mengembangkandiri.com (4)

BEKALI DIRI DENGAN ILMU PENGETAHUAN

Ditulis oleh : Muhammad Fethullah Gülen Hocaefendi

Semua jenis ilmu mempunyai definisi tersendiri, dan setiap pengamalan juga mempunyai caranya tersendiri. Tanpa mengetahui definisi dan cara pengamalannya, maka seseorang tidak patut membicarakan satu bidang ilmu apa pun, serta tidak patut pula membicarakan pengamalannya sedikit pun. Disebabkan masalah dakwah adalah tugas seorang muslim saja, maka untuk pelaksanaannya, ia mempunyai berbagai pokok dan cara tersendiri pula. Setiap dakwah yang tidak mengindahkan cara-cara yang telah dituntunkan, maka tidak akan ada keberhasilannya sedikit pun, selain kesia-siaan. Apabila padanya ditemukan sejenis keberhasilan, maka nilai keberhasilan itu tidak akan pernah berlangsung lama.

Dalam kesempatan ini, perlu saya sampaikan berbagai cara berdakwah, meski sesungguhnya tata cara berdakwah tidak hanya terbatas seperti apa yang saya sampaikan saja. Sebab, apa yang saya sampaikan di sini hanyalah bagian-bagian terpentingnya saja. Sedangkan secara lengkap dapat ditemukan di dalam firman Allah Swt. dan sabda Rasulullah Saw., yang memberi penjelasan tentang cara berdakwah secara lebih luas serta komprehensif.

Setiap da’i yang menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, disyaratkan harus mempunyai ilmu pengetahuan yang luas. Sebab, hubungan antara ilmu pengetahuan dengan cara berdakwah sangat erat. Terutama, mempunyai pengetahuan tentang ilmu agamanya, sehingga ia dapat menerangkan seputar ajaran agamanya itu dengan gamblang dan jelas. Kalau tidak, maka dakwah yang ia sampaikan tidak akan berguna, bahkan akan menjadikan orang lain lari (menjauh) dari ajaran agama yang disampaikannya. Yang demikian itu tidak lain karena da’i-nya tidak menguasai ilmu pengetahuan untuk menerangkan materi dakwahnya secara baik dan tepat sasaran.

Saya akan terangkan sedikit saja tentang ilmu ini, terutama yang terkait dengan dakwah. Juga akan dijelaskan cara pengamalannya. Sebenarnya ilmu di alam semesta ini laksana mihrab bagi Nabi Allah Adam as. Setelah itu, tugas berdakwah dilanjutkan oleh para Nabi dan Rasul setelah beliau. Jika demikian, apakah makna ilmu yang sesungguhnya? Arti ilmu adalah pengenalan seseorang kepada Sang Maha Pencipta, kemudian mengenalkan Sang Pencipta kepada orang lain. Dan hendaknya mereka meyakini bahwa Tuhan kita mempunyai sifat-sifat dan nama-nama yang Mahamulia. Berikutnya, hendaklah ia mengenal Tuhan-nya dengan sebenar-benar pengenalan. Adapun ungkapan, “Siapa yang mengenal dirinya, maka ia mengenal Tuhannya,” sebenarnya ucapan sebenar ini sangat dalam artinya, bahkan hampir sama derajatnya dengan sabda Nabi, meskipun sebenarnya ia bukan termasuk jajaran di dalam sabda Nabi. Akan tetapi, Al-Qur’an mendukungnya, sebagaimana telah disebutkan oleh Allah Swt. di dalam firman-Nya berikut ini: “Dan janganlah engkau seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik,” (QS al-Hasyr [59]: 19).

Jika kalian melalaikan Allah, maka pasti Allah akan melalaikan kalian. Jika kalian telah dilalaikan oleh Allah, maka sudah tentu kalian akan jauh dari sisi-Nya. Sehingga kalian akan menjadi orang yang terasing, bahkan kalian tidak akan ingat kepada diri kalian sendiri. Siapa saja yang telah masuk ke dalam lingkaran setan, maka ia akan sangat berat untuk bisa melepaskan dirinya dari lingkaran itu. Bahkan ia akan menjauh dari ajaran Al-Qur’an dan sunnah-sunnah Nabi-Nya.

Janganlah kalian melupakan Allah Swt. sedetik pun, agar kalian tidak dilupakan oleh-Nya kapan saja. Sebab, jika kalian telah lalai dari mengingat Allah, maka kalian akan menjauh dari sisi-Nya. Berapa banyak orang yang rajin membicarakan Al-Qur’an dan ajaran Islam, akan tetapi ia justru menunggu orang lain yang mengerjakannya? Bahkan, ada sekelompok orang yang justru melupakan ajaran Islam dengan menghinakannya di rumahnya sendiri. Berapa banyak orang yang mengelu-elukan ajaran Al-Qur’an dan al-Sunnah, akan tetapi mereka justru melupakan diri mereka sendiri? Sehingga mereka tidak pernah mengamalkan ajaran Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

Perumpamaan kita di dalam kehidupan ini sama dengan seseorang yang tengah mendaki ke sebuah bukit yang tinggi. Kalau kita tidak berhati-hati menempatkan telapak kaki kita di posisi yang sebenarnya, maka sudah tentu kita akan terpeleset atau bahkan bisa terjatuh ke jurang, yang itu bisa menyebabkan kebinasaan diri kita. Berapa banyak orang yang lalai terhadap dirinya sendiri? Terutama pada saat mereka berada di tempat-tempat suci, seperti di tempat ibadah, di masjid, di Ka’bah, di Raudah, dan lain sebagainya. Sungguh amat mengherankan betapa banyak di antara mereka yang melalaikan dirinya sendiri di tempat-tempat yang suci seperti itu. Sungguh, alangkah meruginya orang-orang yang seperti itu.

Setiap ilmu pasti mempunyai tujuan tersendiri, yaitu mendorong seseorang untuk mengenal dan mencintai Tuhannya. Karena, jika ilmu tidak mendorong seseorang (pemiliknya) untuk mencintai Tuhannya, maka ilmu itu tidak berguna baginya. Sebab, ilmu harus menjadi sumber kehidupan bagi jiwa dan perasaannya. Jika seseorang telah kehilangan sentuhan dari perasaannya, maka ilmu yang tersedia pada dirinya sama sekali tidak berguna bagi dirinya. Adapun ilmu yang sangat dianjurkan oleh Al-Qur’an dan al-Sunnah untuk menuntutnya adalah ilmu yang dapat mengenalkan seseorang kepada Tuhannya. Selain itu, Al-Qur’an dan al-Sunnah tidak menganjurkan untuk mengetahuinya (tidak mewajibkan untuk menuntut ilmu tersebut).

Sehubungan dengan pembahasan kita kali ini, maka kita perlu memahami seputar berbagai ayat dan hadis yang menganjurkan manusia untuk mencari ilmu pengetahuan. Sebagaimana yang telah disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla di dalam firman-Nya berikut ini: “Katakanlah, ‘Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang-orang yang mau menggunakan akalnyalah yang dapat menerima pelajaran,” (QS al-Zumar [39]: 9).

Firman Allah Swt. di atas mengisyaratkan kepada kita bahwa ilmu yang membawa manusia untuk mengenal Tuhannya dengan ilmu yang menghalangi manusia dari mengenal Tuhannya tidaklah sama. Orang yang membolak-balikkan halaman-halaman buku tanpa berusaha memahami isinya laksana seekor binatang pengerat yang mencari rahasia di balik tumpukan suatu benda. Sehingga ia tidak akan sempat memetik segaris pun manfaat dari sejumlah buku yang dipegangnya. Menurut bahasa Al-Qur’an, ia bagai seekor keledai yang memikul sejumlah buku. Dengan kata lain, buku-buku yang meski mengandung banyak sekali ilmu pengetahuan itu pun menjadi tidak berguna bagi seekor keledai. Akan tetapi, berbeda jauh dengan seorang yang rajin membaca ilmu pengetahuan, dan ilmu itu menyebabkan ia mengenal Allah. Sebagaimana Allah ‘Azza wa Jalla telah berfirman: “Sesungguhnya mereka yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya hanyalah para ulama” (QS. Fâthir [35]: 28).

Jelas sekali bahwa firman Allah Swt. di atas memuji orang-orang yang berilmu, yang dengan ilmunya mereka dapat mengenal Allah dengan baik. Sehingga mereka selalu bertata-krama dan bersikap khusyu’ terhadap Tuhannya. Firman Allah di atas didukung oleh sabda Rasulullah Saw. berikut ini: “Sesungguhnya para ulama itu adalah para pewaris para Nabi.”

Menurut hadis di atas, dapat kita simpulkan bahwa ada sekelompok manusia yang mengenal Allah melalui ilmu pengetahuan yang dimiliki. Mereka itu adalah para Nabi. Sedangkan kita –sebagai umat beliau– tidak sampai pada tingkatan seperti mereka. Kita dapat mengenal Allah ‘Azza wa Jalla melalui perantaraan cahaya yang keluar dari lisan para Nabi dan Rasul. Sebab, tidak seorang pun mampu mencapai pengenalan diri kepada Tuhannya, kecuali melalui sabda-sabda yang meluncur melalui lisan para Nabi dan Rasul.

Adakalanya sebagian orang dapat mengenal Allah melalui usaha maupun jerih payahnya sendiri. Akan tetapi, untuk lebih mengenal Allah dengan jelas dan gamblang tidak dapat ditembus oleh seorang pun, kecuali melalui petunjuk-petunjuk dari para Nabi dan Rasul. Sebab, mereka adalah para pihak yang telah mendapatkan warisan pengetahuan langsung dari sisi Allah Yang Maha Mengetahui.

Strata selanjutnya (setelah mereka) adalah para hamba Allah yang shalih, yang oleh Al-Qur’an diisyaratkan bahwa mereka itu merupakan pewaris isi bumi. Hubungan antara sabda Rasulullah dan firman Allah di atas sangat terkait erat, karena hamba-hamba Allah yang shalih adalah orang-orang yang paling pantas menjadi khalifah Allah di muka bumi. Mereka adalah para ulama, dan mereka merupakan pewaris para Nabi, bukan yang lain. Sebab, para Nabi adalah penyampai pilihan atas firman-firman Allah.

Demikian pula halnya dengan para ulama. Karena, para ulama adalah pewaris para Nabi, mereka akan mendalami firman Allah dan menyampaikannya kepada orang lain. Adapun kebangkitan seorang hamba itu dimulai dari keberhasilan pemilik ilmu dalam mendalami dan memahami apa yang terkandung di dalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah.

Referensi :

[1] Diriwayatkan oleh Imam Bukhari, pada pembahasan mengenai al-‘Ilmu, hadis nomor 10. Juga oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan yang sama, al-‘Ilmu, hadis nomor 19
[2] Diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan mengenai al-‘Ilmu, hadis nomor 19.
[3] Diriwayatkan oleh Imam al-Tirmidzi, pada pembahasan mengenai al-‘Ilmu, hadis nomor 1. Juga oleh Imam Abu Dawud, juga pada pembahasan yang sama, mengenai al-‘Ilmu, hadis nomor 9. Diriwayatkan pula oleh Imam Ibnu Majah di dalam Muqaddimah kitab miliknya, halaman 24. Dan pula dirujuk dalam kitab Majma’ al-Zawâid, karya Imam al-Haitsami, Jilid 1, halaman 163.

mengembangkandiri.com man-standing-on-a-mountain-and-looking-out-over-the-scenery-picjumbo-com

SOSOK YANG MENGABDIKAN HIDUPNYA DEMI KEMANUSIAAN

Suatu hari ketika saya tinggal di kota Izmir, Seseorang datang kepada saya dan dia meminta maaf. “Saya berkata kepadanya, saya tidak kenal dengan Anda kenapa anda mintak maaf kepada saya?”, Dia berkata “selama lima tahun saya diam-diam mengikuti Anda, tugas saya adalah memata-matai Anda, sampai saat ini saya tidak pernah melihat bahwa Anda mengikuti partai dan mendukung pimpinan tertentu, tapi hanya satu yang saya lihat bahwa Anda sangat peduli dengan  siswa, mahasiswa dan generasi muda. Alasan saya memintak maaf kepada Anda adalah suatu hari ketika saya sedang memata-matai Anda dari kejauhan.

Pada saat itu musim dingin dan salju pun turun, yang mana biasanya salju jarang turun di kota Izmir. Pada waktu itu saya melihat Anda dengan satu orang siswa. Saya perhatikan siswa itu telah melaksanakan salat dengan kaki terlanjang, lalu di depan pintu masjid Dia memeras kaos kakinya yang basah dan berlumpur. Begitu Anda melihat siswa tersebut Anda menemuinya dan mengusap pundaknya. Saya tidak bisa mendengar Anda dengan jelas tetapi sepertinya Anda berkata kepada siswa itu ”tunggu sebentar disini” lalu anda pergi dan datang kembali dengan membawa sepasang sepatu dan kaos kaki. Anda berkata kepada siswa tersebut “pakailah ini” Anda membuat siswa itu tersenyum lalu Anda pergi meninggalkannya. Seandainya Anda tidak memberikan sepasang sepatu dan kaos kaki kepada siswa tersebut, maka siswa itu akan pergi ke sekolah dengan memakai sepatu dan kaos kaki yang basah dan penuh lumpur. Pada saat itu yang Anda lakukan sangat menyentuh hati saya dan saya langsung berfikir, orang seperti anda tidak mungkin melakukan kejahatan apapun kepada negara  atas dasar pemikiran itu saya memantapkan diri untuk datang dan meminta maaf kepada Anda. Dan kita bercerita bahwa ia juga mempunyai seorang anak yang sedang menempuh pedidikan tingkat SMA.

Apakah Anda bersedia membimbing dan membina anak saya juga?

Saya menjawab, tentu saja saya bersedia, karena ini adalah tugas saya. Kemudian saya mulai membimbing anaknya lalu saya menjelaskan tentang Allah, akhirat, tujuan kedatangan kita di dunia ini, berbuat baik dan hormat kepada orang tua, karena mereka adalah sebab kita ada di dunia. Setelah satu bulan ayahnya datang kembali dan berkata “ Pak, saya sangat merasa malu kepada anak saya karena dia sudah mulai melaksanakan salat sedangkan kita sebagai orang tuanya tidak melaksanakan salat”.

Pada waktu itu pun saya berkata mari kita juga menunaikan perintah sang pencipta kita. Setelah 10-15 tahun berlalu, seorang berteriak di belakang saya “Pak”, saya melihatnya, ternyata dia adalah anak yang saya bimbing dan saya bina waktu itu, dia sudah lulus S1.

Dia berkata : “Ayah saya mengundang Anda”, Lalu kita pergi bertemu ayahnya dan kita minum the bersama dan ayahnya berterimakasih kepada saya.

Ayahnya berkata : “Alhamdulillah waktu itu kita dalam kekosongan dan sekarang kita faham betul kenapa kita dikirim ke dunia. Saya berterimakasih sekali, Anda menjadi perantara bagi kita untuk mewujudkan kebahagiaan dan ketentraman dalam keluarga kita”.

Semoga Allah senantiasa memudahkan jalan dakwah kita Amminn……

mengembangkandiri.com man-8046025_1920

PERINTIS MUDA MELAYANI MASYARAKAT

Musim dingin yang lalu, kami berkesempatan untuk berpartisipasi dalam program bimbingan intensif, yakni program Young Leaders In Johannesburg. Berangkat dari pulau nan eksotis Indonesia, kelompok kecil kami yang terdiri dari sekumpulan delapan individu yang memiliki pikiran penuh rasa ingin tahu, menjelajahi benua hingga ke Afrika Selatan. Bersama-sama kami menjelajahi luasnya medan perjalanan, di mana setiap langkah-langkah yang kami jalani, mampu membentuk kisah penuh penemuan dan perkembangan.

Pada Jumat pagi yang dingin, kami bangun lalu mulai menyiapkan makanan yang akan dibagikan ke panti jompo. Kami membuat sandwich dengan penuh antusias. Ya, hari ini adalah hari pelayanan masyarakat. Kami memilih Jumat sebagai hari pelayanan masyarakat. Kami datang sekitar empat puluh lima menit dari komplek Nizamia, ke sekolah Mayfair di Joburg. Memerlukan sekitar dua jam bagi kami untuk menyiapkan empat ratus sandwich. Dalam usaha membuat sandwich yang sempurna, kami merasa perlu meminta bantuan dari warga sekolah disana. Kolaborasi tangan baik yang sudah pernah maupun yang baru membuat sandwich, bersatu padu untuk menyusun kreasi kuliner ini. Tawa bergema di udara saat kami memotong, menyusun, dan menata sandwich sandwich itu, mengubah tugas sederhana menjadi kolaborasi harmonis yang akan membekas dalam ingatan kami. Bapak Sarkhan, pengatur program pelayanan masyarakat, memberi tahu kami bahwa kami harus menyelesaikan tugas sebelum pukul sebelas setengah sehingga kami bisa mendistribusikannya ke panti jompo didekat sekolah dan kembali untuk salat Jumat.

Segera setelah menyelesaikan tugas, kami menyiapkan sandwich dan sekaligus mengumpulkan berbagai macam buah yang akan kami bagikan bersama-sama. Kami membawa makanan tersebut ke minivan yang tengah menunggu di luar dapur. Dalam perjalanan singkat sekitar lima menit dari sekolah, tibalah kami pada tujuan utama yakni panti jompo. “Semua orang berkumpul di depan minivan sekarang!,” kata Bapak Sarkhan. Jadi, dilingkungan yang penuh semangat ini, serangkaian rumah mengelilingi sekitar kami.

Lalu apa misi kami?

Yakni Mengetuk setiap pintu, menawarkan makanan. Begitu mereka menanggapi ketukan pintu tersebut, sejumlah makanan yang bermanfaat menanti mereka berupa tiga bungkus sandwich, disertai dengan dua jeruk dan apel yang segar. Kami menganggukkan kepala bersama-sama, sepenuhnya memahami tugas sederhana namun bermakna bagi kami.

Saat kami perlahan mengetuk setiap pintu, beberapa penghuni muncul dari dalam. Dengan detail, Bapak Sarkhan menjelaskan perjalanan kami dari Indonesia dan usaha keras yang kami lakukan sejak pagi hari untuk membuat sandwich ini khusus untuk mereka. Rasa keterhubungan antara kita pun mulai terbangun. Di tengah interaksi kami, seorang wanita paruh baya menarik perhatian kami. Ia terasing di dalam rumahnya, mobilitasnya terbatas dan dia tengah duduk dengan rasa pasrah. Mendekatlah salah satu teman kita dengan penuh rasa iba yang kemudian menyodorkan tiga kantong sandwich berikut dengan macam-macam buah yang kami bawa. Sebuah potret momen hubungan antar manusia yang bermakna mendalam terungkap di hadapan kami. Ayra berlutut dengan penuh kedermawanan, menyerahkan bingkisan tersebut kepada wanita itu, dan dengan lembut ia pun bertanya, “Bagaimana kabar Anda, bibi?” Bibi itu, kaget dengan gestur tak terduga, kemudian menjawab, “kabar saya baik, terima kasih. Siapa Anda, dan mengapa Anda memberikan ini kepada saya?”

Dengan senyum hangat, Ayra pun menjelaskan, “Kami berasal dari Indonesia. Kami menyiapkan sandwich ini sejak pagi tadi, khusus untuk Anda. Kami senang bisa berbagi dengan Anda. “Mata bibi itu terlihat berkaca-kaca dan bercampur haru saat dia melanjutkan ucapannya,” Tidak!, maksud saya, saya belum pernah menerima sesuatu yang dibuat khusus untuk saya seperti ini, bahkan bukan dari anak-anak saya sendiri.

Apakah Anda seorang Muslim?

Pandangannya tertuju pada kerudung Ayra, penuh rasa tanya. Ayra menganggukkan kepala, senyumnya melebar, “Ya, saya seorang Muslim. Kami ingin menunjukkan perhatian dan rasa hormat kami kepada Anda melalui hal sederhana ini.”

Momen tak terduga pun terjadi ditengah percakapan itu, wanita itu membuka diri tentang penyakit dan kekurangan fisiknya. Dengan perasaan rentan, dia mempercayakan kepada Ayra, mengungkapkan keinginannya untuk memeluk Islam pada hari itu. Terharu oleh ketulusan kata-katanya, Ayra memeluk wanita tersebut dengan erat, hatinya penuh kehangatan. “Bapak Sarkhan, bisakah Anda datang ke sini?” Suara Ayra membawa campuran kegembiraan dan penuh harap. Ketika Bapak Sarkhan tiba, mata bibi itu bersinar penuh ketulusan seakan ada harapan baru ketika ia menyatakan ingin memeluk Islam. Dengan bimbingan yang lembut, Bapak Sarkhan duduk di sisinya, kata-katanya menenangkan dan penuh dukungan. Saat matahari naik menuju cakrawala, memancarkan sinar hangat pada momen itu, wanita itu pun mengucapkan Syahadat, bersaksi atas iman yang suci di depan kami. Suasana kian terisi dengan rasa persatuan dan spiritualitas, sebuah momen tak terlupakan yang terukir dihati kami selamanya.

mengembangkandiri.com pexels-miguel-á-padriñán-194094

INTENSITAS DAN KASIH SAYANG DALAM KEPEMIMPINAN

Pertanyaan: Jika seorang pemimpin memiliki sifat yang lembut dan fleksibel, terlihat bahwa orang-orang akan mudah berpadu dengannya, namun mereka bisa saja menyikapinya tanpa ada rasa kerja keras yang disiplin; sedangkan jika memiliki sifat yang keras mereka akan bekerja dengan serius tetapi kali ini mereka tidak dapat mencurahkan rasa kasih mereka terhadap atasan, merubahnya kedalam kondisi ruh yang kaku dan mudah tersinggung. Sikap yang bagaimana dalam situasi ini yang seharusnya dilakukan oleh seorang pemimpin yang ideal?

Jawab: Kepemimpinan, merupakan sebuah tugas dan tanggung jawab yang pertama kali dimulai oleh ayah dan ibu, yang kemudian berlanjut sesuai usia dalam keluarga, yang nantinya akan kita jumpai dalam hampir setiap tahapan kehidupan. Untuk itu, sama halnya kepala sekolah yang ada di sekolah, guru yang ada di kelas, komandan yang ada di barak, direktur yang memberikan pekerjaan di pabrik; seseorang yang memiliki tanggung jawab yang berkaitan dengan individu juga merupakan pemimpin. Namun kepemimpinan, apalagi sebuah kepemimpinan yang adil bukanlah pekerjaan yang mudah seperti yang dibayangkan; merupakan hal yang benar-benar sulit dan secara hakikat jumlah orang yang berhasil dalam kepemimpinan sangatlah sedikit.

‘GILA’ ATAU SOSOK JAWARA DALAM PEKERJAAN?

Untuk sebuah kepemimpinan yang ideal, memiliki etika kerja yang tangguh dan bergerak dengan disiplin sangatlah penting. Namun sifat ini tidak cukup untuk sebuah kepemimpinan yang sempurna di level yang diinginkan. Misalkan ada beberapa orang yang bertugas sebagai pemimpin yang telah mendedikasikan dirinya dalam pekerjaan dan menunaikan tugasnya dengan kedisiplinan tinggi. Ia menjalankan tugas selama dua puluh jam, bahkan begitu pergi ke rumah, ia pun masih melakukan hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaannya.

Namun sayang, manusia-mansuia semacam ini justru dianggap sebagai orang yang gila kerja oleh lingkungannya. Ia merasa terganggu dan terasingkan dengan kondisi ini. Padahal seseorang yang bekerja keras untuk sebuah keidealan yang agung, berambisi dan gemar terhadap pekerjaan yang ia lakukan, bahkan menjadikannya tergila-gila akan pekerjaan tersebut bukan merupakan hal yang seharusnya dikucilkan begitu dianggap sebagai sifat yang negatif. Ya, yang bekerja keras siang-malam untuk menunaikan tugas yang ia ambil dalam bentuk yang paling sempurna, layaknya meniadakan dirinya dalam pekerjaan itu, orang-orang yang menghabiskan waktunya supaya tidak terwujud kerusakan di lingkup tanggung jawab yang ia jalani dan agar tidak merasakan kegagalan bukanlah seorang yang gila kerja, mungkin harus dilihat sebagai jawara pekerjaan, -dengan kata lain- individu yang menjadi contoh dalam pekerjaannya.

Apalagi disaat keengganan dan kemalasan dalam menjalankan tugas menjadi trand topic pada masa ini, andai semua orang bisa menjalankan pekerjaan yang ia lakukan sambil memiliki etika kerja yang begitu luhur dengan kesensitifan yang penuh dan keseriusan yang tinggi, tanpa harus mengurangi hak orang tua, anak-cucu, dan semua orang yang berada pada tanggung jawabnya. Manusia semacam itu tidak bisa dikategorikan sebagai “gila kerja,” sebaliknya itu adalah sebuah ahlak agung yang dikhususkan kepada orang-orang yang luhur dan sifat mulia yang perlu diapresiasi.

Orang-orang yang memiliki ahlak mulia ini mereka begitu menghayati pekerjaannya itu, sehingga ia pun tak henti berpikir bahkan ketika ia wudhu atau melakukan istibra. Meski pun pertimbangan sejenis itu, dalam lingkup kebutuhan tersebut terlihat tidak sesuai, namun mereka memikirkan rencana dan projek yang berhubungan dengan pekerjaan itu guna tidak berdiam diri disana. Jika seseorang menyatu begitu tergetarkan jiwanya dengan pekerjaan -apalagi jika pekerjaan tersebut berkaitan dengan sebuah keidealan agung dan luhur- yang ia pikul, orang itu akan menjalankan kehidupannya sibuk dengan mencari solusi permasalahan yang berhubungan dengan pekerjaan tersebut. Kalian dapat melihat seseorang yang seperti ini yang dimuliakan dengan etika kerja begitu membuang bagian “gila”nya, dengan pertimbangan sebagai pahlawan yang telah menyatu dengan tugasnya dan kalian dapat mengungkapkan kondisi ini dengan perkataan “Sungguh merupakan sebuah karakter yang mulia, sebuah sikap yang luhur!.”

METODE PERSUASI DAN KESAMAAN DERITA

Namun pemimpin yang sebenarnya bukanlah seseorang yang berjalan sendiri. Ia, adalah seseorang yang menempuh jarak  dengan orang-orang menurut kekuatan dan kesanggupan, kemampuan dan kapasitas mereka yang ada bersamanya, yang mengantarkan serta mengarahkan orang-orang yang ada dibelakangnya kedalam tujuan yang agung dan luhur, yang menggandeng saat membawa mereka dalam sebuah keistiqamahan tujuan. Ini pun akan terwujud dengan penyampaian seorang pemimpin kepada pemikiran orang-orang yang berada bersamanya, masuk kedalam hatinya, menjelaskan deritanya dan pada akhirnya membuatnya menerima saat membujuk mereka kedalam pekerjaan yang mereka lakukan dan pentingnya pekerjaan tersebut.

Ya, pemimpin yang nyata menggetarkan jiwa yang ada dalam hatinya, dan menebarkannya kepada ruh orang-orang yang berada bersamanya, menanamkan kedalam pemikiran mereka dan menjadikan asas yang ia getarkan sebagai derita alam. Misalkan sambil berkata, “Allahﷻ telah memberikan kesempatan dan anugerah sebanyak ini kepada kita. Melimpahkan atmosfer pekerjaan yang indah seperti ini. Oleh karena itu yang layak kita lakukan ialah menggunakan kesempatan dan anugerah ini dengan sesuai tanpa harus menguranginya sedikit pun.

Jika saja kita tidak menggunakan kesempatan ini dan menyia-nyiakannya, apakah Allahﷻ tidak akan menanyakan satu per satu hisab ini semua kepada kita?

Bagaimana kita bisa bangkit dibawah tanggungan ini, bagaimana kita akan memberikan hisabnya?

Harus membangkitkan kesadaran lawan bicara dalam hal pekerjaan yang mereka lakukan, membuat mereka menerimanya begitu membujuknya. Dan juga, pesan yang ingin disampaikan hanya dengan menyampaikan satu kali seperti itu, bisa jadi tidak akan terpantul dalam hati mereka. Oleh sebab itu layaknya melakukan rehabilitasi, permasalahan harus diungkapkan berulang kali dengan metode yang sesuai.

Di sisi lain seseorang yang bertugas sebagai pemimpin, jika permasalahan ini dengan pengutaraannya sendiri mampu menjadikan sebab reaksi, ketika saat itu yang harus dilakukan adalah menemukan seseorang yang tidak akan memberikan reaksi kepada orang-orang itu, kemudian membiarkan orang tersebut menyampaikan perihal yang penting ini. Jika perlu dalam perihal ini berusaha mengadakan satu kali atau beberapa seminar, mengorganisir konferensi dan menjelaskan pentingnya permasalahan ini. Jika seorang pemimpin terus memegang satu sisi penekanan pada dirinya namun yang ada disampingnya selalu bersandar dibelakangnya, guna menjalankan pekerjaan dalam bingkai yang sesuai ia seharusnya memundakkan beban kepada orang yang ada bersamanya dan membawanya saat menariknya, ini pun setelah beberapa waktu berarti menjadikan pekerjaan tersebut tak dapat lagi dikerjakan. Oleh karena itu pemimpin, harus mengajak orang yang ada dibelakangnya untuk berlari, menanamkan kepada mereka perasaan dan pemikiran untuk menjadi pelari dalam sebuah maraton dan untuk itu harus menyediakan keberlangsungan sebuah pekerjaan dalam jangka waktu yang panjang dengan usaha dan kerja keras yang sama.

Seorang pemimpin untuk dapat mewujudkannya, jangan sampai memandang kecil dan rendah pendapat dan pemikiran orang lain serta harus mengapresiasi begitu menerima dengan bijak apa yang mereka lakukan, menghembuskan kerja keras dan gairah mereka. Misalkan, meskipun pekerjaan yang dilakukan tidak sesuai dengan yang diharapkan, dengan mengatakan; “Teman-teman! Saya berterima kasih atas kerja keras dan semangat yang telah kalian upayakan dalam perihal ini. Sebenarnya yang seharusnya dilakukan adalah hal lain tetapi apa yang kalian lakukan pun tidak mungkin untuk tidak diapresiasi,” harus mengetahui untuk meletakkan sebuah sikap yang struktural dan positif bahkan dihadapan banyak kekurangan. Dengan ini tidak mendorong adanya rasa tidak hormat dan reaksi orang-orang akan dirinya serta tidak sampai menjatuhkan wibawanya sendiri dihadapan mereka. Karena ketika seorang pemimpin selalu menyalahkan orang-orang yang ada bersamanya, akan memacu perasaan bersalah yang ada dalam diri mereka, menjauhkannya dari dirimu dan bahkan dapat mengarahkan mereka menuju jalan yang akan memutuskan hubungannya denganmu.

KASIH SAYANG YANG LEBIH LUAS DARI ORANGTUA

Seorang pemimpin yang hakiki, sifat-sifat yang satu sama lain dapat berkembang secara berkebalikan, yang terlihat kontras, di waktu yang sama adalah pahlawan keseimbangan yang menempatkan dirinya tepat di jalan tengah. Dari segi ini, disamping kesadaran yang luhur, keseriusan yang tinggi dan kedisiplinan yang matang, ia bersikap dengan cinta dan kasih sayang sedapat mungkin kepada orang-orang yang ada disekitarnya. Yakni, di satu sisi menjaga kedewasaan dan keseriusan yang tugas haruskan, tidak berbaur berlebihan dengan orang-orang yang ada bersamanya dalam ukuran yang akan meretakkan kedewasaan dan keseriusan itu, tidak masuk kedalam perbincangan yang sia-sia. Namun di sisi lain layaknya malaikat yang penuh dengan kasih sayang selalu berada disamping mereka dalam segala jenis derita dan permasalahan dan bergetar diatasnya. Misalkan, ketika kamu sadar bahwa mukanya terlihat masam di saat salah satu diantara mereka datang ke kantor, segera mendekatinya dengan sebuah kasih sayang yang lebih dari kasih sayang orang tua; berusaha untuk mempelajari begitu memahami apakah ada masalah dengan istri, anak atau masalah dengan salah seorang atau juga sebuah hutang. Yang mana ia akan menyikapinya dengan penuh perhatian dalam ukuran yang orang tuanya pun sendiri tidak akan mampu menyikapinya seperti itu, membakar hatinya dan mencari jalan solusi alternatif. Dan sikap ini tidak hanya sekali, tetapi mengetahuinya sebagai tugas yang harus dilakukan dalam setiap derita dan permasalahan.

Kita bisa memperbanyak contohnya. Jika kalian seorang guru, kalian bisa mengatur jarak tertentu terhadap siswa kalian, kalian tidak akan bersama dengan mereka dalam permainan dan hiburan yang akan meretakkan sikap kedewasaan dan keseriusan kalian. Karena yang berbagi sikap kelalaian dengan siswa-siswanya dengan jalur permainan, dalam artian yang bersikap kekanak-kanakan seperti mereka, sangatlah sulit untuk menjaga sikap keseriusan, sulit membuat mereka mendengarkan perkataan di kesempatan lain begitu menjaganya. Namun dihadapan derita dan permasalahan mereka layaknya malaikat pelindung segera menunjukan dirinya disamping mereka dan mengepakan sayap kedalam diri mereka. Ketika kalian melihat seorang siswa yang memasamkan mukanya kalian akan mengelus rambutnya dan meluapkan kasih sayang dan kehangatan yang dapat membuka permasalahannya kepada kalian. Yang mana ia akan membuka dengan mudahnya kepada kalian derita dan permasalahan yang bahkan ia tidak sampaikan kepada ayah ibunya, kalian akan dijadikan sebagai teman penjaga rahasia dan memiliki derita yang sama. Dalam setiap unit apapun ia berada, jika seorang pemimpin dapat membawa dua masalah ini dengan seimbang berarti ia telah berhasil dalam kepemimpinan di ukuran tersebut. Jika permasalahan hanya bergantung dengan keseriusan dan kekerasan kalian, akan dianggap oleh para lawan bicara sebagai bentuk kebencian, terbesit komentar aneh berhubungan dengan yang kalian lakukan, menghubungkannya kedalam bait negatif seperti “gila kerja” dan pada akhirnya kalian akan jatuh kedalam posisi seorang pemimpin yang tidak didengar perkataannya sambil merasakan kehilangan kewibawaan. Yang mana meski kalian dalam kondisi berlari mati-matian, apa yang kalian lakukan akan tertindas kedalam pandangan yang negatif begitu tersohor dengan sifat-sifat yang negatif pula.

Selain itu, ketika seseorang melakukan kesalahan saat tidak mampu menjaga keseimbangan ini ia pun seharusnya tidak bersikap keras kepala dalam kesalahannya dan seharusnya mencoba untuk memperbaiki kesalahannya itu. Mari kita katakan bahwa, kalian telah memarahi siswa kalian karena kesalahan yang ia lakukan, ketika kalian sebenarnya mampu untuk memperingatinya dengan bujukan yang logis, kalian telah mematahkan hatinya dengan sikap yang keras. Dihadapan kondisi yang seperti ini, pertama yang harus dilakukan, kalian perlu membuka dompet kalian dengan murah hati begitu menggandengnya dengan segera, menjamunya dan berusaha mengambil hatinya dengan cara memberikan uang jajan dan kalian harus mampu mengatakan “Maafkanlah saya.” Kalian akan mengatakan “Jika kamu tidak memaafkan saya, saya tidak akan meninggalkan kamu!.” Dengan ini, jika kesalahan yang dilakukan segera diperbaiki, hati yang terpatahkan itu pun akan kembali terangkul dan hubungan dengan kalian akan tersegarkan kembali. Ya, salah satu asas yang paling penting tugas kita adalah kasih sayang. Kasih sayang disamping kedisiplinan, kasih sayang disamping etika kerja, kasih sayang disamping hidup secara teratur… kasih sayang, kasih sayang, kasih sayang…

Apakah kalian tidak melihat kedalam kehidupan Nabi Muhammad SAW! Ia selalu mengatakan apa yang ia katakan kepada khalayak umum, ia tidak pernah berbicara menjurus langsung kepada seseorang. Ketika melihat seseorang dikucilkan ia segera bergerak melindunginya. Misalkan, suatu hari seseorang yang baru masuk Islam, meminta bantuan dari Nabi Muhammad SAW begitu datang kehadapan Beliau. Rasulullah memberikan apa yang orang tersebut inginkan. Namun ia, mengungkapkan ketidakpuasannya sambil merasa tidak cukup dengan hal ini. Oleh karena itu beberapa dari para sahabat bergerak untuk memberi hukuman akan ketidakhormatannya ini, mereka berjalan menuju orang itu. Namun Nabi Agung yang dikirimkan sebagai rahmat untuk seluruh alam, menghalangi mereka dan membahagiakan orang tersebut sambil memberikan sesuatu yang lain. Setelah itu Beliau memberikan sebuah contoh begitu kembali kepada para sahabat seperti ini : “Seseorang melepaskan seekor unta dan orang-orang berlari untuk menangkap unta tersebut. Namun unta yang bergairah itu semakin menjadi-jadi dan lari sekuat tenaga. Pemilik unta datang dengan segenggam rumput ditangannya dan berkata : ‘Jangan mencampuri urusanku dengan untaku!.’ Setelah itu mendekati untanya secara perlahan, memasang tali ke lehernya dan membawanya begitu mengambilnya.” Nabi Muhammad SAW, setelah memberikan contoh ini ia kembali ke para sahabat dan bersabda: “Jika kalian tidak membiarkan orang itu kepada saya, kalian pun akan semakin menjauhkannya dan kalian telah melemparkannya kedalam api. Janganlah kalian ikut campur urusan ummatku!.”

Dari segi ini kita bisa mengatakan bahwa jika kita menunjukkan kebencian dan amarah begitu berkata, “kita akan bersikap disiplin, kita akan membawa orang-orang kedalam barisannya begitu bersikap disiplin” kita akan membuat mereka lari dari kita dan menjauh. Daripada itu, tanpa harus menjauhkan sikap keseriusan dari genggaman, kita harus memeluk mereka dengan rasa cinta yang dalam dan kasih sayang yang luas dan mengepakkan sayap untuk mereka. Yang mana, mereka harus melihat kedalam mata kita dan membuat mereka menunggu dari kita apa yang mereka tunggu dari ayah-ibu mereka.

Pada akhirnya, dalam pemahaman ahlak yang kita miliki secara mutlak harus ada sebuah kedisiplinan, secara pasti harus menjaga sikap keseriusan, namun di sisi lain harus memiliki rasa kasih sayang dan rangkulan yang luhur. Ketika kedua ini dibawa dalam ukuran yang seimbang itu berarti telah meletakkan sebuah kepemimpinan yang ideal. Karena sebuah sanjungan akan menghasilkan sanjungan. Ini adalah ahlak Ilahi. Allah SWT bersabda: فَاذْكُرُونِي أَذْكُرْكُمْ “Karena itu, ingatlah kamu kepada-Ku niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” Dari segi ini jika kita memeluk orang-orang yang ada dibawah tangan kita, membukakan hati kita, merangkul mereka dengan kasih sayang dan kedekatan, mereka pun akan memaparkan kesetiaan dalam ukuran yang diinginkan dan berusaha untuk menunaikan tugasnya semampu mungkin dalam bentuk yang sempurna.

(Diterjemahkan dari artikel berjudul “İdarecilikte Ciddiyet ve Şefkat” dari buku Kırık Testi 10; Cemre Beklentisi)

mengembangkandiri.com tiga manusia dalam gua

TIGA MANUSIA DI DALAM GUA

Sekelompok manusia melakukan perjalanan bersama, mereka berjumlah tiga orang. Setelah berjalan selama berjam-jam sampailah mereka pada suatu wilayah pegunungan. Matahari sudah hampir terbenam, letih dan lelah sudah mereka rasakan. Nasib, awan hitam juga mulai nampak dan hujan mulai turun. 

Salah seorang dari mereka berkata:

“Kita sudah cukup jauh berjalan hari ini. Sekarang sudah mulai gelap dan hujan mulai turun. Kita bisa melanjutkan perjalanan esok hari saja. Ada sebuah gua di atas gunung ini, kita bisa makan dan berteduh di sana untuk malam ini.”

Dengan bersusah payah mereka bertiga pun sampai ke gua tersebut. Baju mereka basah kuyup. Tanpa basa-basi lagi, mereka segera menghidupkan api. Tiba-tiba terdengar suara sangat keras yang membuat mereka terkejut. Awalnya mereka mengira terjadi gempa bumi.

Ternyata, telah jatuh sebongkah batu yang sangat besar dari atas gunung karena hujan yang deras. Bongkahan batu tersebut menutup akses keluar dari gua. Dikarenakan besarnya batu dan gelapnya situasi di luar gua, tidak nampak sedikitpun cahaya dari luar gua. Tiga orang tersebut sangat ketakutan. Namun karena lelah yang mereka rasakan, mereka memutuskan untuk tidur terlebih dahulu dan mencari jalan keluar dari gua pada esok harinya.

Pagi hari pun datang, sinar tipis cahaya matahari pagi merangsek masuk diantara celah bongkahan batu dan dinding gua. Tiga orang tersebut mencoba mendorong batu dengan sekuat tenaga, namun bongkahan batu tersebut tidak bergeser sedikitpun. Mereka mencoba lagi, lagi, dan lagi, namun tetap saja bongkahan batu tersebut tidak bergeser.

Mereka mulai khawatir. Mereka mencoba berteriak, namun tidak ada yang mendengar mereka. Daerah tersebut sangatlah sepi dan tidak umum untuk dilewati manusia. Persediaan makan dan minum mereka hanya cukup untuk kebutuhan dua hari. Semua cara yang mereka lakukan untuk keluar dari gua tidak berhasil.

Salah seorang diantara mereka memiliki sebuah ide:

“Berserah diri kepada Tuhan yang Maha Kuasa adalah kesempatan terakhir kita. Jika setiap dari kita mempersembahkan suatu itikad baik yang pernah kita yakini akan diterima Tuhan, dan kemudian dengan rahmat tersebut, kita berdoa agar batu besar ini bergeser, Tuhan mungkin akan memberikan belas kasih-Nya kepada kita.”

Mereka pun setuju, mengingat harapan yang mereka miliki hanyalah dengan berserah kepada Yang Maha Kuasa, yang menciptakan semua hakikat dan solusi kehidupan.

Yang pertama dari mereka berkata:

“Ibu dan Ayahku  sudah sangat tua. Aku tidak pernah mengizinkan anak-anakku untuk makan sebelum orang tuaku makan. Suatu hari, aku pergi untuk mengumpulkan kayu bakar. Itu memerlukan waktu lebih dari yang aku perkirakan, aku pulang ke rumah terlambat. Setibanya di rumah, aku langsung memeras susu kambing dan menyiapkannya untuk orang tuaku. Namun, karena sudah larut malam, mereka sudah tertidur. Mereka tertidur sangat nyenyak, aku tidak tega untuk membangunkan mereka, lalu aku duduk disamping mereka sambil membawa semangkuk susu tersebut dan menunggu. Aku duduk disana hingga pagi keesokan harinya. Mereka pun terbangun dan aku suguhkan susu tersebut untuk mereka minum. Ya Tuhanku, aku lakukan itikad baik tersebut untuk meraih rida-Mu. Aku memohon kepadamu, Ya Tuhan, gerakan batu besar ini dengan kuasa dan rahmat-Mu dari itikad baik yang telah aku lakukan.”

Mereka melihat bongkahan batu tersebut bergeser sedikit. Mereka sangat senang dan segera berlari menuju ke arah keluar gua. Mereka memastikan bahwa batu tersebut telah bergeser, namun masih tidak mungkin untuk mereka keluar gua.

Kemudian orang kedua berkata:

“Pamanku mempunyai anak perempuan, aku sangat terpesona oleh putrinya dan aku mengharapkan hubungan yang lebih dekat dengan dia. Namun, setiap kali aku berjumpa dengan dia, dia menolak diriku. Beberapa waktu setelahnya, terjadi kekeringan di daerah kami. Pamanku sudah sangat miskin, dan dengan kurangnya ketersediaan makanan, mereka menjadi semakin miskin lagi. Putrinya terpaksa untuk mendatangiku dan meminta bantuan. Aku dalam kondisi berkecukupan waktu itu. Waktu itu adalah kesempatan emas bagiku, aku katakan kepada dia bahwa aku dapat membantu keluarganya dengan syarat dia mau menyerahkan dirinya kepadaku dan aku tidak akan membantunya jika dia menolakku lagi. Wanita malang itu tidak punya pilihan lain kecuali dengan menerima tawaranku atau dia dan keluarganya tidak mungkin akan bertahan. Saat diriku sedang berdua dengan dirinya, disaat terakhir itu dia berkata: “Takutlah kepada Tuhan! Kamu paham benar dengan apa yang akan kamu lakukan itu salah, dan tugas kita untuk menjauhi apapun larangan Tuhan.” Imanku tergerak karena ucapannya, meskipun aku memiliki kesempatan untuk memenuhi hasratku, aku berubah pikiran. Aku memberinya uang dan menyuruhnya pulang, aku katakan kepada keponakanku itu untuk tidak mengembalikan uang tersebut sepeserpun. Ya Tuhanku! Aku lakukan perbuatan tersebut hanya demi ridha-Mu. Aku bersimpuh memohon pertolongan-Mu, dengan rahmat-Mu dari perbuatan baik yang aku lakukan, selamatkan kami dari gua ini. “

Tiba-tiba bongkahan batu tersebut bergeser lagi, namun sayang, mereka masih tidak bisa keluar dari gua dengan celah sekecil itu.

Kemudian orang ketiga bercerita juga:

“Aku mempekerjakan beberapa orang untuk beberapa waktu kala itu. Aku memberikan upah setiap dari mereka segera setelah pekerjaan mereka selesai, kecuali ada satu pekerja yang tidak mengambil upahnya. Dengan asumsi bahwa dia akan kembali dalam waktu dekat untuk mengambil upahnya, aku membelikannya seekor sapi dengan uang tersebut. Beberapa tahun pun berlalu, dari seekor sapi sudah beranak pinak menjadi beberapa sapi. Dari keuntungan beberapa hewan ternak tersebut, seekor sapi sudah menjadi satu peternakan besar. Beberapa tahun kemudian, pekerja tadi datang kembali dan menagih upahnya yang belum dia ambil dariku. Dengan menunjukan sebuah peternakan yang besar, aku katakan kepadanya bahwa semua hewan ternak ini adalah miliknya. Pekerja itu kaget dan berkata, “Tolong jangan bercanda. Aku tahu ini sudah lewat beberapa tahun, tapi aku hanya ingin mengambil upahku yang lalu.” Aku membalasnya, “Tidak, kamu sudah salah paham. Aku sedang tidak bercanda. Aku sudah membelikan seekor sapi dengan upahmu dahulu. Setelah bertahun-tahun, jumlah hewan ternaknya terus bertambah, dan sudah berubah menjadi peternakan yang besar. Semuanya adalah milikmu. Ambil semuanya dengan ridaku.” Maka pekerja beruntung tersebut mengambil semua hewan ternaknya, berterima kasih kepadaku, dan pergi meninggalkanku. Ya Tuhan, aku lakukan itu semua tulus karena hanya mengharap rida-Mu. Aku bersimpuh, berdoa kepada-Mu, tolonglah kami dengan rahmat-Mu dari perbuatan baikku ini.”

Setelah doa dan pengharapan mereka, bongkahan batu yang menutup akses keluar gua tersebut bergeser lagi. Celah untuk keluar dari gua sekarang sudah cukup besar untuk mereka keluar dari gua. Dengan penuh rasa syukur mereka keluar dari gua dan merasa sangat lega.

Refleksi diri

  • Ayah dan ibu kita telah diamanahi anak-anak seperti kita oleh Tuhan Yang Maha Kuasa. Menghormati mereka adalah kewajiban untuk kita, selain itu, kita sebaiknya sadar bahwa membuat mereka rida juga berarti bahwa kita sedang mencari rida Tuhan.
  • Dalam kondisi yang mendorong kita untuk melakukan dosa, menghindari perbuatan dosa tersebut karena takut kepada Tuhan dapat membuat kita semakin dekat dengan Tuhan. Kita dapat menjadi lebih terpuji dihadapan Tuhan dan hamba-Nya yang mulia.
  • Seorang pengusaha sebaiknya memberikan hak-hak para pekerja yang dimilikinya, dan jangan sampai menyudutkan mereka. Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW bersabda, “Jangan menahan hak orang lain.”1 dan “jangan menuntut yang bukan hakmu.” Seorang pekerja harus menyelesaikan tugas-tugasnya, dan sebaiknya diberikan upah sebelum keringatnya kering. Seorang pengusaha harus melihat pekerjanya sebagai saudaranya sendiri, dan memastikan mereka mendapatkan manfaat atau imbalan dari keuntungan yang dihasilkan usahanya.

Masing-masing pengusaha dan pekerja harus yakin bahwa mereka selalu dalam pengawasan Tuhan. Setiap modal dan aset pengusaha sekaligus tenaga setiap pekerja akan menjadi nilai yang saling menguntungkan. Perselisihan tentang eksploitasi tenaga dan laporan kehilangan karena pencurian seharusnya tidak terjadi.

Pada akhirnya, masing-masing dari kita harus merenungi diri sendiri. Jika saja, kita yang berada dalam kondisi malang di dalam gua seperti ketiga manusia dalam cerita, adakah perbuatan mulia yang dapat menjadi perantara antara kita dan pertolongan Tuhan? Jika kita rasa sudah memiliki perbuatan yang mulia dan bisa menjadi perantara itu, kita harus tetap terus memperbanyak dan meningkatkannya lagi. Jika kita rasa belum cukup tulus dalam melakukan perbuatan baik, dan dirasa mungkin tidak ada yang bisa kita jadikan perantara, kita tidak boleh putus asa, kita harus lebih keras lagi dalam mendapatkan rida Allah SWT.

Diterjemahkan dari buku Essence of Wisdom – Kemal Turan

1 Bukhari, Adab, 86,; Tirmidhi Zuhd 64.

mengembangkandiri.com ian-keefe-OgcJIKRnRC8-unsplash

RUMAH CAHAYA DARI MASA KE MASA

Tanya: Apa esensi dari rumah cahaya dan apa saja yang bisa diuraikan terkait dengan misi yang diembannya?

Jawab: Topik dan gagasan yang paling sering saya sampaikan dan paling jelas saya kemukakan hingga saat ini salah satunya adalah rumah cahaya. Tidak mungkin saya bisa mengingat keseluruhan penjelasan saya di masa lalu untuk kemudian mengulangi menjelaskannya kembali secara sistematik saat ini. Akan tetapi, karena kembali ditanyakan, maka saya akan berusaha menjelaskannya sesuai dengan apa yang terlintas dalam pikiran saya, mohon maklum jika tidak tertib.

BENIH MUNGIL YANG DI LEMPAR DI PADANG KETIADAAN

Semua institusi yang kita kelola pada hari ini, dapat diibaratkan seperti pohon besar yang tumbuh dari sebuah benih mungil yang dilempar di atas padang ketiadaan.

Ya, di masa dimana sebuah lilin dinyalakan di tengah kegelapan yang semakin pekat melingkupi – perlahan ia menyirnakan kegelapan pekat tersebut; ruang mungil yang dibangun pelan-pelan  ia menjadi sebuah  rumah cahaya, lalu menjadi kompleks perumahan yang lebih besar; persis seperti karakter fitri sebuah sperma yang mengandung cahaya dari Baginda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam sebagai sebab pertama dari penciptaan dasar langit dan bumi, ia pun lewat perwalian Nurul Adzam yang melakukan hal kurang lebih sama.

RASULULLAH MEMBANGUNNYA DARI SEBUAH RUMAH

Jika kita melihat bagaimana Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam memulai usaha ini, beliau juga memulainya dari rumah-rumah ini. Ya, ketika Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam  memulainya dengan sebuah rumah, maka bumi berubah menjadi masjid, dimana Mekkah menjadi mihrabnya, Madinah menjadi mimbarnya. Semua manusia di seluruh penjuru dunia, dari yang berumur tujuh hingga tujuh puluh tahun, dari laki-laki hingga perempuan, satu per satu menjadi santri yang juga jamaah dari masjid ini serta membenarkan pesan dari madrasah irsyad dan tablig ini. Yaitu usaha dakwah dan mematangkan jiwa manusia.

PARA PEMBAHARU DI SETIAP MASA MENGIKUTI JEJAK LANGKAH RASULULLAH

Di masa-masa setelah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam berpulang ke rahmatullah, metode ini tetap diikuti. Misalnya, di masa dimana Bani Umayyah perlahan mengalami kemunduran, Sayyidina Umar bin Abdul Aziz r.a. bersama 3-5 orang di sekitarnya memulai usaha perbaikan dengan sejumput orang ini. Beliau memulainya dan dalam waktu yang amat singkat, yaitu dalam dua setengah tahun, beliau telah mencapai prestasi yang bahkan tidak akan mampu disamai oleh mereka yang bekerja selama seratus tahun. Beliau membangun usaha agungnya tersebut dari tempat yang kecil dengan dukungan sejumput orang-orang di sekitarnya saja. Kemunduran yang dimaksud disini adalah kemunduran di bidang keinsafan beragama.

Imam Ghazali juga mengikuti jalan yang sama. Ya, beliau juga bersama beberapa orang dari masyarakat yang dipanggilnya, menjelaskan falsafah khidmah kepada para manusia; beliau menunjukkan jalan “ihya” ilmu-ilmu agama  dan ketika beliau mengerahkan penanya untuk menulis “al Munqidhu minad Dhalal” sebagai usaha dengan tujuan menghidupkan ilmu-ilmu agama tadi; Di sisi yang lain, dengan kitab-Nya yang berjudul “Ihya Ulumuddin” beliau membakar suluh kebangkitan kehidupan Islami di kalbu kaum mukminin.

Sebenarnya, mulai dari masa dimana cahaya awal itu berpendar hingga masanya Imam Rabbani; dari masa beliau hingga ke masanya Sang Penderita Agung di masa kita ini, Bediuzzaman Said Nursi; Mereka yang berperan sebagai mursyid kepada umatnya Nabi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam di berbagai masa, sosok-sosok agung tersebut senantiasa mengikuti jalan yang sama.

Ya, alam semesta yang luar biasa ini; Sebagaimana sistem tata surya dan galaksi disusun oleh beragam atom berukuran mini. Demikian juga sebuah dakwah agung, ia dibangun dari usaha-usaha kecil tadi yang menggemakan[1] (pesan dakwahnya) ke setiap kalbu. (Atom-atom mini penyusun alam semesta tadi) Menjadi buku yang penuh makna, (ia) berisi berbagai macam galeri[2] (seni yang agung).

ISYARAT HALUS DARI AL QURAN

Ketika pembahasannya sampai di masa kita ini; Cahaya yang terdapat di Surat An Nuur ~ yang berarti Cahaya;

فِي بُيُوتٍ أَذِنَ ٱللَّهُ أَن تُرۡفَعَ وَيُذۡكَرَ فِيهَا ٱسۡمُهُۥ يُسَبِّحُ لَهُۥ فِيهَا بِٱلۡغُدُوِّ وَٱلۡأٓصَالِ

Artinya: Di rumah-rumah yang diberi izin oleh Allahﷻ buat ditinggikan dan disebut nama-Nya. Yaitu rumah-rumah yang disucikan nama-Nya di dalamnya, baik pagi atau petang. (QS Nur:36)

Menurut saya, rumah-rumah cahaya ini memiliki korelasi dekat dengan ayat ini; rumah-rumah cahaya ini menunaikan tugas seperti menara masjid yang sekali lagi memperdengarkan apa makna dari potret seorang muslim.

Bukankah sosok yang berada di garda terdepan dalam pekerjaan ini ketika memperkenalkan dirinya berkata: “Saya berada di ujung menara abad ke-13 H. Saya mengundang mereka yang secara tersurat seperti orang berpendidikan, tetapi secara tersirat adalah orang terbelakang untuk datang ke masjid.”

Sebenarnya ketika beliau menyampaikan hal tersebut, bukan berarti beliau benar-benar berdiri di atas menara lalu menutup telinganya (seperti bilal yang akan mengumandangkan azan) dengan jemarinya untuk berteriak. Akan tetapi, beliau dengan menaranya di Barla, menara yang memanggul peran mulia – Pada hari ini pun ia masih tetap berdiri kokoh dengan segala wibawanya di sisi pohon Platanus orientalis – dari tempatnya beristirahat itu, beliau berusaha untuk memperdengarkan suaranya kepada umat manusia.

Tempatnya beristirahat tersebut, –menurutku– Darul Arqam, lalu kediaman mulianya Baginda Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam, rumah Imam Ghazali, rumah Imam Rabbani, dan rumah-rumah lainnya yang digunakan untuk tujuan yang sama, merupakan sebuah menara agung yang menjelaskan makna kecemerlangan dengan segala sisinya sebagaimana dijelaskan QS An Nur: 36  Yaitu di rumah-rumah yang diberi izin oleh Allahﷻ buat ditinggikan dan disebut nama-Nya. Yaitu rumah-rumah yang disucikan nama-Nya di dalamnya, baik pagi atau petang.

KARAKTERISTIK RUMAH CAHAYA

Rumah Cahaya ini memiliki karakteristik yang khas. Di sanalah tempat dimana kekosongan jiwa yang bisa muncul karena sisi manusiawi mereka diisi. Ia adalah tempat suci, dimana rencana dan proyek (kemanusiaan) diciptakan; tempat dimana tegangan metafisik terus-menerus dialirkan; tempat matangnya sosok-sosok beriman sekuat baja, berjiwa kokoh, dimana Ustadz menjelaskan mereka yang matang tersebut dengan kalimat: “mereka yang berhasil merengkuh iman yang hakiki, akan sanggup membaca semua kebutuhan dunia.”

Dan memang sekarang, penakhlukkan dunia tak lagi dilakukan dengan berkuda seperti halnya berlaku di masa lalu; tak juga dengan pedang di tangan, belati di pinggang, ataupun busur panah di punggung; Sudah jelas bahwa di masa kini kalbu-kalbu manusia hanya bisa dimasuki dengan Al Quran di tangan kanan, dan logika di tangan kiri.

Demikianlah pemuda makna dan ruh matang di rumah cahaya. Merekalah yang akan memakmurkan jiwa-jiwa yang kosong dengan cahaya yang dianugerahkan Allahﷻ kepadanya, di atas jalan menuju pembebasan di dalam makna dan di dalam jiwa. Jika demikian, rumah-rumah ini merupakan sebuah madrasah atau meja kerja, dimana generasi yang latah dengan godaan dunia yang memikat dan anak-anak yang kehilangan arah kemudian dimakmurkan dan dikembalikan ke akar makna dan jiwanya.

Khususnya di masa dimana madrasah dan majelis zikir dilarang, apa yang diharapkan dari rumah-rumah tersebut adalah ditunaikannya misi mulia tersebut, yaitu untuk mengisi peran madrasah dan majelis zikir. Rumah-rumah ini mengajarkan ilmu agama dan ilmu pengetahuan positif kepada para penghuninya; Ini artinya, selain menjalankan tugas sebagai majelis zikir dan majelis taklim, ia juga menjalankan tugas sebagai madrasah.

Sebenarnya ayat Al Quran mengisyaratkan semua ini:  Penggunaan kata بُيُوتٍ “Büyutün” secara nakroh (tidak spesifik), mengindikasikan bahwa kata ini dipakai untuk menjelaskan bahwa kata yang dimaksud adalah “sesuatu” selain masjid. Yaitu, ia bukanlah musholla dan masjid dimana azan dikumandangkan lewat menara-menaranya sebagaimana yang kita ketahui; Ia adalah tempat yang tidak spesifik.

Rumah-rumah ini pun seiring berjalannya waktu juga tidak memiliki spesifikasi tertentu. Rumah-rumah ini tidak memiliki spesifikasi yang jelas, karena mereka yang keluar-masuk ke dalamnya senantiasa diawasi.

Walaupun demikian, ada satu yang spesifik dan jelas darinya, yaitu di masa dimana kesulitan menghimpit, rumah demi rumah yang dibuka telah berhasil mendapatkan kemuliaan dan anugerah di masa-masa sulit itu. Tanpa terpaku pada masalah yang sederhana dan sementara, pada masa dimana kumandang azan di menara-menara dan aktivitas mulia lainnya dibungkam, rumah mulia ini menjadi terpuji lewat izin tersirat Allahﷻ: “Untuk saat ini biarlah Nama-Ku dipuji dan digaungkan di rumah-rumah ini”; ia adalah tempat luar biasa, dimana buku-buku dibaca dan kebenaran dikaji. Setelah ini, kajian-kajian tentang ruh beragama yang tadinya dilakukan di masjid, ia akan dilakukan di rumah-rumah ini. Dengan pertimbangan ini, rumah-rumah ini adalah tempat yang berkah, yang disebut sebagai “penerjemah wilayah hakikat yang agung.”

KARAKTERISTIK PEMUDA YANG TINGGAL DI RUMAH CAHAYA

Keadaan rumah-rumah ini senantiasa cocok dengan apa yang digambarkan Sayyidina Abu Bakar r.a.: “Ketika kita masuk rumah, kita tidak yakin apa masih bisa keluar.  Demikian juga saat kita keluar rumah, kita tidak yakin apakah masih bisa masuk rumah lagi.”

Ya, adalah sebuah kemungkinan yang sangat terbuka bagi kita untuk ditangkap saat kita menuntut ilmu di dalam rumah; Demikian juga saat kita keluar rumah, juga sangat mungkin penghuni rumah-rumah ini untuk diculik oleh mobil tak dikenal.  Oleh karena itu, Kita harus selalu berlindung kepada Allahﷻ dengan berdoa: “Tidak ada sekutu bagi-Mu, segala sesuatu ada dalam genggaman-Mu. Jika Engkau tidak mengizinkan, tidak ada satu keburukan pun yang dapat mencelakakan kami.” Dengan doa tersebut, kita menyerahkan keamanan rumah ini dan penghuninya kepada penjagaannya Allahﷻ.

Menyingkirkan semua “sekutu”, sepenuhnya berserah diri dan bertawakal kepada Allahﷻ, atau dalam istilah lainnya, duduk dan bangkit “bersama” Allahﷻ, adalah tabiat dari para penghuni rumah-rumah ini.

PERAN WANITA DI RUMAH CAHAYA

Di sisi lain, ayat Al Qur’an ini menggambarkan bagaimana dakwah ini berjalan di masa-masa awalnya, dimana ketika itu hanya sedikit dari kaum wanita yang mengambil peran, atau dengan kaidah taglib[3] dalam bahasa Arab.

رِجَالٞ لَّا تُلۡهِيهِمۡ تِجَٰرَةٞ وَلَا بَيۡعٌ عَن ذِكۡرِ ٱللَّهِ وَإِقَامِ ٱلصَّلَوٰةِ وَإِيتَآءِ ٱلزَّكَوٰةِ يَخَافُونَ يَوۡمٗا تَتَقَلَّبُ فِيهِ ٱلۡقُلُوبُ وَٱلۡأَبۡصَٰرُ

Artinya: Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan  dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allahﷻ, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada hari ketika hati dan penglihatan menjadi guncang (hari kiamat). (QS Nur: 37)

Dimana dalam ayat ini seakan-akan hanya kaum lelaki saja yang dibahas. Akan tetapi, sebagaimana dikatakan sebelumnya, bahwasanya ayat ini dengan kaidah taglib juga mengisyaratkan kepada kaum wanita. Dengan demikian kata “rijalun” juga bermakna “wanita yang tangguh seperti lelaki”. Yakni, ketika orang lain mengejar jabatan dan kebanggaan diri, tenggelam dengan penampilan jasmani, sibuk dengan anak-anaknya, sosok-sosok dalam ayat tadi terbang dengan keagungan yang digambarkan ayat tersebut; ia juga bermakna bahwa ada juga wanita-wanita dengan iradah kuat sekuat kaum lelaki sebagaimana dibahas dalam ayat tersebut.

Ya, pada masa permulaannya, bersama para pahlawan dari kaum lelaki seperti Sidik Sulaiman, Hulusi Efendi, dan Husrev Efendi, terdapat pula para pahlawan wanita yang kita kenal, walau jumlahnya sedikit. Mereka bagaikan berada di bawah bayangan Sayyidah Nasibah dan Sumaira yang juga turut terlibat dalam Perang Badar dan Uhud.

Ya, walaupun mereka wanita, mereka tidak ketinggalan dalam memanggul dakwah yang mulia ini. Pada hari ini pun, rumah-rumah cahaya bertindak sebagai tuan rumah bagi para pahlawan ini.

PERAN YANG DIPIKUL RUMAH CAHAYA

Saya rasa, selama rumah cahaya ini dijalankan sesuai dengan tujuan pendiriannya, ia akan mencapai titik-titik yang tak mampu dicapai oleh tekke (majelis taklim) dan zawiyah (majelis zikir), dan di waktu yang sama ia akan menjadi sebaik madrasah dalam mencetak generasi (emas). Dari rumah-rumah ini akan lahir generasi seperti Abdul Qadir Jailani, Gelenbevi (Professor Matematika Usmani), Ali Kuscu (Ahli Astronomi), Molla Husrev (Syaikhul Islam), Molla Gurani (Guru Para Putra Mahkota Usmani), Ebu Suud (Syaikul Islam di zaman Kanuni Sultan Sulaiman), Ibrahim Hakki dari Erzurum.

Jika tidak, hafizanallah, bisa saja ia berubah menjadi gubuk miskin. saya rasa, sebagian besar dari mereka yang memiliki perasaan dan pemikiran yang sama denganku, akan lebih memilih mati daripada harus menyaksikan keadaan rumah cahaya berubah menjadi gubuk-gubuk miskin.

Rumah-rumah yang memiliki peran dan tujuan seperti rumah Ibnu Arqam selalu dibuka di berbagai masa, di mulai dengan di masanya Baginda Nabi, pada hari ini pun ia masih melanjutkan tugas dan peranannya.

Rumah-rumah ini, di hari-hari dimana layar mulai terkembang untuk kebangkitan yang ketiga (Kebangkitan pertama adalah masa Sahabat. Kebangkitan kedua adalah masa Usmani, penerj), ia akan menjadi tempat dimana generasi pembangkitnya dilengkapi dan disempurnakan, insyaAllah…

Di satu masa, Tekke dan Zawiyah menjadi tempat yang sangat penting dalam menghasilkan generasi pembangkit. Lewat sosok-sosok bercahaya yang dihasilkannya, ia membangkitkan Anatolia. Dalam kriteria tertentu, lewat penunaian tugas dan fungsinya, ia juga menjadi sumber keberkahan bagi kita.

Dan kini, tidak hanya Anatolia. Bagaimana rumah-rumah ini sanggup mencetak pemuda ruh dan makna yang membangkitkan seluruh penjuru dunia, adalah sangat penting untuk menilai rumah-rumah ini memiliki (peranan yang) setara dengan madrasah, tekke, dan zawiyah.

Para rijalullah yang dihasilkan dari rumah-rumah ini, sambil mempelajari semua aspek dari ilmu positif, dilengkapi dengan hadis, tafsir, fiqih, dan cabang ilmu Islam lainnya, mereka harus hidup dengan kehidupan ruh Islam yang amat luas, mereka harus menampilkan makna dan jiwa dari ruh para pendahulunya yang tak pernah lekang oleh waktu.

Jika tidak dilakukan, ia bagaikan pengkhianatan kepada rumah cahaya ini, kepada pemilik rumah ini (Bediuzzaman), kepada inspirasi rumah ini yaitu Arqam, dan kepada Sang pemberi arti, Baginda Muhammad Mustafa Shallallahu ‘Alaihi Wa Sallam.

Tamsil (perwakilan) dari ruh tersebut, sebagai bentuk dari kedalaman maknawinya, ia harus menunaikan shalat dengan amat dalam, kalau perlu ketika meletakkan kepalanya ke tanah ia sanggup mengatakan “Ya Allah, Andai Engkau tidak menakdirkanku untuk mengangkat kepalaku ini. Andai sujudku ini menjadi titik dimana aku kembali kepadaMu!.”

Ia tidak akan mengalihkan pandangan matanya ke hal lain, ia berdiri dengan tulus di hadapan Ilahi, ia menutup dirinya untuk hal-hal yang tidak berfaedah, dan seakan ia sedang menyaksikan keindahan (jamal) nya Allahﷻ di dalam surga, ia memasuki fase konsentrasi, mempertemukan tangan di atas lututnya, ia keluar dari “ana” (saya) dan “nahnu”  (kami – kita),  dan menjadi mata yang memandang “Huwa” (Dia).

Ya, mengarahkan diri kepada-Nya dengan kriteria ini…

Ya, bukan dengan pemikiran: “Azan sudah dikumandangkan. Aku masih perlu melakukan beberapa kegiatan. Kalau demikian biar aku selesaikan dengan cepat salat ini.”

Melainkan: demi bisa berjalan menuju mikraj, seakan ia turun ke jalanan landai (menurun), ia melupakan dirinya, menuju serta mencapai fana fillah, baqa billah, menunaikan salat dalam atmosfer kebersamaan dengan-Nya, tanpa memikirkan diri sendiri.

Yakni, menuju Rabb sebagaimana Zübeyr Gündüzalp, Hüsrev Efendi meretakkan kalbunya. Dan dengan awradu azkar (wirid dan zikir), tasbihu takdis (tasbih), di bawah bimbingan cemerlang dari Al Quran, demi bisa mencapai Allahﷻ, rumah-rumah cahaya ini dirubah menjadi pelabuhan dan galangan kapal yang tidak ada bandingannya.

Ya, jika rumah cahaya dijalankan seperti tadi, maka ufuk pun akan mencapai Allahﷻ.

TEMPAT MENUTRISI GENERASI PEMBAWA PANJI KEBENARAN

Hari ini, mereka yang memiliki mimpi untuk membawa hakikat dan kebenaran ke tujuh benua, mereka wajib dinutrisi oleh rumah-rumah yang berperan bagai penghasil air susu ibu yang berkah.

Untuk mereka yang tinggal bertahun-tahun di tempat suci tersebut namun tetap tidak memahami Allahﷻ, mereka yang tak mampu meraih kecintaan dan hasrat kepada-Nya, mereka di satu kriteria merupakan orang-orang yang tidak beruntung dan menyedihkan.

Mereka yang memiliki keadaan demikian, mirip bayi yang berada dalam timangan ibunya, namun tak mampu meraih ASI dari ibunya. Mereka yang demikian, tidak mendapatkan keuntungan apapun, pun tidak akan mampu mengantarkan umat manusia menuju apapun.

KESUNGGUHAN DALAM MENDIRIKAN SALAT

Ketika sampai disini, izinkan aku menyampaikan isi hatiku. Ketika aku melihat orang yang sedang salat, namun ia salat sambil tengok kanan-kiri, aku merasakan, jika boleh dikatakan demikian, seakan kemuliaan Tuhanku sedang direndahkan.  Saat itu aku bergumam: “Andai saja orang ini melemparkan sumpah serapahnya saja kepadaku, namun tak menengokkan matanya ke kanan dan ke kiri saat salat.” Menurutku, sumpah serapah tersebut masih ringan dibandingkan salat tanpa keseriusan seperti itu.

Ya, orang yang ketika menghadap kepada Allahﷻ melakukan gerakan seperti ini, aku secara pribadi menganggapnya sebagai sumpah serapah kepada-Nya. Seandainya mereka menusuk jantungku saja, mungkin mereka akan menjadi pembunuh, tetapi aku akan berdoa: “Ya Allahﷻ, jika Engkau tidak memaafkan orang ini, –andai aku bisa– aku tidak ingin menghadap kepada-Mu.”

Seperti yang Anda saksikan, aku sangat terganggu oleh mereka yang tidak serius dalam salatnya.

Tanpa doa dan salat, atau menunaikan salat tanpa ruhnya, tak mungkin seseorang bisa menjadi mukmin sejati. Allahﷻ berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman. (Yaitu) orang-orang yang khusyuk dalam salatnya”. (QS Al Mukminun : 1-2)

Salatnya mereka yang tinggal di rumah-rumah suci tersebut, lebih penting daripada penakhlukkan dunia tanpa salat. Dan memang, selama mereka tidak menjadikan salat sebagai hal paling penting dalam kehidupannya, tidak mungkin dibayangkan mereka akan meraih kesuksesan.

RUMAH CAHAYA DIBUKA UNTUK MENGKOMPENSASI PEKERJAAN YANG TERABAIKAN

Kesimpulannya, untuk topik tadi, saya senantiasa merasa terluka. Rumah-rumah cahaya ini dibuka untuk mengkompensasi apa yang telah diabaikan oleh sejarah; barangkali aku tidak tahu seberapa tepatnya ia dijalankan sesuai dengan tujuan awalnya; namun, aku ingin tetap berhusnuzan sambil berkata: “teman-teman pasti menunaikan haknya rumah-rumah cahaya ini.”

Jangan lupakan semua umat yang sedang dan akan berada dalam kehancuran dunia, mereka sedang menunggu pemuda irsyad yang matang di rumah-rumah ini untuk membangkitkan mereka. Dan demikian ia dipahami, bahwasanya fungsi dari rumah-rumah ini tidak akan pernah selesai.

Jika demikian, maka demi Allahﷻ, datanglah, tunaikanlah salat dengan haknya, berpuasalah; Dan tunaikanlah salat dan puasa dengan sebaik-baiknya, sehingga malaikat yang sedari ia diciptakan tak pernah bangkit dari rukuknya pun akan berkata: “Luar biasa! ternyata ada yang menunaikan shalat lebih baik lagi.” Demikian baiknya kita melebur ke dalam zikir dan fikir, para penghuni langit yang menyaksikan kita pun akan berkata: “merekalah yang akan membangkitkan dunia!.”

Sebagai manusia yang beruntung, atau sebagai hamba Allahﷻ, mari kita manfaatkan rumah-rumah –keran air susu ibu– yang diliputi berkah tersebut dengan maksimal. Jangan sia-siakan waktu kita dengan canda tawa seperti orang-orang bodoh, atau dengan kata-kata yang tak bermakna, yang tak memberikan manfaat dunia dan akhirat. Marilah kita jadikan rumah-rumah cahaya ini sebagai sumber cahaya yang akan menerangi seluruh dunia.

Semoga Allahﷻ menjadi Penolong bagi kita semua! Aaminn

(Diterjemahkan dari Prizma 2 artikel berjudul ‘Dünden Bugüne İbn Ebi’l-Erkam Evleri’)

[1] Menggemakan: menjadikan bergema; gema: bunyi atau suara yang memantul; kumandang; gaung; memantul bergerak balik karena membentur sesuatu atau karena refleksi (KBBI).

[2] Galeri: ruangan atau gedung tempat memamerkan benda atau karya seni dan sebagainya (KBBI).

[3] Taglib : disebabkan suatu hubungan, suatu kata digunakan untuk makna lainnya dengan mengambil makna dari kata tersebut. Misalnya, untuk kata ayah yang berhubungan dengan ibu selaku orang tua, digunakan kata abawayn.