IMG-20250424-WA0003

Pengabdian sebagai Bahasa Syukur yang Tertinggi

Rasa syukur adalah sikap menghargai dan berterima kasih atas setiap anugerah dalam hidup—baik besar maupun kecil. Ia hadir dalam bentuk penghargaan atas kesehatan, keluarga, pertemanan, pengalaman, bahkan momen sederhana seperti secangkir kopi hangat di pagi hari. Syukur sejati bukan hanya muncul di kala segalanya berjalan baik, tetetapijustru menjadi paling bermakna saat seseorang mampu melihat cahaya di tengah kegelapan. Ia bukan berarti menutup mata terhadap kesulitan, melainkan memilih untuk tetap menemukan kebaikan dalam setiap ujian. Semakin hati dipenuhi rasa syukur, semakin terasa kecukupan hidup yang hakiki.

Dalam gerakan Hizmet, syukur menjadi inti kehidupan spiritual. Ia tidak berhenti sebagai ungkapan lisan, melainkan termanifestasi dalam pelayanan yang tulus kepada sesama. Hocaefendi Fethullah Gülen menekankan bahwa syukur sejati mendorong lahirnya kerendahan hati, sebab seorang hamba yang sadar bahwa segala nikmat berasal dari Allah ﷻ akan terdorong untuk menggunakan nikmat itu demi kemaslahatan. Dalam perspektif ini, pengabdian adalah bentuk syukur yang paling luhur—ibadah yang tumbuh dari kesadaran spiritual dan kepedulian sosial.

Syukur juga menjadi energi yang mendorong lahirnya karya dan aksi nyata: di bidang sosial, pendidikan, budaya, hingga dialog lintas iman. Ia menjembatani kesenjangan, menumbuhkan solidaritas, dan mempererat ikatan kemanusiaan. Sebagaimana pepatah mengatakan, “True gratitude is expressed not only in words, but in service to others.” Maka, syukur yang tulus tak cukup diucapkan, tetetapiharus diwujudkan dalam pengabdian. Nikmat Allah adalah amanah yang harus dibagikan demi kebaikan bersama.

Nabi Muhammad ﷺ adalah teladan agung dalam menebar kasih dan melayani dengan penuh syukur. Dikisahkan, suatu hari ketika beliau sedang lapar, datang seorang wanita yang memberinya sepotong roti. Namun, beliau tidak menyantapnya untuk diri sendiri, melainkan membagikannya kepada para sahabat. Saat ditanya, beliau menjawab bahwa memberi kepada orang lain membuatnya merasa lebih bahagia. Syukur beliau juga tercermin dalam hubungannya dengan Allah ﷻ. Meskipun sudah dijamin masuk surga dan diampuni, beliau tetap beribadah dengan sungguh-sungguh hingga kakinya bengkak. Semua itu adalah wujud syukur yang mendalam—melayani umat tanpa pamrih dan terus beribadah sebagai bentuk cinta kepada Sang Pencipta.

Sahabat Abu Hurairah raḍiyallāhu ‘anhu merupakan contoh lain dari pribadi yang hidup dalam syukur. Meski hidup dalam kekurangan dan sering menahan lapar, beliau tidak pernah mengeluh. Sebaliknya, beliau senantiasa berada di sisi Rasulullah ﷺ, menyimak setiap sabda, dan menyebarkannya dengan semangat. Dari beliau kita belajar bahwa keterbatasan bukanlah halangan untuk tetap memberi dan mengabdi.

Fethullah Gülen dan Bediüzzaman Said Nursi juga menunjukkan keteladanan serupa. Said Nursi, meski berada dalam penjara dan pengasingan, tidak menyia-nyiakan waktunya. Ia menulis Risale-i Nur, karya yang menegaskan pentingnya sabar, syukur, dan pelayanan di tengah cobaan. Fethullah Gülen, meski harus hidup jauh dari tanah kelahirannya dan menghadapi berbagai kesulitan, tetap berkomitmen dalam menyebarkan nilai-nilai pendidikan, kedamaian, dan dialog antaragama. Keduanya mengajarkan bahwa pengabdian bukan hanya soal ibadah pribadi, tetapijuga aksi nyata yang memberi manfaat luas bagi umat manusia.

Dalam Surah Al-Baqarah ayat 152, Allah ﷻ berfirman:

“Maka ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat pula kepadamu, dan bersyukurlah kepada-Ku, dan janganlah kamu mengingkari nikmat-Ku.”

Dan dalam Surah Ibrahim ayat 7:

“Jika kamu bersyukur, niscaya Aku akan menambah nikmat kepadamu, dan jika kamu kufur, sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.”

Bagi mereka yang berada di jalan Hizmet, syukur bukan sekadar pengakuan terhadap nikmat, tetetapijuga bahan bakar untuk terus bergerak, melayani, dan berkontribusi. Syukur menumbuhkan kerendahan hati dan kesadaran bahwa setiap karunia adalah amanah untuk dimanfaatkan sebaik-baiknya. Maka, bersyukur berarti menjadikan hidup sebagai ladang pengabdian yang tulus—bukan hanya bagi Allah ﷻ, tetetapi juga bagi sesama.

Ya Rabb, kami bersyukur atas segala nikmat dan karunia-Mu yang tak terhitung. Jadikanlah hati kami selalu terhubung dengan-Mu dalam rasa syukur yang tulus, dan arahkan langkah kami untuk terus melayani dengan ikhlas di jalan-Mu.

Ya Rabb, kuatkan kami untuk bersyukur melalui tindakan, bukan hanya dengan ucapan. Jadikanlah pengabdian kami sebagai bukti cinta dan kerinduan kami kepada-Mu dan Rasul-Mu. Jauhkan kami dari kekufuran dan kelalaian, dan tumbuhkanlah dalam hati kami rasa cukup, lapang, serta bahagia atas apa pun yang Engkau anugerahkan.

Aamiin.

Wallāhu Ta‘ālā A‘lam.

mengembangkandiri.com (18)

MENYULAM CINTA DALAM SETIAP AYAT-NYA

Ditulis Oleh : Febrian Suhud

Di dalam lembaran-lembaran suci Al-Qur’an terukir petunjuk hidup yang abadi, sebuah permata yang tak terperi indahnya, yang diterangi oleh cahaya Ilahi. Khidmah kepada Al-Qur’an bukanlah sekadar tindakan, tetapi sebuah perjalanan batin yang mengalir dalam denyut nadi umat manusia, sebuah rasa yang menyelimuti jiwa dan meresap dalam kalbu. Sebuah pengabdian yang sejatinya adalah pengorbanan tanpa pamrih, yang tiada akhir, yang menuntun umat menuju jalan kebahagiaan yang hakiki.

Khidmah kepada Al-Qur’an bermula dari sebuah cinta yang murni dan tulus, cinta yang tidak dapat diungkapkan dengan kata-kata, tetapi terasa dalam setiap hela nafas yang kita hirup. Cinta kepada Al-Qur’an adalah cinta yang melampaui waktu, yang tidak mengenal batas ruang dan zaman. Ia adalah cinta yang menjelma dalam setiap titian langkah, dalam setiap detik yang kita jalani, sebuah hubungan antara hamba dan Tuhan yang tiada terungkap oleh dunia. Seperti lautan yang dalam, cinta ini tak terukur, tak ternilai harganya, tetapi ia mampu menenangkan gelora jiwa dan menyegarkan raga yang letih.

Di setiap ayat yang terkandung dalam Al-Qur’an, terdapat gema suara Ilahi yang menyapa jiwa kita. Bagaikan sebuah angin damai yang mengalun lembut, tiap kata dalam Al-Qur’an menyentuh relung-relung terdalam hati, mengundang nurani untuk merenung dan menghayati betapa Maha Agung-Nya Allah. Inilah cinta yang tak tampak dengan kasat mata, namun terasa dalam getaran hati yang bergetar setiap kali kita membacanya, dan setiap kali kita menghayati maknanya.

Khidmah kepada Al-Qur’an adalah amanah yang disandangkan kepada setiap hati yang beriman. Sebagaimana bumi yang menjaga tanaman dan bunga-bunga dengan penuh kasih sayang, begitu pula kita harus menjaga kemurnian wahyu ini dengan segenap jiwa raga. Al-Qur’an adalah firman Tuhan yang abadi, yang tidak pernah lekang oleh zaman. Setiap hurufnya adalah cahaya yang memancar dari Tuhan, dan menjaga Al-Qur’an berarti menjaga api tersebut agar tetap menyala dengan terang di setiap relung hidup kita.

Salah satu bentuk khidmah yang paling mulia adalah menghafal Al-Qur’an, sebuah ibadah yang bukan hanya melibatkan ingatan, tetapi juga jiwa dan hati. Menghafal Al-Qur’an adalah menanamkan cahaya Ilahi dalam diri, sebuah komitmen untuk mengingat-Nya dalam setiap helaan nafas, untuk menghidupkan kata-kata-Nya dalam setiap langkah hidup. Sebab, dalam setiap ayat yang terpatri di dalam dada seorang penghafal, terdapat cahaya yang tidak akan pernah padam, dan itulah pengabdian yang tiada bandingannya.

Khidmah kepada Al-Qur’an tidak hanya tertuang dalam kata-kata atau sekadar hafalan. Ia adalah sebuah perjalanan hidup yang mengalir dalam setiap tindakan. Sebagaimana bunga yang mekar dengan indah, setiap amalan yang terinspirasi oleh Al-Qur’an adalah buah dari cinta yang kita tanam dengan penuh kesungguhan. Setiap petunjuk yang terkandung dalam Al-Qur’an adalah bimbingan bagi kehidupan yang penuh tantangan ini. Dalam setiap persoalan hidup, Al-Qur’an adalah penyuluh yang tidak pernah pudar, memberikan kita cahaya untuk menapaki jalan yang gelap.

Al-Qur’an mengajarkan kita tentang kebijaksanaan yang tiada tara, tentang kesabaran yang mengalir seperti sungai yang tenang, tentang kejujuran yang menghiasi setiap tindakan. Ia bukan hanya kitab yang dibaca, tetapi juga kitab yang harus dihidupkan. Menjadi seorang yang berakhlak mulia, meneladani sifat-sifat Rasulullah yang terpatri dalam Al-Qur’an, adalah bentuk nyata dari khidmah kita kepada kitab yang mulia ini. Kita menjadikan setiap ajaran-Nya sebagai pedoman hidup, menyelami maknanya dalam setiap langkah, dan menebarkan kebaikan kepada sesama, sebagaimana Al-Qur’an yang selalu menyapa hati manusia dengan kedamaian.

Khidmah kepada Al-Qur’an juga terwujud dalam sikap kita yang senantiasa ingat kepada-Nya, dalam setiap hembusan angin kehidupan. Di tengah deru gelombang dunia yang tak terduga, Al-Qur’an adalah jangkar yang menenangkan, pelita yang tak pernah padam. Setiap ayat yang terukir di dalamnya adalah sumber kekuatan yang tiada terhingga. Ia menjadi obat bagi luka-luka batin, penghibur bagi hati yang gundah, dan cahaya bagi jiwa yang tersesat.

Khidmah yang terakhir, yang tak kalah penting, adalah mengajarkan Al-Qur’an kepada generasi yang akan datang. Sebagaimana seorang pelita yang memberikan cahaya kepada yang lain, begitu pula kita harus menjadi penyebar cahaya wahyu Allah kepada orang lain. Mengajarkan Al-Qur’an adalah tugas mulia yang membawa pahala yang tiada terhingga, dan dengan mengajarkannya, kita menanamkan benih-benih kebaikan yang akan berkembang hingga ke anak cucu kita. Mengajarkan Al-Qur’an adalah menyebarkan kasih sayang-Nya, membimbing umat menuju kehidupan yang penuh berkah.

Khidmah kepada Al-Qur’an adalah pengabdian yang tiada batas. Sebagaimana langit yang tak mengenal ujung, begitu juga pengabdian ini, yang terus mengalir dan menghidupkan dunia. Setiap langkah kita dalam mengikuti Al-Qur’an adalah langkah menuju kebahagiaan abadi, sebuah kebahagiaan yang melampaui dunia, yang hanya bisa diraih dengan cinta yang mendalam kepada kitab-Nya. Al-Qur’an adalah petunjuk yang selalu menemani, sebuah cahaya yang tak akan pernah padam, dan khidmah kita kepadanya adalah perjalanan yang tiada akhir, yang akan membawa kita menuju kasih-Nya yang tak terhingga.

Sebagaimana firman Allah dalam Surah Al-Baqarah ayat 2, “Kitab ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.” Di situlah letak hakikat khidmah yang sebenarnya: menghidupkan Al-Qur’an dalam setiap detik kehidupan, menjadikannya sebagai pelita, dan melaksanakan ajarannya dengan hati yang penuh cinta. Inilah pengabdian yang sejati, yang tak akan pernah lekang oleh waktu.

mengembangkandiri.com (16)

KONSEP ALAM SEMESTA DALAM AL-QUR’AN DAN SAINS MODERN

Alam semesta, dalam wujudnya yang sangat luas dan penuh dengan keteraturan, sering kali menjadi bahan perenungan mendalam bagi manusia. Dalam Al-Qur’an, Allahﷻ menggambarkan alam semesta sebagai sebuah karya penciptaan yang sempurna dan terstruktur, yang tidak hanya mencerminkan kebesaran-Nya, tetapi juga menunjukkan hakikat hubungan antara ciptaan dengan Sang Pencipta. Ketika kita memasuki ruang kajian sains modern, kita menemukan pandangan yang mirip namun berbeda dalam menjelaskan struktur alam semesta, yang berfokus pada hukum-hukum fisika dan perubahan yang dapat diobservasi. Dengan demikian, pemahaman tentang alam semesta dalam Al-Qur’an dan dalam sains modern mengungkapkan suatu realitas yang lebih dalam: bahwa alam semesta adalah sebuah harmoni yang mengandung keteraturan mutlak, namun penuh dengan dimensi ketidakpastian yang hanya bisa dimengerti melalui pertanyaan tentang asal-usul, keberadaan, dan tujuan hidup.

Al-Qur’an menegaskan bahwa alam semesta bukanlah sekadar kumpulan benda mati yang eksis begitu saja, melainkan sebuah ciptaan yang penuh makna dan tujuan, sebagaimana Allahﷻ berfirman,

اِنَّ فِىۡ خَلۡقِ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضِ وَاخۡتِلَافِ الَّيۡلِ وَالنَّهَارِ وَالۡفُلۡكِ الَّتِىۡ تَجۡرِىۡ فِىالۡبَحۡرِ بِمَا يَنۡفَعُ النَّاسَ وَمَآ اَنۡزَلَ اللّٰهُ مِنَ السَّمَآءِ مِنۡ مَّآءٍ فَاَحۡيَا بِهِ الۡاَرۡضَ بَعۡدَمَوۡتِهَا وَبَثَّ فِيۡهَا مِنۡ کُلِّ دَآ بَّةٍ وَّتَصۡرِيۡفِ الرِّيٰحِ وَالسَّحَابِ الۡمُسَخَّرِ بَيۡنَ السَّمَآءِوَالۡاَرۡضِ لَاٰيٰتٍ لِّقَوۡمٍ يَّعۡقِلُوۡنَ

Artinya: “Sesungguhnya pada penciptaan langit dan bumi, pergantian malam dan siang, kapal yang berlayar di laut dengan (muatan) yang bermanfaat bagi manusia, apa yang diturunkan Allah dari langit berupa air, lalu dengan itu dihidupkan-Nya bumi setelah mati (kering), dan Dia tebarkan di dalamnya bermacam-macam binatang, dan perkisaran angin dan awan yang dikendalikan antara langit dan bumi, (semua itu) sungguh, merupakan tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi orang-orang yang mengerti.” (QS. Al-Baqarah 2:164)

Ayat ini mencerminkan sebuah konsep dunia yang dinamis dan penuh keteraturan, yang tidak hanya ada karena kebetulan semata, tetapi disusun sedemikian rupa oleh Pencipta-Nya untuk menunjukkan kekuasaan dan kebijaksanaan-Nya. Di dalam Al-Qur’an, Allahﷻ seringkali mengaitkan keindahan dan keteraturan alam semesta dengan kebijaksanaan-Nya yang tak terhingga, mengajak umat manusia untuk merenungkan tujuan di balik setiap ciptaan.1

Sains modern, di sisi lain, melihat alam semesta dengan pendekatan yang lebih analitis, berbasis pada hukum-hukum fisika dan teori-teori ilmiah. Dalam kosmologi, sebagai contoh, penemuan tentang Big Bang dan perluasan alam semesta menggambarkan bahwa alam semesta memiliki titik awal yang sangat spesifik, yang dimulai dengan ledakan besar yang menciptakan ruang dan waktu. Seiring waktu, alam semesta terus berkembang dan berubah, mengikuti hukum-hukum yang berlaku, yang di antaranya adalah hukum gravitasi, hukum termodinamika, dan interaksi kuantum yang mempengaruhi semua materi dan energi yang ada. Alam semesta ini, dalam pandangan sains, tampak sebagai suatu kesatuan yang memiliki keteraturan yang terstruktur melalui prinsip-prinsip fisika yang sangat fundamental.2

Namun, meskipun Al-Qur’an dan sains modern tampak memberikan penjelasan yang berbeda tentang alam semesta, keduanya pada dasarnya menunjukkan konsep yang serupa: adanya keteraturan yang mengatur setiap elemen alam semesta, serta keterbatasan pemahaman manusia dalam menjelaskan hakikat keberadaan alam semesta itu sendiri. Dalam Al-Qur’an, Allahﷻ berfirman,

اَوَلَمۡ يَرَ الَّذِيۡنَ كَفَرُوۡۤا اَنَّ السَّمٰوٰتِ وَالۡاَرۡضَ كَانَـتَا رَتۡقًا فَفَتَقۡنٰهُمَا‌ ؕ وَجَعَلۡنَا مِنَالۡمَآءِ كُلَّ شَىۡءٍ حَىٍّ‌ ؕ اَفَلَا يُؤۡمِنُوۡنَ

Artinya: “Dan apakah orang-orang kafir tidak mengetahui bahwa langit dan bumi keduanya dahulunya menyatu, kemudian Kami pisahkan antara keduanya; dan Kami jadikan segala sesuatu yang hidup berasal dari air; maka mengapa mereka tidak beriman?.”(QS. Al-Anbiya 21:30)

Ayat ini secara jelas menunjukkan bahwa alam semesta pada asalnya adalah satu kesatuan yang utuh, dan segala sesuatu yang ada di dalamnya adalah bagian dari proses penciptaan yang lebih besar. Di sini, Allahﷻ mengisyaratkan tentang hukum-hukum yang mengatur kosmos, yang seiring waktu manusia akan temukan, meskipun dalam batasan-batasan kemampuan pengetahuan mereka.1

Dalam sains, teori tentang asal-usul alam semesta, yang dikenal dengan Big Bang Theory, memberikan perspektif yang menarik. Teori ini menjelaskan bahwa sekitar 13,8 miliar tahun yang lalu, alam semesta bermula dari suatu singularitas, titik yang memiliki kepadatan dan suhu tak terhingga, yang kemudian mengembang dan mendingin, membentuk galaksi, bintang, dan planet yang ada sekarang. Konsep ini, meskipun berfokus pada penjelasan materialistik, mengarah pada pemahaman bahwa alam semesta memiliki suatu titik awal, yang selaras dengan ajaran Al-Qur’an bahwa segala sesuatu di dunia ini diciptakan oleh Allah dengan tujuan tertentu. Dalam Al-Qur’an, Allahﷻ berfirman,

قُلْ لَّنۡ يُّصِيۡبَـنَاۤ اِلَّا مَا كَتَبَ اللّٰهُ لَـنَا ۚ هُوَ مَوۡلٰٮنَا ‌ ۚ وَعَلَى اللّٰهِ فَلۡيَتَوَكَّلِ الۡمُؤۡمِنُوۡنَ

Artinya: “Katakanlah (Nabi Muhammad), Tidak akan menimpa kami melainkan apa yang telah ditetapkan Allah bagi kami. Dialah Pelindung kami, dan hanya kepada Allah hendaknya orang-orang mukmin bertawakal.”(QS. At-Tawbah 9:51)

Dari ayat ini, kita diperingatkan bahwa meskipun kita mengkaji dan memahami hukum-hukum alam semesta, pada akhirnya kita akan menemui sebuah misteri yang hanya bisa dijelaskan dengan pengakuan terhadap kekuasaan-Nya.1

Apabila kita mengamati konsep alam semesta ini lebih dalam, kita akan menyadari bahwa ada keselarasan yang mendalam antara pandangan Al-Qur’an dan sains. Dalam sains, kita melihat keteraturan kosmos yang didasarkan pada hukum-hukum alam, yang membawa kita untuk memahami dunia ini sebagai sesuatu yang terstruktur dengan sangat tepat. Namun, pada saat yang sama, Al-Qur’an mengajak kita untuk merenung lebih jauh, bahwa keteraturan tersebut adalah manifestasi dari kebesaran Tuhan yang tiada tara, yang menciptakan segala sesuatu dengan tujuan yang lebih tinggi daripada sekadar keberadaan fisik. Dalam Al-Qur’an, Allahﷻ berfirman,

اِنَّ رَبَّكُمُ اللّٰهُ الَّذِىۡ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَ الۡاَرۡضَ فِىۡ سِتَّةِ اَيَّامٍ ثُمَّ اسۡتَوٰى عَلَى الۡعَرۡشِيُغۡشِى الَّيۡلَ النَّهَارَ يَطۡلُبُهٗ حَثِيۡثًا ۙ وَّالشَّمۡسَ وَالۡقَمَرَ وَالنُّجُوۡمَ مُسَخَّرٰتٍۢ بِاَمۡرِهٖ ؕ اَلَالَـهُ الۡخَـلۡقُ وَالۡاَمۡرُ‌ ؕ تَبٰرَكَ اللّٰهُ رَبُّ الۡعٰلَمِيۡنَ

Artinya: “Sungguh, Tuhanmu (adalah) Allah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia bersemayam di atas ‘Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat. (Dia ciptakan) matahari, bulan dan bintang-bintang tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah! Segala penciptaan dan urusan menjadi hak-Nya. Mahasuci Allah, Tuhan seluruh alam.” (QS. Ar-A’raf 7:54)

Ayat ini, dalam konteksnya, menunjukkan bahwa keteraturan alam semesta bukanlah sesuatu yang terjadi tanpa tujuan, melainkan merupakan sebuah kesatuan yang tak terpisahkan, yang berjalan sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan oleh Tuhan.1

Melalui pemahaman ini, kita dapat menarik kesimpulan bahwa alam semesta, baik dalam perspektif Al-Qur’an maupun sains modern, adalah sebuah entitas yang tidak dapat dipahami hanya dengan menggunakan satu pendekatan saja. Alam semesta adalah sebuah harmoni yang menggabungkan hukum-hukum alam yang dapat dipelajari dengan sains, tetapi pada saat yang sama juga mengandung dimensi spiritual yang mengingatkan kita akan keterhubungan kita dengan Pencipta. Dalam memahami keduanya, kita diajak untuk merenung tentang keteraturan kosmos sebagai bukti kebesaran Tuhan, serta batasan-batasan pemahaman manusia yang terus berkembang dalam mengejar pengetahuan.3

Referensi:

[1] Ünal, A. (2008). The Qur’an with Annotated Interpretation in Modern English. Tughra Books.

[2] Carroll, S. (2016). The Big Picture: On the Origins of Life, Meaning, and the Universe. Dutton.

[3] Hawking, S. (1988). A Brief History of Time. Bantam Books.

mengembangkandiri.com (15)

ILMU MEKANIKA DALAM BINGKAI PABRIK ILAHI

Alam semesta ini adalah mahakarya Pabrik Ilahi, tempat segala sesuatu bekerja dalam keteraturan yang sempurna. Sebagaimana ilmu mekanika mengajarkan tentang gerak, gaya, dan interaksi benda-benda di dunia fisik, alam semesta juga mengikuti hukum-hukum yang telah Allah tetapkan. Dalam kerangka ini, manusia diajak untuk merenungi posisinya dalam sistem yang lebih besar, di mana segala sesuatu memiliki peran yang saling mendukung. Allah berfirman dalam Al-Qur’an,

وَمَا خَلَقۡنَا السَّمَآءَ وَالۡاَرۡضَ وَمَا بَيۡنَهُمَا بَاطِلًا

Artinya: “Dan Kami tidak menciptakan langit, bumi, dan apa yang ada di antara keduanya dengan sia-sia” (QS. Sad [38] : 27).

Menegaskan bahwa setiap elemen dalam alam semesta ini memiliki tujuan yang jelas dan tidak diciptakan secara kebetulan. Allah menciptakan alam semesta dengan tujuan yang luhur, setiap makhluk dan peristiwa memiliki hikmah dan peranannya masing-masing dalam mewujudkan kebesaran-Nya. Bumi, langit, dan segala sesuatu yang ada di antara keduanya adalah bagian dari sistem yang saling terkait, yang berfungsi dengan sangat teratur. Bahkan manusia, sebagai ciptaan yang paling mulia, diciptakan untuk mengenal Tuhan, menjaga bumi, dan melaksanakan tugas sebagai khalifah. Oleh karena itu, setiap tindakan kita di dunia ini juga memiliki tujuan dan tanggung jawab, yang harus kita jalani dengan penuh kesadaran akan peran kita dalam sistem ciptaan yang lebih besar.

Bumi, sebagai bagian kecil dari sistem kosmik–segala sesuatu yang berkaitan dengan alam semesta, termasuk ruang, waktu, bintang, planet, galaksi, dan segala bentuk kehidupan yang ada di luar bumi–ini, menjadi tempat bagi manusia untuk memahami makna hidup melalui interaksi dengan hukum-hukum alam. Tanah, air, dan udara bekerja sama untuk menumbuhkan kehidupan, sebagaimana mekanika mesin yang membutuhkan roda-roda gigi yang berputar harmonis. Namun, ketika manusia melupakan posisi ini dan melanggar keseimbangan yang telah Allah tetapkan, konsekuensinya pasti terjadi. Prinsip ini mengingatkan kita pada tulisan Ustadz Badiuzzaman Said Nursi dalam Al-Kalimat, bahwa setiap makhluk diciptakan untuk memanifestasikan nama-nama Allah yang agung. Dalam keteraturan alam, ada tanda-tanda keagungan-Nya, dan dalam kekacauan yang dibuat manusia, ada teguran Ilahi.

Dalam kehidupan modern, salah satu tantangan besar adalah kegalauan generasi muda. Mereka hidup di tengah banjir informasi, tetapi sering kali kehilangan arah. Kegalauan ini bisa dilihat sebagai bentuk ketidakseimbangan dalam mekanika kehidupan. Generasi muda seperti mesin yang kehilangan pelumasnya; ia tetap bergerak tetapi dengan suara gesekan yang memekakkan. Kondisi tersebut terjadi akibat kegelisahan yang berasal dari kurangnya kesadaran akan hubungan manusia dengan Sang Pencipta. Ustadz Badiuzzaman Said Nursi menegaskan bahwa jiwa manusia hanya akan tenang ketika ia kembali pada fitrahnya, yaitu mengenali dirinya sebagai hamba yang bergantung sepenuhnya pada Allah.

Namun, dibalik kegalauan ini tersimpan potensi besar. Generasi muda memiliki kekuatan untuk menjadi “roda penggerak” dalam sistem kehidupan yang lebih baik, asalkan mereka menemukan keseimbangan dalam hati dan pikirannya. Mekanika Pabrik Ilahi mengajarkan bahwa setiap bagian, sekecil apa pun, memiliki peran vital. Begitu pula dengan setiap individu. Ketika mereka menemukan hubungan dengan Allah, mereka akan mampu melihat dunia sebagai tempat untuk menjalankan tugas-tugas mulia, bukan sekadar ruang kosong yang diisi dengan hiburan tanpa ilmu.

Pesan utama yang ingin disampaikan di sini adalah bahwa hidup ini adalah perjalanan menuju keseimbangan. Sebagaimana roda mesin berputar dalam harmoni, manusia harus menemukan sinkronisasi antara akal, hati, dan amal. Kehidupan dunia ibarat ladang, tempat manusia menanam benih amal untuk dipanen di akhirat. Maka, generasi muda harus menyadari bahwa setiap keputusan, tindakan, dan langkah mereka adalah bagian dari mekanika besar yang memengaruhi kehidupan di masa depan.

Ketika kita merenungkan bagaimana sebuah mesin bekerja dengan sempurna, kita seharusnya lebih kagum pada sistem alam yang diciptakan oleh Allah. Apakah kita telah berperan sebagai “roda gigi” yang mendukung harmoni Pabrik Ilahi ini, atau justru menjadi bagian yang memperlambat geraknya? Allah berfirman,

الَّذِىۡ خَلَقَ سَبۡعَ سَمٰوٰتٍ طِبَاقًا‌ ؕ مَا تَرٰى فِىۡ خَلۡقِ الرَّحۡمٰنِ مِنۡ تَفٰوُتٍ‌ ؕ فَارۡجِعِ الۡبَصَرَۙهَلۡ تَرٰى مِنۡ فُطُوۡرٍ

Artinya: “Dia yang menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Tidak akan kamu lihat sesuatu yang tidak seimbang pada ciptaan Tuhan Yang Maha Pengasih. Maka lihatlah sekali lagi, adakah kamu lihat sesuatu yang cacat?” (QS. Al-Mulk [67] : 3).

Ayat ini menjelaskan bahwa ciptaan Allah, baik langit maupun seluruh alam semesta, diciptakan dengan kesempurnaan yang tidak ada cacatnya. Allah menantang manusia untuk memperhatikan dan merenungkan kebesaran ciptaan-Nya, yang bekerja dalam keseimbangan yang luar biasa. Setiap elemen alam, dari yang paling besar hingga yang terkecil, berfungsi dengan cara yang sangat teratur dan sesuai dengan hukum-Nya. Ketidakseimbangan atau kerusakan hanya terjadi ketika manusia mengabaikan hukum-hukum ini atau merusak keseimbangan tersebut. Ayat ini mengajak kita untuk merenungkan peran kita dalam menjaga keharmonisan alam dan mempertanyakan apakah kita sudah berperan sesuai dengan kehendak Allah atau malah menyebabkan ketidakseimbangan dalam sistem-Nya.

Semoga kita mampu mengambil peran yang seharusnya, semoga kita mampu menjaga keseimbangan ini, dan kembali pada fitrah sebagai makhluk yang tunduk kepada-Nya. Sebab, hanya dengan memahami mekanika kehidupan yang telah ditetapkan Allah, kita dapat meraih kedamaian sejati dan menunaikan tugas sebagai hamba dan khalifah di bumi.

 

Referensi:

Al-Qur’anul Karim. (n.d.). QS. Sad: 27 & QS. Al-Mulk: 3.

Nursi, B. S. (2008). Al-Kalimat (Terj. A. Izzudin). Risale-i Nur Press.

Newton, I. (1999). Mathematical principles of natural philosophy (A. Motte, Trans.). University of California Press.

mengembangkandiri.com (10)

SANG PELAMPUNG KESELAMATAN KITA

Dalam mengarungi samudra yang luas dan penuh bahaya, banyak orang percaya bahwa keselamatan hanya dapat dicapai jika persiapan dilakukan dengan sebaik-baiknya. Persiapan tersebut mencakup pemeriksaan menyeluruh terhadap kapal, termasuk kondisi mesin dan bahan bakar. Selain itu, penting untuk memantau kondisi cuaca dan potensi badai yang mungkin terjadi selama perjalanan. Beban yang diangkut juga harus disesuaikan dengan kapasitas kapal agar tidak melebihi batas yang aman. Tak kalah penting, perlengkapan keselamatan, seperti pelampung, pasokan bahan bakar yang memadai, dan alat-alat keselamatan lainnya, harus disiapkan dengan baik untuk menghadapi kemungkinan darurat di perjalanan.

Begitu pula dalam mengarungi bahtera kehidupan di dunia yang fana dan penuh fatamorgana. Tanpa kita sadari, hidup ini layaknya perjalanan jauh menggunakan kapal yang melintasi samudra luas, menuju tujuan akhir yang abadi, yaitu akhirat—tempat di mana seluruh perjalanan di dunia ini akan berakhir. Sebagai penumpang dalam bahtera kehidupan, kita harus menyadari bahwa samudra dunia ini dipenuhi badai ujian dan gelombang cobaan. Oleh karena itu, kita perlu mempersiapkan “kapal” dan “peralatan” yang baik serta layak untuk menemani perjalanan ini. Di antaranya adalah pelampung keimanan dan tali keselamatan amal yang kokoh, yang dapat kita pegang erat saat menghadapi keadaan darurat dalam perjalanan menuju tujuan akhir kita.

Pentingnya peralatan keselamatan, seperti pelampung, tidak bisa diremehkan. Pelampung berfungsi melindungi kita dalam situasi darurat, mencegah tenggelam, dan memberikan perlindungan dari terjangan ombak laut yang deras. Selain itu, pelampung juga membantu menjaga tubuh kita tetap aman di tengah lautan yang luas dan berbahaya. Fungsi ini menggambarkan pentingnya peran sahabat sejati, baik di dunia maupun akhirat.

Dalam perjalanan panjang dari dunia menuju akhirat, sahabat sejati ibarat pelampung yang selalu siap membantu kita. Mereka mendukung kita dalam kebaikan, mengingatkan saat kita melakukan kesalahan, dan melindungi kita dari gelombang maksiat yang bisa merusak ruhani. Mereka juga mencegah kita tenggelam dalam kelezatan dunia yang bersifat sementara dan menyesatkan. Seperti pelampung yang memegang erat tubuh di lautan, sahabat sejati senantiasa memandu kita menuju tujuan akhir, yakni akhirat, dengan baik dan lancar.

Disebutkan dalam ayat alqur an surat Al-Furqan [25]: 28

يٰوَيْلَتٰى لَيْتَنِيْ لَمْ اَتَّخِذْ فُلَانًا خَلِيْلًا

“Celaka aku! Sekiranya (dulu) aku tidak menjadikan  si fulan itu teman akrab(ku)

Ayat tersebut dalam tafsir Al-Azhar jilid 2 karya Buya Hamka Rahimahullah dijelaskan bahwa ada penyesalan dihati Uqbah Bin Muayyith dalam memilih Ubay Bin Khalaf sebagai teman dekatnya waktu sebelum masuknya islam karena Ubay terkenal dengan suka mengolok-olok Nabi ketika beliau sedang berdakwah Saking pentingnya seorang teman, ia bahkan menjadi sebuah identitas bagi seseorang. Syeikh Az-Zarnuji dalam Ta’lim Al-Muta’allim menyampaikan hal ini dalam sebuah syair,

“Tak perlu kau tanya tentang seseorang (siapa dia), cukup tanya siapa temannya, maka setiap teman akan mengikuti orang yang dia temani.”  

Bukankah kita semua menginginkan akhir perjalanan kita, yakni akhirat, menjadi indah dan selamat? Untuk mencapainya, penting bagi kita memiliki sahabat sejati yang senantiasa mendukung dalam kebaikan, mengingatkan saat kita berbuat kesalahan, dan berlomba-lomba memberikan manfaat bagi banyak orang selama hidup di dunia. Sahabat seperti itulah yang menjadi “pelampung keselamatan” dalam kehidupan kita, menjaga agar kita tidak tenggelam dalam arus dunia yang penuh godaan dan fatamorgana.

Jika saat ini kalian belum menemukan pelampung keselamatan itu—sahabat dunia akhirat yang setia—carilah segera. Peluk dan rangkul erat sosok tersebut, jadikan dia bagian tak terpisahkan dari perjalanan hidup kalian. Jangan biarkan dia terlepas dari jangkauan atau bahkan terlupakan, karena sahabat sejati adalah penopang yang akan menemani kita menuju tujuan akhir yang baik dan selamat.

Referensi :

https://tafsiralquran.id/pentingnya-memilih-teman-dalam-bergaul-tafsir-surah-al-furqan-ayat-27-28/

https://muslim.or.id/45173-hadits-tentang-sahabat.html

Mataair edisi januari-maret 2024

mengembangkandiri.com (3)

DELINKUENSI REMAJA, TANGGUNG JAWAB SIAPA?

Bagi pembaca berusia 40 hingga 60 tahun, besar kemungkinan memiliki anak remaja. Kadang kita terkaget-kaget dengan kenakalan remaja zaman ini, yang tak pernah terbayangkan oleh generasi yang lahir 40 atau 60 tahun lalu. Jika anak kecil berbuat nakal, sejatinya mereka hanya memiliki banyak akal. Namun, kenakalan remaja berbeda karena berdampak tidak hanya pada dirinya, tetapi juga pada lingkungan sekitar.

Sering kali, kita terjebak dalam pikiran negatif yang menghakimi kenakalan remaja hanya pada individunya, seolah merekalah satu-satunya yang paling bertanggung jawab atas segala kekacauan. Namun, apakah benar demikian? Apakah remaja yang bangga menjadi begal atau merasa keren dengan kenakalannya harus memikul tanggung jawab sendirian?

Pemuda dan Potensinya

Menurut World Health Organization (WHO), remaja adalah mereka yang berusia 10 hingga 19 tahun. Sementara itu, Peraturan Kesehatan RI Nomor 25 Tahun 2014 mendefinisikan remaja dalam rentang usia 10-18 tahun, sedangkan Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana (BKKBN) menetapkan rentang usia remaja adalah 10-24 tahun bagi yang belum menikah. Kementerian Pemuda dan Olahraga menetapkan rentang yang lebih panjang, yakni 16 hingga 30 tahun. Dalam Islam, usia 15 tahun bagi laki-laki dan 9 tahun bagi perempuan menandai jatuhnya kewajiban syariat, meski belum menunjukkan tanda-tanda baligh.

Bung Karno pernah menyampaikan, “Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut Semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncang dunia.” Meski terkesan hiperbolik, pernyataan ini mengandung pesan bahwa masa depan bangsa bergantung pada pemudanya. Dengan makna serupa, Sayidina Ali juga berkata, “Pemuda hari ini adalah pemimpin masa depan.”

Jika kita melihat sejarah, banyak pemuda yang berperan penting dalam memajukan peradaban. Sultan Muhammad al-Fatih, misalnya, naik tahta pada usia 12 tahun dan pada usia 21 tahun berhasil menaklukkan Konstantinopel. Lalu ada Abdurrahman Ad-Dakhil yang menjadikan Andalusia sebagai pusat peradaban dunia di masa remajanya. Salahuddin al-Ayubi pun dikenal sebagai pemimpin muda yang berhasil menyatukan umat Islam, menghidupkan semangat persatuan dan perjuangan di kalangan umat.

Nama-nama pemuda seperti mereka bersinar di zamannya, tidak hanya menerangi satu sudut kecil peradaban, tetapi menyinari setiap sisi dari bangunan besar peradaban. Dari sejarah ini, kita bisa melihat sulitnya menemukan delinkuensi atau kenakalan remaja dalam setiap episode kehidupan mereka. Apakah cahaya serupa bisa bersinar dari remaja yang nakal di abad ini?

Peran Sentral Pendidikan

Jika remaja adalah mereka yang berusia 12 hingga 30 tahun, maka sebagian besar dari mereka masih berada dalam usia belajar. Faktanya, banyak remaja yang melakukan kenakalan adalah mereka yang masih duduk di bangku sekolah. Karena itu, menghakimi individu atau menumpuk tanggung jawab hanya pada pelaku kenakalan menjadi kurang bijak.

Jika pendidikan berjalan pada haluan yang benar, cerita kenakalan remaja seharusnya tak perlu terjadi. Pendidikan seharusnya mampu melahirkan insan kamil, manusia sejati dengan jiwa kemanusiaan. Mari kita bebaskan diri dari prasangka dan sikap menghakimi. Kita perlu menyadari bahwa selalu ada tanggung jawab kita dalam kekacauan yang dilakukan orang lain, karena sejatinya kita terikat dalam berbagai ikatan: Unity of God, Unity of Cosmos, Unity of Ecosystem, Unity of Mankind, Unity of People, Unity of Family, hingga ikatan terkecil yaitu Unity of Self.

Jauh sebelum ini, Ki Hajar Dewantara mengajarkan bahwa pendidikan adalah tanggung jawab bersama dengan konsep tripusat pendidikan: Lembaga pendidikan, orang tua, dan masyarakat. Lalu, bagaimana peran ketiga elemen ini?

Peran Lembaga Pendidikan

KH Imam Zarkasih pernah memberikan nasihat kuat, “Metode lebih penting daripada materi (bahan ajar),” yang kemudian ditambahkan oleh KH Hasan Abdullah Sahal, “Guru lebih penting dari metode, dan yang terpenting dari segalanya adalah jiwa sang guru.” Nasihat ini tepat, mengingat peran sentral pendidikan dipegang oleh guru. Sayangnya, masih banyak guru yang tak sadar akan besarnya peran mereka sehingga hanya mencukupkan diri pada proses transfer pengetahuan.

Muhammad Fethullah Gulen, tokoh asal Turki yang fokus pada pembinaan generasi muda, merumuskan kriteria guru ideal yang mampu menempati hati siswanya. Menurutnya, guru adalah generasi Rabbani, penerus tugas mulia para Nabi. Mereka konsisten dalam kebenaran dan menghidupkan nilai-nilai luhur. Mengajar adalah tugas besar yang tak dapat dipikul oleh mereka yang terjerat urusan duniawi.

Guru adalah rajul al-Qolb (kesatria hati), yang berpikir, melihat, dan bertindak dengan komponen hati. Kehadirannya adalah rahmat; kata-katanya menyejukkan. Ia mengajarkan rahasia penciptaan dari dalam diri manusia, menunjukkan tujuan hakiki dari penciptaan. Cita-cita tertinggi dari guru Rabbani adalah menghantarkan setiap jiwa menuju keabadian, menghadirkan hikmah dalam jiwa manusia, dan menuntun setiap insan mendekat kepada Tuhan.

Guru adalah arsitek rohani yang mendesain masa depan murid dengan teliti, sosok yang menginspirasi hingga ke dalam relung hati. Ia adalah pribadi yang tak segan menggenggam tangan generasi muda, bagaikan tukang kebun yang menanam benih-benih kemanusiaan sejati. Guru adalah pemandu berpengalaman yang membantu peserta didik keluar dari jalan panjang yang membingungkan. Mereka menghidupi anak didiknya tanpa mengharap pamrih, karena mereka tahu:

“Kita adalah hasil dari apa yang telah ditanam oleh para pendahulu; sementara generasi sesudah kita kelak adalah buah dari jerih payah kita saat ini.”

Referensi

Majalah Mata Air Anakku Banyak (N)Akal vol. 6 No 22

Dina Rahmawati, (2021).  Memahami Pengertian Remaja dan Perkembangannya, SehatQ. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. https://www.sehatq.com/artikel/memahami-pengertian-remaja-dan-tahap-perkembangannya. Di akses pada Kamis, 18 Juli 2023. Pukul 13.42

Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2009 tentang Kepemudaan pasal 1 ayat 1

Salim Bin Sumair Al Hadhrami, Safinatun Najah, (Lebanon: Darul Minhaj, 2009) hal. 17

Nur Dinah Fauziah , Muhammad Mujtaba Mitra Zuana. Jurnal Syariah dan Hukum Islam Al-Adalah, Peradaban Islam di Andalusia. Vol.1,No.1, Maret 2016- hal 80-91

AM Ash-Shallabi , Salahuddin al-Ayubi: Pahlawan Islam Pembebas Baitul Maqdis. (Kairo: Darul Ibnu Jauzi. 2007) hal.303

Syair bijak di atas, dipopulerkan pertama kali oleh K.H Imam Zarkasih yang pada awalnya hanya sebatas “ At-thariqah ahammu mina-l-maddah” lalu kemudian dilanjutkan oleh K.H. Hasan Abdullah Sahal sehingga menjadi kata mutiara yang seperti di atas. Lihat Binhadjid : Pondok Moderen Gontor “Interpretasi Makna Atariqoh Ahammu Minal Maadah” https://gontor.ac.id/interpretasi-makna-at-toriqoh-ahammu-min-al-maddah/ (dilihat pada Rabu, 28 Juni 2023. Pukul 22.43

Rabbani secara bahasa berarti orang yang memiliki sifat yang sangat sesuai dengan apa yang Allah harapkan. Secara istilah Ali bin Abi Thalib ra., mendefinisikan “rabbani” sebagai: Generasi yang memberikan santapan rohani bagi manusia dengan ilmu (hikmah) dan mendidik mereka atas dasar ilmu. Sementara Ibnu Abbas ra. Dan Ibnu Zubair ra. mengatakan: Rabbaniyun adalah orang yang berilmu dan mengajarkan ilmunya

Fethullah Gulen, Generasi Rabbani, Para Arsitek Rohani. Majalah Mata Air, Vol. 6 No. 21 Tahun 2019, hlm 4

Kata mutiara ini dikutip dari buku M. Fethullah Gulen, Dari Benih ke Pohon Cedar, (Jakarta: Republika Penerbit, 2018), hlm 1. Buku ini merupakan terjemahan dari Cekirdekten Cinara (Bir Baska Acidan Aile Egitimi), Izmir: Nil Yayinlari, 2002

 Lihat Majalah Mata Air, pada artikel berjudul Rasa Tanggung Jawab. 

Lihat Majalah Mata Air, Pada artikel Bagaimana Mau Tak Peduli