kelvin-yan-fG0LRiUifNI-unsplash

Dimana Sajakah Dirimu Selama ini?

Seorang lelaki khidmah bercerita,

            Saat itu, di Turki, tahun 1994. Saya terlambat datang ke pengajian bincang santai yang juga dihadiri teman-teman saya. Akhirnya, saya meminta maaf kepada mereka seraya menjelaskan alasannya. Saya terlambat karena harus mengunjungi salah seorang teman yang sedang dirundung duka. Seseorang yang disayanginya meninggal dunia. Kejadiannya cukup menarik meskipun akhirnya ada yang meninggal dunia.  Sesaat sebelum wafatnya, almarhum menerima empat panggilan telepon dari putra, putri, dan menantunya. Awalnya almarhum terkejut, karena keempat panggilan tersebut terjadi berurutan. Beliau selalu menjawab, “Saya baik-baik saja.”. Lantas satu gagasan terbesit di pikirannya, “Ada yang aneh ini…” Beberapa menit kemudian, beliau meninggal dunia dengan posisi sedang duduk di sofa. Keseluruhan kejadian tadi hanya berlangsung sekitar setengah jam.

            Saat saya menceritakan cerita tadi sambil kami minum teh, seorang  pemuda tiba-tiba menyahut, “Izinkan saya menceritakan kejadian yang serupa yang saya alami, Pak.”

            Ia melanjutkan,

            “Suasana harmonis pertemanan dan percakapan di bincang santai ini begitu berkesan untuk saya. Memang kita baru saja bertemu. Namun, entah mengapa terngiang dalam pikiran saya sebuah pertanyaan, “Mengapa diri saya tidak berjumpa dengan orang-orang seperti di bincang santai seperti ini sebelumnya?” Izinkanlah saya, yang hanya memiliki satu lengan ini menceritakan kejadian yang serupa dan hal-hal menarik yang terjadi kepada saya beberapa waktu silam.

            Kejadian ini terjadi tepat ketika saya bersama tunangan saya Ipek, kami hendak menikah sepuluh hari lagi waktu itu. Saat itu, saya menjemputnya dari rumahnya, kemudian pergi ke kafe malam. Kemudian, kedua temanku yang namanya sama, Murat, juga datang bersama kekasihnya. Jujur, waktu itu saya tidak menduga kedatangan mereka. Oleh sebab itu, saya bertanya  apa yang mereka lakukan di kafe malam itu. Dengan arogan mereka tertawa dan berteriak keras, “Kami ke sini untuk mati!”. Dengan kencang kami pun mengatakan hal yang sama. Kami pun tertawa dengan penuh senda gurau.

            Setelah puas tertawa, salah satu kawan kami lagi, si Hakan datang bersama dua wanita lain. Sepengetahuan saya, ia tidak akan datang ke sini, saya tidak menduga kedatangannya. Oleh karena itu, saya menanyainya hal yang sama seperti sebelumnya, “Apa yang kamu lakukan di sini?” Meskipun ia tidak mendengar jawaban Murat sebelumnya, namun ia menjawab dengan lantang, “Aku ke sini untuk mati!” Sungguh mengejutkan. Apakah hal ini merupakan suatu kebetulan?  Kami tidak terlalu mempedulikannya, kami terus minum dan tertawa riang. Dirasa sudah puas, kami akhirnya keluar dari kafe malam itu. Saya berikan kunci mobil saya ke Hakan dan memilih menumpang mobilnya Murat. Saya melihat Ipek nampak sedikit aneh. Saya ingin duduk di belakang di antara Ipek dan satu wanita lain. Namun, bagaimanapun saya memaksa Ipek, ia tetap tidak mau menurut. Ia menyuruhku duduk di kursi tengah, belakang sopir persis. Sementara di kursi depan, duduk Murat yang sedang mengendarai mobil bersama kekasihnya.

            Kami pun pergi meninggalkan kafe malam. Sesaat kemudian, kami mengalami kecelakaan yang sungguh tragis. Murat, Ipek, dan wanita di sebelahku meninggal ditempat. Sementara diri saya mengalami koma. Wanita di kursi depan selamat tanpa terluka. Dia membuka pintu mobil dan keluar tanpa menoleh ke belakang.

             Ketika satuan polisi tiba di tempat kecelakaan, dikiranya semua orang yang ada di dalam mobil meninggal dunia. Oleh karena itu, kami dibawa langsung ke kamar mayat di rumah sakit terdekat. Kemudian saat para dokter masuk akan mengidentifikasi tubuh kami, salah satu dari mereka sadar bahwa saya masih hidup. Nampak, saat itu saya masih bergerak dan menjerit tatkala pintu kamar mayat dibuka. Kejadian itu cukup menyebabkan salah satu petugas disana sangat terkejut hingga mengalami gangguan psikis sampai harus menjalani terapi selama beberapa bulan.

            Satu lengan saya harus diamputasi. Proses penyembuhannya memakan waktu beberapa bulan, baik itu di dalam negeri dan di luar negeri. Kemudian, saya baru tahu jika Hakan dan yang lainnya juga terlibat dalam kecelakaan beruntun itu.  Mereka semua meninggal kecuali seorang perempuan (kekasih Murat) dan diri saya.”

            Selama Murat (yang berlengan satu) menceritakan kejadian tadi, kami semua tak sempat menghela nafas dan mendengar ceritanya dengan penuh perhatian. Dia kemudian melanjutkan ceritanya;

            “Beberapa bulan setelah kejadian itu, saya memahami sesuatu yang luar biasa. Temanku Murat (yang meninggal dunia dalam kecelakaan), telah menyiapkan satu makam untuk dirinya, kurang lebih 15 hari sebelum kecelakaan mengerikan itu. Ia bahkan meminta seorang ulama untuk membacakan ayat suci Alquran di atas makamnya. Sang ulama bertanya, “Bagaimana saya bisa membaca Alquran kalau makamnya kosong seperti ini?” Murat lantas menjawab, “Anda fokus saja pada tugas itu, seseorang akan mengisi makam ini tak lama lagi.”Apa yang diucapkannya sungguh terjadi. Mereka menguburkan Murat sendiri di makam itu.

            Sementara itu, kisah tunanganku Ipek, lebih menarik. Persis sebelum saya menjemputnya, ia merapikan pakaiannya kemudian memasukkannya ke dalam koper. Ia meninggalkan sebuah catatan kecil di koper bertuliskan, “Jika diriku tidak kembali, berikanlah semua pakaian ini kepada orang miskin atau anak-anak dalam panti pengungsian.” Tampak seolah-olah ia memiliki firasat mengenai kecelakaan mengerikan malam itu. Saya sadar mengapa ia memaksaku duduk di kursi tengah. Ia ingin melindungiku. Ia sangat menyayangiku. Belum pernah saya melihat ia bersikeras seperti itu sebelumnya.”

            Tatkala Murat menceritakan hal ini, ia menangis tersedu-sedu. Lantas ia bertanya, “Ipek, kekasihku, ia beriman kepada Tuhan dan tidak meminum alkohol. Ia adalah seseorang yang jujur dan peduli terhadap orang lain. Ia senang membantu sesama. Hanya karena ia dibesarkan dengan cara yang salah, ia akhirnya tidak memiliki banyak ilmu tentang agama. Bagaimana menurutmu, saudaraku, akankah Tuhan mengampuninya?”

            Kami pun berusaha menenangkan tangisannya. Kami meyakinkan bahwa ampunan Tuhan tidak terbatas. Terlebih lagi, kepada mereka yang hidup dalam kondisi fatrat (kondisi di mana tiada nabi yang membimbing umat itu).  Karena itu, seorang Mukmin tidak boleh putus asa dari ampunan Tuhan. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat.

            Murat melanjutkan bercerita tentang keadaan dirinya,

            “Saya beriman kepada Tuhan. Saya bahkan tidak menyentuh minuman keras dalam beberapa tahun terakhir. Tapi, sudah lama saya merasa, diri ini sangat jauh dari naungan agama. Saya tidak tahu tentang ilmu agama dan tiada seorang pun  yang membimbing saya. Mungkinkah Tuhan mengampuniku, wahai saudara-saudaraku?”

            Sekali lagi, kami jelaskan padanya tentang luasnya ampunan dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Tampak matanya berkaca-kaca tatkala ia tersenyum dan berkata, “Saya tidak ingin meninggalkan kalian, saudara-saudaraku. Dengan izin kalian,  saya mohon, terimalah diriku menjadi saudara kalian!” Dengan hati yang tulus kami menjawab, “Kami menerimamu wahai saudaraku.”

            Beberapa minggu kemudian, Murat mengumpulkan koran-koran yang berisi tentang kecelakaan tragis yang menimpanya. Ia bermaksud untuk memberikannya kepada kami. Akan tetapi, akibat kecelakaan itu, ia sering mengalami kejang-kejang. Pada suatu sore, ia mengalami kejang-kejang yang parah dan Pak Ismail membawanya pulang. Ketika ia sudah siuman, tiba-tiba ia mengucapkan minta maaf lantaran tidak dapat hadir di pengajian bincang santai sebelumnya. Kejadian seperti itu terus berlanjut. Tepat seminggu kemudian, kami dapat informasi bahwa Murat mengalami kejang-kejang lagi dan terjatuh di kamar mandi. Kepalanya terbentur dan terluka. Keluarganya saat itu langsung membawanya ke rumah sakit terdekat. Ketika kami membesuknya, ia tidak mengenal kami sama sekali. Beberapa hari kemudian, Murat, saudara kami yang sangat kami cintai itu menghembuskan napas terakhirnya. Semoga Allah mengampuninya.

            Semua pemuda yang tinggal di Jalan Raya Bagdad, Istanbul, kala itu menangis karena kepergiannya. Mereka semua hadir di acara pemakaman. Ketika pemuda-pemuda itu menyadari siapa kami, tanpa basa-basi mereka mendatangi kami. Salah satu orang dari mereka bercerita,

            “Murat selalu menemui kami setelah bertemu dengan kalian. Ia bercerita telah bersahabat dengan orang-orang yang baik. Oleh karena itu, kami pun sangat ingin bertemu dengan kalian. Murat menasihati kami kalau jalan yang kami tempuh sekarang bukanlah jalan yang baik. Tidak hanya itu, ia menjelaskan bahwa semua yang ada di dunia ini hanya sementara. Dengan ketulusan kalbunya, ia ingin hidup dalam naungan Islam dan mengajak kami ke pengajian bincang santai kalian. Ia ingin sekali memperkenalkan kalian kepada kami, tetapi takdir berkata lain. “

            Allah Yang Maha Kuasa telah meridai Murat dalam waktu sesingkat itu. Setelah proses pemakaman usai, kami mengunjungi keluarganya. Ibu dan saudara perempuannya juga mengatakan hal yang sama. Ia sungguh bahagia bisa bersama kami.

            Saat di pemakaman tampak pula seorang lelaki dengan perban di kepalanya. Ia mendatangi kami dan berkata,

            “Murat adalah teman terbaikku dan saya benar-benar menyayanginya. Ketika saya mendengar kabar kematiannya, saya sangat terkejut dan menabrakan mobil saya ke pembatas jalan saat mengemudi. Itulah mengapa kepala saya diperban. Ada sesuatu yang ingin saya sampaikan ke kalian, saya hanya ingin bertanya, apakah Murat harus mati dulu sehingga kita bisa bertemu satu sama lain seperti ini? Mengapa kalian tidak pernah menemui kami sebelumnya?”

            Diakhirnya, kami mengetahui bahwa Murat adalah seorang pemuda yang sangat dermawan di lingkungannya. Bahkan setelah kematian Ipek, tunangannya, ia menjadi lebih gemar menolong sesama. Sekarang, ia dimakamkan persis di sebelah Ipek – di makam yang ia sudah persiapkan sebelumnya – berlokasi di Tempat Pemakaman Umum Karacaahmet.

Diambil dari kisah dalam:
Refik, Ibrahim, Hadiselerin Ibret Dili, Istanbul: Albatros, 2000, hal. 98

marek-piwnicki--7B7Vvk3KlQ-unsplash

Ambil Tongkat itu, Kami Pantas Dihukum!

Di lingkungan sekolah, nilai moral dan budaya seharusnya diajarkan dengan porsi yang sama dengan pelajaran umum lainnya, sehingga generasi dengan karakter dan semangat yang kuat dapat membentuk bangsanya menjadi bangsa yang makmur dan sejahtera. Mengajar dan mendidik adalah sesuatu yang berbeda. Banyak orang bisa menjadi seorang guru, namun tidak semua orang bisa mendidik. Menjadi seorang guru-pendidik bergantung kepada perasaan bertanggung jawab dan menjadi penuh perhatian dan menanggung beban amanah di waktu yang bersamaan. Memberi pengaruh ke hati para siswanya hanya bisa dicapai melalui tingkat perasaan jiwa seperti itu.

Kejadian berikut bisa menjadi contohnya:

Pak Ari datang menemui Pak Dimas dalam keadaan panik, “Mereka kabur lagi! Sudah berapa kali kita nasehati, tapi tetap saja mereka melakukannya lagi! Mereka tidak mendengar nasehat kita. Ini sudah ketiga kalinya mereka kabur!”

Pak Dimas bertanya, “ Kali ini, mengapa mereka kabur?”

“Saya kurang tahu; mereka ingin hidup seperti anak nakal,” balasnya

“Bagaimana Anda bisa menangkap mereka terakhir kali, Pak?”

“Pertama, kami temukan mereka di terminal bus dan kedua kalinya mereka kabur, kami menemukan mereka tidur di bangku yang ada di taman. Saat itu, kondisinya sedang PSBB (Pembatasan Sosial Berskala Besar) jadi polisi menemukan mereka dan menginformasikan kepada kita. Kami datang dan membawa mereka kembali. Kami sudah menasehati kepada mereka tentang perilaku mereka itu sangat beresiko, namun mereka tidak paham-paham.”

Sementara itu, ketiga pelajar yang sedang kabur memutuskan untuk membeli tiket kereta api. Kondektur yang sudah berpengalaman di stasiun kereta api menyadari bahwa anak-anak tersebut sedang kabur.

Dia berkata kepada mereka, “ Dengar nak, di sini bukan tempat yang aman, berikan tiket dan uang kalian dan saya akan menyimpannya. Saat kereta datang, saya akan mengembalikannya.” Anak-anak itu menyadari bahwa itu alasan yang masuk akal dan memberikan tiket mereka ke pak kondektur.

Pak kondektur pun menginformasikan ke polisi di stasiun kereta api dan meminta mereka untuk menginvestigasi anak-anak tersebut. Pak polisi bersikap baik terhadap mereka dan bertanya tentang kondisi anak-anak itu. Pak polisi menemukan nama asrama tempat mereka kabur. Segera Beliau menelpon pihak sekolah dan Pak Dimas yang mendapat informasi tersebut langsung tancap gas menuju ke stasiun. Beliau menjemput ketiga anak kabur itu dan membawanya kembali ke sekolah. Saat itu beliau ingin menghukum mereka secara berat, karena mereka sudah sering kabur sebelumnya. Saat tiba di sekolah, Beliau melihat Pak kepala sekolah dan berubah pikiran untuk menghukum siswa-siswanya. Beliau menceritakan kejadiannya ke Pak kepala sekolah.

Pak kepala sekolah berkata, “ Carikan saya 3 tongkat besi dan pastikan tongkat itu cukup tebal, saya tidak ingin tongkat itu mudah bengkok saat saya memberi pelajaran ke tiga siswa ini. Saya ada kelas sekarang, bawa 3 tongkat itu setelah saya selesai kelas.”

Pak Dimas keluar sambil berpikir, “Bukankah satu tongkat besi saja cukup? Tongkat besi tidak semestinya mudah patah seperti batang kayu biasa.” Kemudian beliau berpendapat, “ Saya harus menghormati beliau, pasti ada pelajaran penting dari ini.”

Setelah beberapa menit, dia kembali dengan menggenggam 3 batang tongkat besi di tangannya. Pak kepala sekolah pun sudah selesai dari kelasnya dan ketiga siswa tadi menunggu didepan pintu seperti pasien yang sedang menunggu untuk dioperasi, dengan rasa takut terlihat di mata mereka. Pak kepala sekolah memanggil mereka “Masuk anak-anak.” Kemudian Beliau menghadap ke Pak Dimas dan berkata kepadanya, “ Sini Pak Dimas, silakan lepas kemeja Anda, saya juga akan melakukan hal yang sama.” Kemudian Beliau melihat siswa-siswanya dan berkata, “ Ini ambil tongkat besinya masing-masing! Kami pantas untuk dihukum. Jika kami adalah contoh dan teladan yang baik, jika kami berhasil menyentuh hati kalian, kalian tidak akan berbuat hal bodoh seperti itu. Kami lah yang pantas untuk hukuman ini. Punggung kami terbuka, pukul sebanyak yang kalian mau.”

Ketiga siswa yang tadinya masuk dalam keadaan wajah pucat dan ketakutan setengah mati sekarang terkaget-kaget. Tongkat-tongkat besi tadi terjatuh dari tangan mereka dan mereka pun bersimpuh di lantai, menangis. Mereka mengaku bersalah kepada Pak kepala sekolah, “Tolong Pak, hukum saja kami apapun kehendak Bapak, patahkan kaki kami namun maafkan kami Pak.” Pak kepala sekolah cukup serius tentang keputusannya untuk menghukum dirinya sendiri. Namun, ketulusan permohonan dari siswa-siswanya menggugah hatinya. Akhirnya, Beliau berubah pikiran dan memutuskan untuk tidak bersikeras lagi. Tidak ada lagi siswa yang kabur dari asrama sekolah tersebut setelahnya.

Terinspirasi dari:

Refik, Ibrahim, Hayatin Renkleri, Istanbul: Albatros, 2001, p. 154

elly-johnson-0omE39JtUAQ-unsplash

Penderitaan dan Kesengsaraan

Ataukah kamu mengira bahwa kamu akan masuk surga, padahal belum datang kepadamu (cobaan) seperti (yang dialami) orang-orang terdahulu sebelum kamu. Mereka ditimpa kemelaratan, penderitaan dan diguncang (dengan berbagai cobaan), sehingga Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya berkata,

“Kapankah datang pertolongan Allah?” Ingatlah, sesungguhnya pertolongan Allah itu dekat. (Q.S. al-Baqarah 2:214)

Apa itu Penderitaan dan Kesengsaraan?

Dalam tulisannya, Ustadz Fethullah Gulen menyebutkan bahwa penderitaan dan kesengsaraan adalah sarana yang penting untuk mencapai tujuan luhur dan memperoleh hasil yang maksimal. Seorang yang mencari kebenaran disucikan oleh penderitaan, dimurnikan olehnya dan dengannya dia dapat mencapai hakikat kebenaran. Seseorang tidak dapat mencapai kematangan dan pemahaman akan kalbunya, tanpa ada penderitaan.

Semua sebab dari peristiwa besar dan tujuan altruistik terbabar dalam bayang-bayang, serba kekurangan, penderitaan, dan kesengsaraan. Tidak ada hakikat kebenaran dan cita-cita yang mulia yang dapat dicapai tanpa menghadapi suatu kesulitan dan dilalui tanpa kekurangan.

Suatu Sebab Memerlukan Penderitaan dan Kesengsaraan

Pengabdian kepada Islam dan kesuksesan di jalan ini selalu terjadi dengan metode yang sama, dan begitu banyak jenis penderitaan dan kesengsaraan yang harus ditanggung. Teladan kehidupan yang penuh akan penderitaan dan kesengsaraan dalam pengabdian di jalan Tuhan dapat dilihat dalam kehidupan generasi awal masyarakat yang hidup berabad-abad yang lalu bersama Rasul mereka.

Misalnya, jika kata-kata atau cacian yang dilontarkan ke Nabi Nuh oleh umatnya, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran, dilontarkan kepada salah satu dari kita di pinggir jalan dan jika kita dihina dengan cara seperti ini, kejiwaan kita akan goyah oleh rasa sakit. Salah seorang dari lima Nabi termulia, pelayan Tuhan ini pergi dari pintu ke pintu setiap hari dan menyentuh gagang pintu rumah setiap umatnya seraya berkata, “Katakan bahwa tidak ada Tuhan selain Allah dan jadilah yang terselamatkan”; Namun, balasan dari umat-umatnya terkadang adalah mengikat tali ke kakinya dan menyeretnya, kadang-kadang mengeroyok dan memukulinya, juga melemparkan tanah padanya dan bahkan melontarkan hinaan yang sangat kejam.

Jika kita mencermati kisah kehidupan Nabi Ibrahim as, terlihat betapa berat kesulitan yang Beliau alami. Beliau menghadapi penderitaan dan kesengsaraan terberat, seperti dilempar ke dalam kobaran api, diperintahkan membawa pergi jauh istrinya dan meninggalkannya disana, dan diperintahkan untuk menyembelih putranya.

Salah satu murid Nabi Isa as mengkhianati Beliau. Kemudian, umatnya sendiri dengan licik mengepung rumahnya dan berlomba-lomba untuk menyalib Sang Nabi.

Ringkasnya, semua Nabi mengalami penderitaan. Jalan seperti inilah merupakan jalan yang mereka lalui. Oleh sebab itu, Yunus Emre (w. 1321 M) berkata:

“Jalan ini panjang; rintangannya banyak. Tidak ada jalan masuk, hanya perairan yang dalam.”

Saat kita meninjau dari perhatian yang seperti ini, mereka yang bertugas di jalan Tuhan harus disiapkan untuk semua jenis kesukaran dan kesulitan, penderitaan dan kesengsaraan. Mereka yang beriman sebaiknya bisa menerima bahwa sejak awal mungkin akan ada malapetaka mengintai mereka dalam tugas untuk menjelaskan Tuhan dan kebenaran kepada setiap hati yang membutuhkan, dan mereka harus mengetahui dengan baik dan menerima bahwa mereka harus menanggung seperti ini.

kayra-sercan-NSwyO3jcbrA-unsplash

Kami juga Menerima Pengunduran Diri Mereka yang Telah Memberikan Pengunduran Diri Kepada Anda

Sang pujangga besar Mehmed Akif Arsoy seringkali datang ke Masjid Sultan Ahmed untuk menunaikan salat Subuh. Setiap kali beliau datang ke masjid, beliau selalu melihat seorang lelaki tua sedang menangis di sudut ruangan. Suatu hari, lelaki tua itu menceritakan pengalamannya kepada beliau yang membuatnya sangat tersentuh. Lantas  beliau menjelaskan bagaimana percakapannya dengan lelaki tua tersebut.

“Setiap harinya saya selalu datang ke masjid untuk menunaikan salat Subuh. Secepat apapun saya tiba, saya selalu melihat seorang lelaki tua yang tengah duduk di sudut masjid dan terus menangis . Rambut dan jenggotnya sudah beruban dan ekspresinya terlihat sedih dan putus asa. Ia terus menangis sampai-sampai saya  tidak bisa menyaksikan ia tidak menyucurkan air mata meskipun hanya semenit. Saya tidak bisa menahan diri selain bertanya-tanya mengapa lelaki tua ini menangis seperti itu. Suatu pagi, saya mendekatinya dan bertanya “Mengapa Anda menangis tersedu-sedu? Haruskah seseorang kehilangan harapan akan ampunan Tuhannya?” Dia menatapku dengan matanya yang keriput seraya berkata:

Jangan memaksaku menjelaskannya Tuan. Hatiku terasa hancur. Aku pun terus memaksanya hingga akhirnya ia berkata : ” Wahai Tuan, saya dahulu adalah seorang pejabat militer di bawah kekuasaan Sultan Abdulhamid. Satu pasukan tentara berada di bawah komando saya.  Saya bertugas hingga kematian kedua orang tua. Setelah kejadian duka itu, saya memutuskan untuk mengundurkan diri. Harta yang saya wariskan bagi keluarga cukup banyak. Untuk mengawasi harta tersebut agar tidak disalahgunakan, akhirnya saya berpikir untuk mengelolanya dalam. Oleh karena itu, saya menulis sebuah permintaan kepada otoritas kerajaan. Permintaan tersebut berbunyi ” Kedua orang tuaku telah wafat. Kepemilikan harta dan bangunan keluarga kami sangat besar tersebar di beberapa tempat. Dengan demikian, harus ada seseorang yang mengurusnya. Mohon pertimbangkan keadaan tersebut dalam pemutusan pengunduran diri saya.”

Beberapa hari kemudian, saya menerima surat resmi dari sultan. Kubuka surat itu dengan penuh semangat. Pengunduran diri saya tertolak. Kupikir sangat jelas bahwa Sultan menerimanya secara langsung. Kutulis surat itu sekali lagi lantas kukirim kembali. Naas, hasilnya tetap sama. Akhirnya, saya putuskan untuk menemui Sultan secara langsung dan meminta persetujuan pengunduran diriku. Berbicara perihal Sultan, beliau ialah seseorang yang pemberani.  Beberapa waktu silam, saya pernah bekerja bersama asisten pribadi beliau. Ia bercerita beberapa hal mengenai Sultan. “Ketika Sultan melakukan perjalanan menggunakan kereta kuda, orang yang duduk di samping kanan dan kiri beliau merasa takut bahkan untuk bernapas saja.”

Abdulhamid ialah seseorang yang saleh. Karena alasan inilah saya memutuskan untuk menceritakan semuanya secara langsung, semoga Allah mengampuni beliau. Saya bertutur :

“Wahai Yang Mulia, dengan tulus hamba meminta Anda untuk menerima pengunduran diri hamba, memang beginilah kondisinya. Beliau berhenti selama beberapa menit. Dari ekspresinya dapat kukatakan bahwa Sultan tidak ingin menerima pengunduran diri saya. Untuk alasan inilah saya menjadi lebih sedikit bersikukuh. Lantas Sultan berbalik menatap saya dan dengan amarah beliau berkata “Pengunduran dirimu diterima” seraya menyuruh saya keluar.

Sungguh hal yang membahagiakan. Saya pun akhirnya kembali ke kampung halaman dan mengelola bisnis keluarga. Pada suatu malam, saya mengalami mimpi yang sungguh luar biasa. Kulihat semua tentara Muslim berkumpul untuk diperiksa. Resimen kami yang bertugas bertempur di wilayah timur dan barat diperiksa langsung  oleh Baginda Rasulullah.

Rasulullah berdiri de depan Istana Yidiz dan para tentara berbaris dengan sangat teratur tatkala memberi hormat pada beliau. Tampak Sultan Ottoman sebelumnya bersama Sultan Abdulhamid. Sang Sultan berdiri di belakang Rasulullah dengan sikap hormat. Dalam barisan tersebut akhirnya tibalah resimen yang kupimpin dulu. Satuan itu tidak memiliki pemimpin sehingga mereka berbaris dengan sangat kacau.

Melihat hal tersebut, Rasululllah bertanya kepada Sultan Abdulhamid ” Siapakah gerangan pemimpin resimen itu?”

Abdulhamid menjawabnya dengan penuh rasa rendah hati “Ya Rasulullah, pemimpin resimen ini telah mengundurkan diri. Ia terus bersikeras  sehingga kami putuskan untuk menyetujui surat pengunduran dirinya.’

Beliau menjawab : “Kami juga menerima pengunduran diri bagi mereka yang telah memberikan pengunduran diri kepada Anda.”

Si orang tua tersebut mengakhiri ceritanya dengan berkata :” Sekarang beri tahu, apakah saya harus menangis atau tidak?

Sesungguhnya, Rasulullah selalu berjalan di setiap langkah menuju Allah. Apabila seorang hamba ingin menerima dukungan beliau, kerjakanlah tugas sebaik mungkin.

oxa-roxa-bnFuB--1lE4-unsplash

Rendah hati dan Sederhana

Rendah hati berarti mempunyai sifat malu seperti halnya menjaga kesucian dan dalam kesederhanaan. Rendah hati dan sederhana berkaitan dengan membatasi diri agar tidak berlebihan dalam segala hal. Hal ini juga berkaitan dengan penempatan diri seseorang untuk melindungi hubungannya dengan Tuhan terlebih dahulu, kemudian dengan manusia.

Rendah hati juga merupakan salah satu kualitas utama yang dapat menjadikan manusia sebagai hamba terbaik. Selain itu rendah hati ialah perhiasan spiritual yang dimiliki seseorang, yang menjadi watak utama sebagai patokan Allah melihat kualitas hambanya. Dalam hal ini berarti, rendah hati juga berkaitan dengan menghindari segala perbuatan buruk, yang mana Allah tidak menyukainya, dan membuatnya menjadi hamba berkualitas buruk.

Dalam kitab Al Mutawwa, dikatakan bahwa setiap agama mempunyai satu kode etik, dan kode etik Islam ialah kerendahan hati dan kesederhanaan. Rasulullah mencontohkan sifat mulia ini kepada umat muslim melalui keseharian beliau. Abdullah bin Umar berkata, “Rasulullah melarang seorang lelaki yang menyuruh saudaranya untuk tidak rendah hati, dengan berfirman kepada lelaki tersebut, ‘biarkanlah dia, rendah hati merupakan sebagian dari iman.” Di hadist lain dikatakan, “Iman mempunyai lebih dari tujuh puluh cabang, dan cabang yang paling utama ialah pernyataan,’tidak ada yang patut disembah kecuali Allah,’ sedangkan cabang yang paling bawah ialah menyingkirkan kerikil dari jalan. Rendah hati ialah salah satu cabang atau bagian dari iman.”

Lalu, kepada siapa saja kita harus bersifat rendah hati dan sederhana?

  • Rendah hati dan sederhana kepada Allah

Bentuk paling sederhana dari sikap rendah hati dan sederhana kepada Allah ialah menaati segala perintahNya dan menjauhi laranganNya.

  • Rendah hati dan sederhana kepada manusia

Sikap ini dapat dilakukan dalam bentuk tidak menyakiti sesama dan melakukan perbuatan-perbuatan baik kepada sesama.

  • Rendah hati dan sederhana kepada diri sendiri

Sikap ini dapat dilakukan dengan menghindari dosa-dosa ketika sedang dalam keadaan sendiri.

Rasulullah mengajarkan bahwa ketakutan akan sifat sederhana dan rendah hati dapat mengarahkan seseorang pada kekafiran. Sunan ibnu Majjah mengatakan, “Kerendahan hatian dan kesederhanaan ialah struktur keimanan. Apabila struktur itu diruntuhkan, maka keimananpun akan rusak dan hancur. Karena moral keislaman ialah rendah hati dan sederhana.

Suatu hari, seorang yang bijaksana dengan pengetahuan teknologinya melihat seorang laki-laki tampan yang bermasalah dengan sifat sederhananya. Menyadari hal itu, seorang bijaksana itu memberitahu laki-laki tampan yang ditemuinya dengan perkataan yang lembut dan penuh pelajaran. Dia berkata, “Ini ialah rumah yang mewah dan bagus, saya harap rumah ini juga memiliki fondasi yang kuat.”

Fondasi yang kuat ialah sifat sederhana dan rendah hati. Tanpa keduanya segala sesuatu yang indah tak akan memiliki arti. Seperti halnya bangunan yang tak memiliki fondasi maka tidak akan pernah bisa berdiri.

Beberapa orang hanya menampakkan sifat rendah hatinya saat orang lain melihatnya. Faktanya, hal ini justru akan mengarahkan orang itu kedalam perbuatan dosa. Hal ini juga menentukan level kerendahan hati orang tersebut. Seorang yang hanya menghindari dosa hanya saat di depan publik tanpa melakukannya ketika dalam keadaan sendiri, sama saja levelnya dengan kehinaan.

Dalam hal ini, marilah bertanya kepada diri kita masing-masing, apakah seseorang pernah benar-benar sendiri ketika tidak ada seorang pun di sekitarnya? Tentunya tidak. Ada malaikat yang terus mengawasi kita selama 24 jam. Seseorang yang mempunyai keyakinan itu akan terus menjaga sifat sederhana dan rendah hatinya dalam keadaan apapun.