuk memulai kehidupan baru, atau mungkin ribuan kali juga kami melanggar sumpah, lantaran kami tidak dapat menemukan hakikat apa yang kami cari dan tidak bisa mengerti hakikat dari apa-apa yang kami dapatkan.

Kalbu kami sangat haus akan kasih sayang dan cinta, terus mengharap kebajikan dari kemanusiaan. Sayang sekali! Jiwa kami malah dituntun menuju kesengsaraan. Mereka mencoba membenamkan hati kami ke dalam lautan kekejian. Kami sedang diperdaya, menderita kesedihan tanpa akhir. Dalam setiap keadaan tertindas, tercela, dan sengsara, kami terus-menerus dilecehkan dan menjadi korban ketamakan.

Inilah alasan mengapa kami tidak percaya kepada seorangpun dan tidak membuka hati kepada siapapun.

“Tatkala kita menginginkan seorang wanita cantik yang sedang memetik mawar, kita juga berharap ia memiliki pipi indah merah merona ; tatkala kita menginginkan sang penakluk Khaibar (Ali bin Abi Talib) , kita juga menginginkan pelayan kerajaan Kambar.” ( Muhammad Lutfi ).

Kami mungkin akan menemukannya, atau tidak, tetapi setelah dirundung oleh banyak masalah, yang kami inginkan sekarang adalah kemurnian, ketulusan, dan dedikasi di jalan “pecinta buta” ini. Setelah kami mengalami terlalu banyak pengabaian, bahkan pengkhianatan, akan tampak naif bila kami katakan bahwa kami merangkul orang lain dengan toleransi dan tanpa keraguan terhadapnya. Terlepas dari semua iktikad baik dan rasa toleransi kami, kami tetap saja tidak mampu untuk melenyapkan keraguan dan menghilangkan atmosfer ketidakpercayaan kepada orang lain.

Membuat kami mempercayai seseorang dan menyingkirkan keraguan dalam benak kami sangat tergantung pada ikhtiar keikhlasan yang terus menerus dari pahlawan kami ini. Berkat ketulusan dan perbuatannya yang meyakinkan, kami mampu melenyapkan segala bentuk prasangka buruk dan ketidakpercayaan yang selama ini kami rasakan. Kami muak dengan kemunafikan, sopan santun, dan keberanian palsu, berpura-pura menjadi pahlawan setelah kemenangan mereka, yang dipenuhi oleh rasa bangga diri.  Alih-alih mensyukuri nikmat, mereka malah berkeinginan kuat untuk merasakan kenikmatan duniawi, hidup dengan penuh ketamakan, dan gila jabatan. Yang kami harapkan dari pahlawan kami ialah ikhtiarnya untuk membawa sumber semangat dari puncak gunung tertinggi, tekad yang kuat, sungguh-sungguh berusaha sendiri guna mencapai kesuksesan, rela mengorbankan jiwa dan raganya demi orang lain, dan berjuang dengan ikhlas tanpa pamrih.

Biarkan pikiran mereka menjadi bersih tak ternoda. Biarkan jalan mereka menjadi lurus tanpa lika-liku. Biarkan mereka memikirkan dan menceritakan tentang hakikat kehidupan. Biarkan mereka untuk tidak menjadi munafik dan tidak memperdaya kami.

Biarkan muncul raut kesedihan dan penderitaan di wajah mereka. Biarkan wajah mereka basah berlinang air mata, dan dada mereka sesak. Biarkan hati nurani mereka menjadi hidup, tidak hitam mati. Biarkan mereka bermuhasabah diri dan berbudi luhur dengan ajaran sufi, tafakur para ulama, dan kedisiplinan dan ketundukan golongan militer. Biarkan mereka mendapatkan derajat kesempurnaan melalui perbuatan terpuji ini.

Biarkanlah mereka menolong orang terdekat kami -yang hati dan pikirannya telah terkoyak, jiwa mereka telah dirampas dari hati nuraninya – menyelamatkan mereka dari depresi yang berlarut-larut, dan semoga mereka dikembalikan ke kondisi semula seperti sedia kala.

Biarkan mereka berpegang pada kebenaran. Tidak beranggapan bahwa pikiran dan penghambaan mereka adalah satu-satunya jalan yang benar. Tidak lalai bahwa jalan menuju Sang Pencipta sangatlah banyak, sebanyak hembusan-hembusan napas ciptaan-Nya.

Biarkan mereka bersemangat menjadi insan terbaik dalam melayani dan mengabdi, namun enggan dalam menerima ganjaran dan keuntungan. Layaknya Si Tua Kato (seseorang yang memperoleh kejayaan tetapi lebih memilih menjadi petani yang sederhana dan rendah hati). Mereka harus menyingkir dari pandangan masyarakatnya setelah terpenuhinya tanggung jawab akan tugasnya dan dengan sabar menunggu tugas selanjutnya.

Para pelopor di jalan yang diridai ini senantiasa menghindari jabatan dunia. Tatkala mereka harus  menduduki suatu posisi otoritas, mereka dengan tulus dan bersikeras mengharap orang lain yang lebih layak untuk menduduki posisi tersebut.

Mereka yang dengan suka rela bekerja untuk kebangkitan umat harus tetap berada dalam jalan ini. Jika tidak, kekacauan yang ditimbulkan akibat ketidakseimbangan antara kedudukan terbatas dengan jumlah orang yang haus kekuasaan akan menjadi tidak terhindarkan dan sulit diatasi. Terutama jika gagasan ini muncul dalam jiwa-jiwa kawula muda yang belum sepenuhnya matang.

Diriku bertanya-tanya apakah kita mampu melihat ketulusan yang luar biasa dari orang-orang yang selama ini diharapkan menjadi pembimbing. Sekali lagi, kita menyampaikan keputusasaan yang kuat, mengharapkan sosok ini. Kita terus memohon kepada Tuhan Yang Maha Kuasa dengan lisan seluruh makhluk – ikan di lautan dan rusa di pegunungan – agar kita tidak perlu menunggu lebih lama lagi.