Dawai Kalbu

Mereka yang Merasakan Manisnya Iman

Photo by Saffu on Unsplash

“Dawai Kalbu: Mereka Yang Merasakan Manisnya Iman”

Dalam sabda Nabi SAW disebutkan bahwa: Barangsiapa memiliki 3 ciri ini, berarti dia telah merasakan manisnya iman[1]. Ciri-ciri tersebut antara lain:

  1. Mencintai Allah dan RasulNya atas segalanya
  2. Mencintai sesuatu hanya karenaNya
  3. Benci kembali ke kesesatan seperti bencinya ia jika dilempar ke neraka

Jika pada diri seseorang ada tiga ini, maka pemiliknya akan merasakan manisnya iman. Mereka yang merasakan manisnya iman, imannya di atas segalanya, serta memahkotai imannya dengan makrifat. Iman yang tak bersandar pada makrifat selalu mudah ambruk oleh sedikit guncangan.

Kondisinya mirip seperti hari ini, dimana kita diguncang oleh perilaku setan dan bala bencana. Di sisi lain, guncangan itu menguji siapa saja yang teguh di jalanNya, sebagaimana ampas dan residu terpisah dari emas dan perak saat diekstraksi.

وَلِيُمَحِّصَ ٱللَّهُ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَيَمۡحَقَ ٱلۡكَٰفِرِينَ 

“Agar Allah membersihkan orang beriman dan membinasakan orang kafir” (QS 3:141).

Orang-orang terjungkal karena sikapnya, mereka menunjukkan siapa dan kemana mereka bersandar. Ternyata karakternya menunjukkan bahwa mereka tak siap menghadapi persoalan-persoalan serius. Andai mereka hidup di masa Nabi mereka akan membuat fiasko dan blunder di Badar dan Uhud. Di Medan Khandaq, mungkin mereka akan membuat skenario untuk berlepas diri. Sebagaimana yang dilakukan oleh tokoh munafik, Abdullah bin Ubay bin Salul. Mungkin dia hanya satu, tetapi di sekitarnya ada banyak orang lugu yang hanyut bersamanya. Kini dunia kita mengalami inflasi karena banyaknya sosok seperti Abdullah bin Ubay bin Salul muncul.

Demikianlah, tanda dirasakannya manisnya iman adalah dicintainya Allah dan RasulNya di atas segalanya. Pertama iman kepada Allah, lalu memahkotai iman dengan makrifat. Kemudian menjaga agar makrifat dan mahabatullah senantiasa terkembang. Memahkotai mahabatullah dengan rasa cinta dan istiyak kepadaNya. Topik ini banyak dibahas dalam tasawuf, tetapi tidak di kitab fikih dan akhlak. Rasa cinta dan istiyak kepada Allah kemudian melahirkan zawq ruhani yang dibahas oleh Ustaz: “Imani billah, makrifatullah, mahabbatullah, dan zawq ruhani.”

Tetapi, dari perspektif Qitmiriyah, Zawq Ruhani hanya dicapai jika tak diharapkan, tetapi datang sendiri. Segala amal hanya untukNya. Saat datang, kita hanya bisa berkata: “ini semua adalah anugerah, rahmat, kemurahan dari Allah SWT.” Semoga Allah tak membatasi anugerah ini pada kita, semoga Allah senantiasa menganugerahinya pada kita Imani billah, marifatullah, mahabatullah, zawq ruhani, dan rasa cinta dan istiyak padaNya.

Mencintai Allah dan RasulNya lebih dari apapun. Sebagai contoh, seperti yang kusampaikan di ceramah yang agak berantakan waktu itu. Ketika Sayyidina Umar tiba-tiba mahabah serta rasa cinta dan istiyaknya terkembang. Lalu ia menatap wajah cemerlang secerah mentari dari Baginda Nabi dan berkata, “Ya Rasulullah! Aku mencintaimu lebih dari segalanya, dari keluargaku, anakku, kecuali diriku.” Pernyataan ini adalah pernyataan yang sangat penting. Andai kita mendengar langsung pernyataan serta kehalusan, kedalaman, serta keindahannya, maka pasti kita akan berdiri dan berputar layaknya para darwish murid Rumi. Tetapi Baginda Nabi memberikan jawaban yang tak disangka. “Tidak beriman salah seorang dari kamu hingga aku lebih dicintai daripada dirinya sendiri.” Istimewanya sistem respon Sayyidina Umar, ia bisa menerima pesan dari seribu lokasi berbeda sekaligus. Pesan tersebut dengan segera diolah dan diberi respon. Ia memiliki kapasitas untuk berkembang serta melejit secara instan dan seketika. Seketika ia berkata:”Ya Rasulullah, kini aku mencintaimu bahkan lebih dari diriku.”[2] Aku tak pernah berpikir walau satu banding sejuta kata-katanya akan menyalahi realita. Ia adalah Umar. Semoga Allah anugerahi kita keistimewaan itu.

 

[1] Dari Anas bin Malik Radhiyallahu anhu , dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

ثَلَاثٌ مَنْ كُنَّ فِيْهِ وَجَدَ بِهِنَّ حَلَاوَةَ الْإِيْمَانِ، مَنْ كَانَ اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِمَّا سِوَاهُمَا وَأَنْ يُـحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلهِ، وَأَنْ يَكْرَهَ  أَنْ يَعُوْدَ فِـي الْكُفْرِ بَعْدَ أَنْ أَنْقَذَهُ اللهُ مِنْهُ، كَمَا يَكْرَهُ أَنْ يُقْذَفَ فِـي النَّارِ.

“Ada tiga perkara yang apabila perkara tersebut ada pada seseorang, maka ia akan mendapatkan manisnya iman, yaitu (1) barangsiapa yang Allâh dan Rasûl-Nya lebih ia cintai dari selain keduanya, (2) apabila ia mencintai seseorang, ia hanya mencintainya karena Allâh. (3) Ia benci untuk kembali kepada kekufuran setelah Allâh menyelamatkannya sebagaimana ia benci untuk dilemparkan ke dalam Neraka.”

Hadits Shahih, diriwayatkan dalam Shahih Al-Bukhari (no. 16), Muslim (no. 43), At-Tirmidzi (no. 2624), An-Nasa`i (VIII/95-96), dan Ibnu Majah (no. 4033).

[2] Kisah ini diriwayatkan pada HR. Bukhari [Bukhari: 86-Kitabul Iman wan Nudzur, 2-Bab Bagaimana Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersumpah]

Leave a reply

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

You may also like

More in Dawai Kalbu