mengembangkandiri.com golden-scales-of-justice-on-wooden-table-on-black-2021-09-01-13-07-28-utc

Tidaklah Sama Kebaikan dengan Kejahatan

Tidaklah Sama Kebaikan dengan Kejahatan

Perbedaan Nabi Nuh ‘alaihisalam dan Nabi Musa ‘alaihisalam dengan Rasulullah ﷺ

Nabi ﷺ bersabda:”Di antara para nabi aku tidak mirip dengan Nabi Nuh dan Musa as”

Nabi Nuh ‘alaihisalam merupakan nabi yang hidup selama 950 tahun dan selama itu pula nabi Nuh berdakwah dan menasihati kaumnya.  Bukan hal yang mengherankan. Semuanya atas kuasa Allah.

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus Nuh kepada kaumnya, maka ia tinggal di antara mereka seribu tahun kurang lima puluh tahun. Maka mereka ditimpa banjir besar, dan mereka adalah orang-orang yang zalim.” (Al – ‘Ankabut ayat 14)

Saat semua sebab dan sarana bungkam, saat semua pintu yang diketuk tertutup untuknya. Sampai di mana akhirnya, nabi Nuh berdoa kepada tuhannya yaitu Allah subhana wa ta’ala agar kaumnya yang menolak nasihat yang beliau berikan selama 9 abad lamanya untuk diberi peringatan.

“Nuh berkata: “Ya Tuhanku, janganlah Engkau biarkan seorangpun di antara orang-orang kafir itu tinggal di atas bumi”.” (Nuh ayat 26)

Jangan biarkan mereka yang mengingkarimu, tak mengenalmu, menutup matanya dari perintahmu yang acuh terhadap syariahmu tinggal dan menetap di muka bumi.

“Ya Tuhanku! Ampunilah aku, ibu bapakku, orang yang masuk ke rumahku dengan beriman dan semua orang yang beriman laki-laki dan perempuan. Dan janganlah Engkau tambahkan bagi orang-orang yang zalim itu selain kebinasaan”. (Nuh ayat 28)

Beliau berdoa agar kehancuran bagi orang-orang zalim ditambahkan. Namun, di tempat lain, saat Nabi Nuh kehabisan suara dan napas,

“Maka dia mengadu kepada Tuhannya: “Bahwasanya aku ini adalah orang yang dikalahkan, oleh sebab itu menangkanlah (aku)””.(Al – Qamar ayat 10)

Selama itu beliau pergi berkeliling dari pintu ke pintu Apa yang beliau sampaikan?

“Dia yang menciptakan mu, Sang Penyusun amir takwini.”

“Pencipta keseimbangan antara alam denganmu, Dia ingin kalian mengimaniNya”

Baginda Nabi ﷺ di periode tertentu berdakwah: “Ucaplah La ilaha illallah, raihlah keselamatan”

Raihlah kemenangan! Raih keselamatan!

Tak ada seorangpun berwenang mengatakannya! Hanya ia, pemiliki komunikasi dengannya, pengemban risalah, yang berwenang mengatakannya Lewat ibarat diungkapkan: “la ilaha illallah”, sedang lewat isyarat, ungkapan usulnya: “muhammadur Rasulullah ﷺ “. Maka semua nabi menyampaikan pesan yang sama, demikian juga Nabi Nuh ‘alaihisalam. Demikian juga Nabi Musa, di 1-2 tempat, untuk kaumnya yang keras kepala, khususnya pada Firaun,

Akif menyebutnya sebagai Amnofis, Atau julukan lainnya. Dimana tak ada kezaliman yang tak dirasakan Nabi Musa darinya

Musa berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan Kami — akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakan lah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih”. (Yunus: 88)

Kemiripan Akhlah Nabi Ibrahim ‘alaihisalam dan Nabi Isa ‘alaihisalma dengan Rasulullah ﷺ

“Namun dari segi akhlak, aku mirip dengan Nabi Ibrahim dan Isa” sabda Baginda Nabi

Pernyataan ini bukanlah hafalan tanpa dipikir…

Nabi Ibrahim saat meninggalkan ayahnya, beliau mendoakannya walau ayahnya sangat keras kepala

“Dan ampunilah ayahku, sesungguhnya dia termasuk orang yang sesat”(Asy – Syu’ara’ : 86)

Jawaban beliau ketika diusir ayahnya justru doa Andai Azhar ayahnya. Beberapa penafsir berkata, ia pamannya, karena abi juga dipakai untuk panggilan paman.

Nabi Isa berkata:”Kebaikan bukanlah kebaikan kepada mereka yang berbuat baik kepadamu…”

“Kebaikan adalah berbuat baik kepada mereka yang berlaku buruk kepadamu” Itulah gambaran kelembutan akhlak Nabi Isa ‘alaihisalam. Rasulullah pun mengadopsinya.

“Dan tidaklah sama kebaikan dan kejahatan. Tolaklah (kejahatan itu) dengan cara yang lebih baik, maka tiba-tiba orang yang antaramu dan antara dia ada permusuhan seolah-olah telah menjadi teman yang sangat setia”. (Fussilat ayat 34)

Kebaikan dan keburukan hal berbeda satu sama lain. Yang satu seperti anak panah yang menunjuk arah menuju neraka. Satu lagi seperti anak panah atau kompas penunjuk kiblat, ia mengarahkan ke surga. Keduanya berbeda satu sama lain,Keduanya dipisahkan jarak yang amat jauh, gap antara ‘hasanah’ dan ‘sayyi’ah’ amatlah lebar. Kebaikan tidaklah sama dengan keburukan. Bersihkanlah keburukan dengan kebaikan.

Kisah Habil dan Qabil

Jika kamu melakukannya, mereka yang selalu men denyut kan permusuhan akan membuka dadanya untuk merangkul mu. Dan hari ini, kalian menghadapi ujian yang amat besar. Heroisme adalah tidak meninggalkan kebaikan walau untuk mereka yang berlaku keterlaluan kepadamu. Seperti yang dikatakan anak pertama kebaikan (Habil) kepada keburukan (Qabil):

“Aku takut kepada Allah, Tuhan seluruh alam.”

Jika kamu mengangkat tangan untuk membunuhku, andai kamu mengangkat senjata, kapak, bayonet untuk membunuhku. Aku tak berniat untuk membalas mu, karena aku takut kepada Allah. Ingatlah akhir dari perbuatan mu, yaitu neraka. Akibat dari perbuatan mu kepadaku adalah neraka. Maka urungkan lah niatmu.

Disini sebenarnya Habil tidak ingin saudaranya masuk neraka. Tak usah Habil yang merupakan putra Nabi Adam ‘alaihisalam.

Aku pun ketika mendoakan mereka yang berbuat buruk kepada kalian “Ya Allah, janganlah Engkau hukum mereka dengan azab di akhirat. Selamatkan mereka dari neraka.”

“Jika Kehendak mu mewajibkan mereka untuk diazab, maka azab lah mereka di dunia dengan azab yang lembut.”

Di akhirat nanti wajah mereka berkerut diselimuti rasa malu. Pandangannya menyiratkan permohonan pengampunan. Mereka yang berbuat buruk, menjauhkan hak-hak hidup Anda, mereka yang membunuh karakter Anda kelak di akhirat nanti, mereka akan datang membungkuk di hadapan Anda

Doaku: “Ya Allah, agar mereka nanti tidak terlalu parah menahan malu, jika kehendak mu menghendaki azab.”

“Dengan mengakhiri masa penangguhan azab, dengan keadilan dari ke maha suci an mu, hukumlah mereka di dunia”

“Janganlah Kau azab mereka di akhirat, jangan pula Kau azab kami dengan mengazab mereka”

“Karena aku takkan sanggup! Aku tak sanggup melihat orang lain terbakar oleh api neraka jahannam…!”

Ya, Jika sosok agung tersebut sedemikian nya memikirkan Qitmir, tentu dia berkata

“Andai engkau mengulurkan tangan tuk membunuhku, aku takkan mengulurkan tangan tuk membunuhmu…”

إِنِّي أَخَافُ اللَّهَ رَبَّ الْعَالَمِينَ…

“…..Sesungguhnya aku takut kepada Allah, Tuhan seru sekalian alam”. (Al – Ma’idah: 28)

Karena itu, maka karakter dan akhlak inilah yang harus ditunjukkan. Benih kebaikan yang kalian tebar dan semai tanpa disadari, saat Anda melihatnya, Anda akan terkejut ia berkecambah menjadi tunas pohon-pohon kebaikan.

Atas izin Allah, tunas-tunas tersebut nantinya akan menjadi puluhan pohon cemara Anda akan berkata:”Ternyata semua ujian ini tujuannya untuk menumbuhkan ‘pohon’ ini. Berarti aku beruntung..”

Biarkan saja mereka yang memilih jalan rendah, biar mereka melanjutkan jalannya. Anda tetap harus memikirkan bagaimana cara berbuat baik kepada mereka. Hendaknya keburukan tidak dibalas dengan keburukan, sebagaimana dicontohkan Baginda Nabi, Nabi Isa membalas dengan kebaikan berarti Anda menunjukkan sifat gentelman, kemanusiaan, dan karakter mulia Anda.

قُلْ كُلٌّ يَعْمَلُ عَلَىٰ شَاكِلَتِهِ

“Katakanlah: “Tiap-tiap orang berbuat menurut keadaannya masing-masing”.”(Al – Isra’: 84)

Seseorang bersikap sesuai bawaan karakternya. Berbuat zalim, berkata zalim, berpikir zalim…

Seseorang bersikap sesuai bawaan karakternya. Berbuat zalim, berkata zalim, berpikir zalim…

Pandangan Anda harus mengalirkan keadilan,

Telinga Anda penuh akan gemerincing keadilan,

Mulut Anda harus senantiasa mengucap keadilan,

Jantung Anda pun harus mendetakkan keadilan…

Semoga Allah menjadikan kita sebagai manusia dengan kualitas demikian

Semoga Allah mengampuni kesalahan kata-kataku..

Aku mohon maaf juga dari Anda sekalian…

idul adha ibadah kurban

Perjuangan dalam Kebahagiaan Ibadah Kurban

Karya Pembaca: Habib A.

Setahun sekali, umat muslim melakukan ibadah kurban sebagai bentuk ketaatan kepada Rabb-nya, sebagai sunnah yang diwariskan oleh beliau abu anbiya Ibrahim alaihi salam. 

Tak henti – hentinya dan tak bosan – bosannya, mereka yang berada di jalan dakwah mengingatkan kepada kita yang awam tentang keutamaannya, tidak lain adalah guna memotivasi kita supaya ikhlas, hanya mengharap ridha-Nya. 

Semua manusia turut merasakan dampaknya, tidak terkhusus bagi mereka yang muslim saja. 

Hari raya kedua umat muslim yang ditetapkan oleh-Nya pada bulan Dzulhijjah, sebagai salah satu dari empat bulan haram, menjadi suatu hari yang begitu dinantikan. Hari dimana golok dan pisau sudah dalam keadaan tajam, siap untuk mengambil manfaat hewan kurban yang telah disiapkan. Hari dimana kantung plastik dan timbangan bersatu dalam menjalankan peran, membagikan kepada semuanya tanpa membedakan ras, suku, agama, dan golongan. Hari dimana para ibu mempersiapkan bumbu masakan beserta alat masak untuk melanjutkan estafet perjuangan. Semuanya berbahagia di hari itu dan di tempat itu, hanya mereka yang disembelih-lah yang meneteskan air mata, air mata kebahagian karena dipersembahkan kepada Penciptanya.

Ya. Bukan hari raya namanya jika tidak ada kebahagiaan di dalamnya. Bukanlah hari raya namanya jika sebelumnya tidak ada perjuangan yang dilakukan. 

Keduanya, baik kebahagiaan maupun perjuangan merupakan suatu kemurahan dari-Nya, Sang Maha Pemurah. Kemurahan yang diberikan bukan tanpa maksud, melainkan dimaksudkan agar hamba-Nya menjadikannya sebagai sarana untuk mendapatkan kebahagiaan abadi di akhirat kelak, sebagai bentuk kasih sayang-Nya, Sang Maha Penyayang.

Sudah menjadi hal yang rutin bagi kita untuk gigih dalam perjuangan sebelum datang kebahagiaan sebagai ekspresi dari kemenangan. Perjuangan yang tidak terlepas dari sebuah pengorbanan. Perjuangan yang timbul dari ketakwaan.  Perjuangan untuk menaklukan hawa nafsu dalam jiwa. Perjuangan yang lebih berat daripada menaklukan sebuah kota sendirian.  

Perjuangan yang dimaksud tersebut adalah puasa, yang setelahnya akan tiba kebahagiaan dalam bentuk hari raya. Terlepas dari hukum pelaksanaan keduanya yang berbeda, mengisyaratkan kepada kita akan adanya kesakitan sebelum kesenangan, keringat sebelum nikmat.

Tak hanya puasa saja yang dapat dikatakan sebagai perjuangan. Kurban yang dilakukan pada Idul Adha pun demikian. Meskipun di awal disebutkan bahwa hari raya -idul adha – merupakan suatu kebahagiaan yang datang setelah adanya perjuangan, tetapi mengapa masih ada perjuangan yang dilakukan di dalamnya?  Dan mengapa berkurban dikatakan sebagai sebuah perjuangan? Perjuangan dalam kebahagiaan?

Jawaban dari kedua pertanyaan tersebut dapat kita baca pada QS. Al Hajj (22) ayat 37, Allah Azza wa Jalla berfirman yang artinya,

“Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kamu. Demikianlah Dia menundukkannya untukmu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”.

Ya. Pada ayat tersebut disebutkan bahwa daging dan darah dari hewan yang kita kurban-kan tersebut tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketakwaan kita. Ayat ini menjadi penangkis terhadap praktik sesaji yang dilakukan, sebagai bentuk penegasan bahwa Allah Yang Maha Suci berbeda dengan berhala-berhala yang dijadikan mereka sebagai sekutu-Nya.

Sekali lagi, tidak akan sampai kepada Allah sesuatu berupa benda yang kita kurban-kan. Melainkan, yang akan sampai kepada-Nya adalah ibadah kurban yang kita lakukan sebagai bentuk ketakwaan kita kepada-Nya. Ketakwaan yang melahirkan perjuangan, perjuangan melaksanakan apa yang diperintahkan-Nya dan menjauhi apa yang menjadi larangan-Nya. Ketakwaan yang dilakukan dengan dasar keimanan dan disempurnakan dengan keikhlasan. Ketakwaan yang mengharuskan kita melepaskan dengan rela apa yang kita cinta. Tidak semua orang dapat melakukannya, kecuali mereka yang Allah inginkan kebaikan untuknya.

Allah berfirman, “Dan unta – unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu akan menyembelihnya) dalam keadaan berdiri (dan kaki dalam keadaan terikat). ..” QS. Al Hajj (22) : 36.

Allah berfirman, “Demikianlah (perintah Allah). Dan barang siapa mengagungkan syiar – syiar Allah, maka sesungguhnya hal itu timbul dari ketakwaan hati”.  QS. Al Hajj (22) : 32.

Memang, tidaklah mudah untuk melepaskan sekaligus merelakan sesuatu yang kita cinta, baik itu harta, tahta, pasangan, maupun anak. Itulah sebabnya ibadah kurban dapat dikatakan sebagai bentuk perjuangan, perjuangan pada saat hari raya, perjuangan dalam kegembiraan, perjuangan sebagai bentuk ketakwaan. 

Di sinilah Allah Sang Pemilik Alam Semesta menguji kita, menguji seberapa sami`na wa atho`na nya diri kita terhadap apa yang diperintahkan-Nya. Yang mana sebelumnya, Dia melakukannya kepada kekasih-Nya Ibrahim `alaihissalam, yang menjadi tonggak awal lahirnya perjuangan ini. Dia menguji seberapa sami`na wa atho`na nya beliau Ibrahim alaihi salam ketika dihadapkan dengan perintah untuk menyembelih anaknya, Ismail alaihi salam. Beliau berhasil. Lalu, Dia menyampaikan kembali bentuk ketakwaan tersebut kepada anak keturunan Ibrahim Sang Kekasih-Nya hingga akhir zaman.

Bukan tanpa maksud, disampaikan oleh-Nya perintah kurban kepada kita adalah agar kita menjadi dekat kepada-Nya, agar kita mendapat ridho-Nya, dengan ketakwaan sebagai dasarnya. Berbekal kedekatan dengan-Nya, berbekal ridho-Nya, Dia memberikan kebahagiaan yang tidak terbayang oleh kita sebelumnya. 

Demikianlah. Puasa dan kurban sebagai miniatur kecil dari sebuah perjuangan yang akan mengantarkan kepada kebahagiaan sebagai bentuk dari kemenangan. Namun, sebagaimana diumpamakan dengan ibadah kurban, kebahagiaan tersebut belumlah bersifat final, masih terdapat perjuangan yang dilakukan di dalamnya. 

Karena sejatinya, hidup kita saat ini di dunia adalah sebuah perjuangan, perjuangan untuk mendapatkan kebahagiaan yang sejati. Kebahagiaan yang tidak terdapat lagi perjuangan di dalamnya, kebahagiaan sebagai hari raya yang sesungguhnya, kebahagiaan abadi di dalam surga-Nya. 

idul adha ibadah kurban

Artikel lain tentang keutamaan Bulan Dzulhijah dapat dibaca dalam artikel berikut: Keutamaan Sepuluh Malam Pertama Zulhijah

mengembangkandiri.com festive-lantern-with-bokeh-background-ramadan-kar-2021-08-30-14-08-28-utc

Ibadah Kurban sebagai Bentuk Kesalehan Sosial

Karya Pembaca: F. Yusuf

Menurut KBBI, kurban dapat dimaknai sebagai persembahan kepada Allah (seperti biri-biri, sapi, unta yang disembelih pada hari Lebaran Haji) sebagai wujud ketaatan muslim kepada-Nya.

Adapun secara bahasa, kurban berasal dari akar kata ‘qariba yaqrobu qurbanan wa wirbanan’ yang kurang lebih berarti ‘mendekat.’ Memang tidak dipungkiri jika kurban merupakan napak tilas Nabi Ibrahim, namun alangkah bijak jika semua mukmin mengetahui hakikat mendalam dibalik diperintahkannya ibadah kurban. Satu dari seribu hakikat kurban terwujud melalui kesalehan sosial yang niscaya bermanfaat bagi anggota masyarakat.

Bagaimana memaknai kesalehan sosial?

Kesalehan sosial dapat didefinisikan sebagai nilai Islam yang melihat kepedulian seseorang terhadap kepentingan masyarakat sebagai bagian dari ibadah. Seorang mukmin yang mengamalkan kesalehan sosial tidak hanya terkungkung kepada ibadah ritual, tetapi juga memiliki kesadaran sosial tinggi untuk berbuat kebaikan terhadap orang lain di sekitarnya.

Bagaimana kurban mewujudkan kesalehan sosial?

Dalam ilmu fikih, daging kurban dibagi menjadi tiga macam, yakni dimakan, diberikan kepada kaum duafa, dan disimpan untuk suatu keadaan mendesak. Pengamalan ketiganya dengan cara berbagi mampu menghidupkan solidaritas sosial yang perlahan mendorong tumbuhnya jiwa toleransi, menebar kasih saying, dan menjalin kerukunan antaranggota masyarakat tanpe melihat kriteria sosial tertentu.

Kurban merupakan momentum terbaik untuk menguatkan ukhuwah Islamiyah antaranggota masyarakat. Semua bersatu dan bekerja sama menyembelih hewan kurban. Semua mencurahkan tenaga demi kepentingan bersama. Semua mengesampingkan segala perbedaan dengan mempererat tali persaudaraan dalam satu atap prinsip fundamental kehidupan, yaitu akidah Islam dan cahaya iman. Mereka mengesampingkan sikap egosentris yang kian menjamur demi tujuan hakiki. Ibadah kurban menjadi momentum yang tepat untuk evaluasi diri sembari saling memaafkan dalam cakupan interaksi sosial antarsesama. Tali silaturahmi antarmukmin yang semula renggang menjadi erat kembali.

Kurban mengajarkan manusia untuk selalu peka, peduli, dan aktif berpatisipasi terhadap lingkungan sosial. Tatkala kurban tiba, kita membagikan demikian banyak kantung daging kepada mereka yang membutuhkan sebagai aksi konkret tenggang rasa terhadap sesama. Menurut ijtihad ulama ulung seperti Imam Abu Hanifah, pembagian kurban dilakukan kepada semua elemen masyarakat tanpa membedakan suku, bangsa, dan agama.

Kurban menjadi sarana dalam mencukupi kebutuhan gizi masyarakat, terutama bagi mereka yang mungkin jarang menyantap daging karena tuntutan ekonomi. Daging kurban mengandung nutrisi yang diperlukan organ tubuh dalam menjalankan fungsi biologisnya. Ibadah kurban menjadi kesempatan bagi anggota masyarakat untuk memperbaiki kualitas diet guna memenuhi asupan gizi empat sehat lima sempurna.

Akhir kata, pelaksanaan ibadah kurban tidak hanya ritual penyembelihan hewan belaka, tetapi juga momen penyembelihan sifat ego dalam relung kalbu setiap insan.

mengaji alquran hari raya kurban

artikel lain tentang keutamaan Bulan Dzulhijah dapat dibaca dalam artikel berikut: Keutamaan Sepuluh Malam Pertama Zulhijah